#JustWrite

Mungkin aku harus menulis di blog lagi

Juni 13, 2023

 Sudah lama aku tak membuka blog, dan aku berpikir bukankah menyenangkan jika aku kembali dan kembali perlahan-lahan menulis fiksi lagi? Belakangan aku menyadari bahwa salah satu hal yang membuatku dulu bisa konsisten menulis adalah karena hampir setiap hari aku menulis di blog. Tulisan-tulisan yang muram, sangat muram, dan sebagian sudah ku unpublished karena terlalu muram dan depresif. 

Entah, ada apa dengan tampilan blog sampai aku merasa sangat bebas menulis di sini, lebih terbuka, bahkan merasa sangat nyaman ketimbang menulis di Word atau Google doc, misalnya. Mengenai menulis tangan tak usah dibahas karena tulisanku jelek, menuju kehancuran, dan aku benci menulis tangan.

Belakangan aku berpikir, mungkin saja jika aku ingin kembali menulis fiksi, aku harus kembali menulis di blog seperti dahulu. Mungkin, ini ide yang menarik untuk melatih habit menulisku lagi. 


#JustWrite

Kelinci di Lubang Sampah

Februari 02, 2021

Jikalau dongeng selalu dimulai dengan kata-kata seperti 'pada suatu hari' maka anggap saja tiga kata itulah yang memulai cerita ini. Pada suatu hari seekor kelinci kecil berbulu kelabu melompat-lompat di sebuah taman. Matanya menjelajah rerumputan, melihat bunga warna-warni yang basah oleh tetesan embun.  Musim panas telah tiba, ia bermain di taman dengan riang gembira.

Semuanya terasa menyenangkan, sampai ia melihat lubang berdiameter sekitar 37 cm di pinggir taman, di bawah pohon mangga yang sedang berbunga. Separuh bagian lubang itu tertutup oleh besi tua berbentuk lingkaran yang penuh karat. Besi itu seharusnya menutup lubang rapat-rapat. Namun, siapa yang tahu kalau ada tangan usil yang menggeser besi karat itu untuk membuang "sesuatu". Kotak sampah mungkin terlalu jauh hingga lubang pun menjadi solusi. Manusia menciptakan kotak sampah, tetapi mereka pula yang malas menggunakannya. Ya, begitulah manusia, makhluk paling merasa benar sedunia.

sumber gambar

Kembali lagi soal kelinci itu, ia adalah seekor kelinci yang iseng. Kadang-kadang ia tidak berpikir panjang, mungkin karena telinganya tidak begitu panjang. Kadang-kadang ia memanjat pohon lalu menangis hingga pemadam kebakaran datang menolongnya. Aku basah kuyup karena melompat-lompat di bawah air mancur yang berada di tengah taman. Hari itu ia pun tidak menggunakan gumpalan jeli di kepalanya untuk berpikir. Sepertinya, setan impulsif sedang bersamanya tatkala ia masuk ke lubang itu. Lubang yang dalam dan gelap. Lubang yang menjadi penyesalan terbesar dalam sejarah 24 bulan hidupnya di dunia.

Lubang itu gelap, becek, sempit, dan seperti tak berujung. Kelinci itu tidak berani melompat setinggi biasanya. Ia mendadak menjadi siput, berjalan pelan, mengendap, dan memastikan tak ada apa pun yang melukai dirinya.

 Sampah memenuhi kanan dan kiri jalanan di dasar lubang. Bungkusan-bungkusan bergambar kacang, tumpukan baju, hingga tak lagi bergambar terlihat bergerak ke kiri dan kanan di dasar lubang. 

Mereka tampak hidup! 

Sayangnya, setiap badan kelinci itu terkena bungkusan yang melambai-lambai tertiup entah angin dari mana, badannya tergores. Kadang hanya goresan tidak berarti, tetapi sesekali darah mengalir dari tubuh si kelinci. Bulu kelabunya sudah tak lagi mengembang, perlahan ia menjadi kelinci menyedihkan.

Lubang itu tidak menyediakan makanan yang layak tentu saja. Apa yang bisa kau harapkan dari lubang sampah? Kelinci pun kadang menyesali, mengapa sudah tahu lubang sampah masih ia masuki? Mengapa ia terlalu iseng kala itu? Juga kenyataan bahwa mengapa yang ditanyakan tak akan mengubah kenyataan. Jikalau penasaran apa yang dimakan Si Kelinci, kadang-kadang ia menemukan apel nyaris busuk, sepotong wortel, atau sayuran layu. Mungkin, dari pembuangan sampah atau... entahlah. Kelinci tidak dapat berpikir apa-apa selain bagaimana cara keluar dari lubang keparat itu. Sekeras apa pun ia berteriak, pertolongan tak kunjung datang. Sekuat apapun ia mengeluh, se

Kian hari lubang itu semakin gelap. Semakin kelinci itu bergerak maju, semakin banyak keanehan menyengsarakan yang ia temui. Ada raja semut yang menggigit apa pun hingga tubuhnya tambun. Ada ratu semut yang mungkin saja terus berceloteh sambil mengeluarkan api yang membakar apa saja. Termasuk mengenai bulu kelinci itu. Kadangkala ada katak bertanduk hingga kecoa-kecoa yang tak pernah berhenti mempertontonkan aksi terbang berbagai gaya

Kelinci itu terus berjalan dan tidak kunjung menemukan pintu keluar. Badannya sudah kian kurus sebab tak terurus, bulunya rontok, matanya sendu, telinganya tak lagi tegak. Jauh di dalam hati Si Kelinci, sekalipun ia tak ingin berumur panjang, ia tak mau mati di dalam lubang keparat nan mengerikan. 

Hari ini Si Kelinci Abu tidak lagi berjalan. Ia  meringkuk di dekat tumpukan kulit pisang. Ia tak tahu apakah binatang juga boleh bertuhan. Atau Tuhan sudah tak anggap ia binatang, tetapi bagian dari sampah yang hidup di lubang pembuangan. Tanpa tahu apa salahnya, mungkin Tuhan sedang menghukumnya. Jika Tuhan suka menguji manusia dengan kesenangan dan kesedihan, Si Kelinci tidak mengerti mengapa ia tak pernah merasakan apa itu kesenangan sejak masuk ke dalam lubang. Mungkin Tuhan tidak ada bagi kelinci, hingga lupa memberikan kesenangan meski berada di kegelapan. Mungkin Tuhan juga lupa ada kelinci, sebab sampah-sampah ini menutupi. Namun, Si Kelinci masih yakin Tuhan baik hati termasuk pada kelinci. 

Kelinci itu terus berdoa, jika usaha tidak lagi bekerja, mungkin satu-satunya yang ia masih bisa lakukan hanyalah berdoa.

"Kalau aku tidak bisa keluar dari lubang ini segera, biarlah aku mati muda. Lubang ini begitu menyiksa. Bukankah Tuhan Yang Mulia tidak akan pernah kejam pada hamba-Nya?"


2.2.2021

#FotoBercerita

Racauan Nikola tentang Mikola

Januari 15, 2021

 Sepertinya, sebelum kembali menulis  novel bernapas panjang, aku butuh pemanasan dengan rutin menulis Gambar Bercerita. Gambar Bercerita adalah kumilih gambar secara random, lalu kumenulis apa yang ada di kepalaku.

Selamat membaca ^^


sumber gambar


Nikola Tesla. Begitu lelaki kurus berambut berantakan itu memberiku nama. Berjuta kali ia menceritakan bahwa nama itu adalah nama fisikawan favoritnya. Tentu saja aku tidak tahu dengan jelas apa itu fisikawan. Setiap aku memandang lurus ke matanya untuk meminta penjelasan apa itu fisikawan, Miko --- nama lelaki itu--- malah beranjak ke rak kayu dan mengeluarkan bungkus snack kesukaanku. Aku tidak mengerti, apakah Miko sebenarnya tidak mengerti pertanyaanku. Atau... fisikawan sebenarnya berarti pemangsa kucing, dan ia menyembunyikan fakta itu dengan menutup mulutku dengan makanan. Aku harus mengakui bahwa makanan adalah penutup mulut paling ampuh, setidaknya bagiku.

Aku merasa nama ini terlalu panjang dan terdengar keren untuk seekor kucing domestik. Pasalnya, tetangga kamar kost Miko yang berambut seperti sarang burung, memelihara seekor kucing persia yang aduhai bulunya. Matanya pun bulat besar dengan hidup pesek sempurna. Si Persia ini dipanggil Dugong oleh pemiliknya. Jika saja kau tidak melihat betapa seksi liukan buntutnya, kau mungkin akan berpikir Dugong adalah kucing gempal yang bulat sempurna dan siap dijadikan bola. Dugong diadopsi beberapa minggu setelah aku tinggal di kamar kost Mikola yang begitu rapi. Mikola tidak pernah membiarkan spreinya berantakan, dan ia akan menumpuk buku berdasarkan warna. 

Omong-omong, izinkan aku bercerita bagaimana Mikola mengadopsiku. Ini bukan cerita yang tragis kalau-kalau tanganmu siap mengambil tisu. Aku adalah kucing tanpa nama yang lahir dari seekor betina di gedung tempat Miko berkuliah. Ibuku adalah kucing betina yang haus belaian dan begitu menggandrungi kucing garong berbulu kelabu yang tidak begitu tampan---konon ia ayahku juga. Jadi, begitu aku dan seekor saudaraku terlihat bisa tegak berjalan, ibuku meninggalkanku dengan pesan,"Hidup ini kejam, kamu bisa mati jika tak bisa bertahan." Kalau saat itu aku sudah sebesar saat ini---aku sudah melewati 7 purnama--- aku mungkin akan berkata,"Jika hidup ini kejam, dan Ibu tak bisa membuatku bertahan, untuk apa dan siapa aku dilahirkan?" 

Aku hampir mati kedinginan ketika Mikola menemukanku kehujanan di teras gedung kampusnya. Kembaranku sudah diambil seorang mahasiswi. Aku sebenarnya berlari mengejar kembaranku, tetapi manusia itu tidak menyadari. Tentu akan lebih baik kalau ia mengadopsi kami berdua. Oh, betapa malangnya aku. Ibuku yang bucin meninggalkanku, dan kembaranku diadopsi lebih dulu. Namun, Mikola datang seperti malaikat. Tangannya yang besar meraih badanku yang kurus kerempeng dan membungkusku dengan jaket hitamnya yang wangi.

"Ini obat cacing, dan kau harus meminumnya," begitu kata Mikola ketika sebuah jarum suntik tanpa jarum---sebagai kucing aku tidak tahu kata yang pas--- tepat di depan bibirku. Aku hanya menurut ketika cairan berwarna oranye kental dengan rasa asam itu masuk ke mulutku. Lalu Mikola berseru tatkala ada binatang menggeliat di bak pasir. 
"Cacingnya keluar! Cacingnya keluar! Hebat!" seru Mikola.
Cacing. Aku baru tahu kalau  bahwa seekor kucing bisa memelihara hewan di perutnya. Bukankah itu hebat, kawan? Lantas mengapa harus kukeluarkan?

Hari-hariku bersama Mikola sangat menyenangkan. Tubuhku mulai berisi, buluku mulai berkilau, dan Miko selalu mengajakku bermain. Sampai ... sampai Miko membawa bungkusan kabel-kabel. Sampai ia tidak pernah mengalihkan matanya dari benda kotak berlayar yang jika kau pencet-pencet, muncul sesuatu di layarnya. Kadang-kadang Miko berubah menjadi Miko yang tak pernah mandi karena menghabiskan waktu dari matahari terbit hingga kembali ke peraduan dengan kabel ini. Miko mulai mengabaikanku, ia pun kadang lupa membersihkan bak pasirku. 

Pagi tadi, Miko membawa bungkusan plastik makananku. "Kau boleh makan sepuasnya. Ada atau tiada aku, kau harus tetap hidup. Hiduplah dengan hati senang, Nikola Tesla," tiba-tiba Miko berkata demikian. Aku kembali memandanginya. Lalu seperti kesalahpahaman yang tak kunjung berakhir, Miko malah mengambil mangkuk makananku dan menuangnya ke mangkuk. Miko membiarkanku makan dengan lahap. Lalu ia mandi dan duduk di meja belajarnya.
"Kadang, kadang aku mau menyerah, Nikola Tesla. Kadang aku ingin mengakhiri apa yang tidak pernah kumulai. Kadang, kita tidak meminta dilahirkan tetapi diberi setumpuk beban," Miko menatapku. Aku sependapat, aku tidak pernah minta dilahirkan dari ibu yang hanya menginginkan bercinta dengan garong tidak tampan.

"Kadang aku ingin membelit leherku dengan kabel-kabel itu. Tentu enak, ya menjadi kucing. Orang-orang tidak berharap tinggi hanya karena kau pernah juara olimpiade fisika. Lalu, ketika harapan mereka kupatahkan, mereka kecewa dan marah. 
Bahkan sebelum aku marah dengan diri sendiri, aku sudah dimarahi," lanjutnya. Lalu kulihat ada air yang menetes dari pelupuk mata Mikola. Jangan! Aku tidak mau Mikola menangis. Aku tidak mau Mikola sedih! Dia sudah menyelamatkanku, dia manusia baik. Jangan! Mikola tidak boleh menangis. Aku hanya bisa mengeong dengan keras. Tanpa kutahu apakah Mikola tahu artinya adalah,"Jangan menangis, aku sayang padamu."

Mikola terlihat membuka sebuah botol, dan mengeluarkan banyak sekali pil. Mirip pil yang ia beri tiap aku flu. Tapi, aku hanya minum satu. Mengapa Mikola minum banyak sekali? Apa karena ia manusia?

"Terima kasih sudah membuatku lebih lama bertahan, Nikola Tesla-ku." Mikola meraihku, dan memelukku dengan erat. Ia berjalan ke tempat tidur, dan merebahkan dirinya di sana. Lalu meletakkannku di sampingnya. Mikola mungkin lelah. Aku akan menemaninya dan tidak akan mengganggu.

***

Mikola jahat. Mikola jahaaaat!
Mikola tidak tidur, Mikola tidur selamanya. Matahari sudah hilang ketika aku terbangun dan menemukan mulut Mikola penuh buih. Aku keluar lewat jendela dan memanggil tetangga Mikola, pria kamar sebelah pemilik persia cantik itu. Aku terus mengeong dan meminta Pria Kamar Sebelah melihatnya. Lalu, Pria Kamar Sebelah berteriak,"MIKO, KENAPA LU HARUS NYERAH? KENAPA HARUS MATI SEKARANG?"

Aku mengingat bagaimana benda di dadaku bertalu kuat begitu mendengar kata mati. MIKO TIDAK MATI. MIKO TIDAK BOLEH MENINGGALKANKU. AKU DENGAN SIAPA?

Lalu kamar kost Miko mendadak ramai. Raungan mobil putih berbunyi berhenti di depan rumah kost, mengeluarkan manusia yang kemudian membawa Miko entah ke mana. Itulah kali terakhir aku melihat Miko. Pria Kamar Sebelah sempat menenangkanku yang terus menerus mengeong. Ia pun membolehkanku tinggal di kamarnya bersama Si Persia Cantik. Sekalipun Si Cantik Dugong menggoda, aku tak niat bercinta karena begitu berduka.

Semua terasa menyedihkan. Aku seperti dihempaskan setelah hidup dengan damai. Kemarin, keluarga Mikola datang mengemasi semua barang lelaki itu. Mereka berniat membawaku, tetapi Pria Kamar Sebelah berkata bahwa surat yang ditulis Mikola berkata aku harus tinggal di rumah perempuan bernama Jane--- perempuan yang paling dekat dengan Mikola, begitu Pria Kamar Sebelah berkata. Hari ini Jane akan menjemputku, dan aku tak tahu bagaimana rupa wanita itu.

***

Seharusnya aku bahagia. Seharusnya, aku bahagia bertemu saudaraku yang ternyata tinggal bersama Jane. Aku terkejut ketika melihat perempuan itu berdiri di pintu, perempuan yang kulihat meraih saudaraku dan membawanya pulang. Seharusnya aku bermain bola benang dengan Alexander Volta---nama saudaraku yang juga fisikawan--- dan bukan merenung di balik jendela.

Mengapa Mikola meninggalkanku, padahal ia menyayangiku?

Mengapa Mikola meninggalkanku tanpa memberiku penjelasan apakah fisikawan itu sebenarnya?

Jika aku mati, apakah aku akan bertemu Mikola nantinya? Karena aku tidak bisa menjanjikan hidup dengan senang setelah ditinggalkan.

====END===

Lampung, 15 Januari 2021


#JustWrite

Tameo, aku menangis malam ini.

Agustus 08, 2020

Kadang-kadang aku sedih tanpa alasan. Kadang-kadang, aku bertanya-tanya mengapa aku sedih ketika tidak ada hal yang menjadi pemicunya. Sampai pada suatu hari, entah itu di IG live seorang psikolog atau webinar, si psikolog berkata,"Kadang, emosi yang kita rasakan hari ini itu delay. Sebenarnya, hal yang membuat sedihnya kemarin, kemarin lusa, tapi kita baru sadar hari ini."
Lalu aku berpikir, mungkin saja itu yang terjadi padaku. Ketika sebuah kabar duka datang, kadang aku hanya diam dan tidak merasakan apa-apa. Ketika nenekku meninggal, aku baru menangis sebulan kemudian karena aku baru teringat dan menyadari hal itu. Dan karena terlalu lama, kadang tidak semua sedih hari ini diketahui mengapa. Selain, aku memang menyadari bahwa aku tidak cukup bisa peka dan berempati dengan manusia ketimbang dengan hewan. :(
Aku menulis malam ini dengan perasaan sedih yang kusadari sebagai kesedihan karena Tameo meninggal 3 hari lalu, setelah sehari sebelumnya anaknya berpulang. Tameo yang beberapa hari demam tinggi sampai tidak bisa menyusui anak, napsu makan menurun, sampai ia kemudian susah makan. Aku ingat ketika aku memberikannya potongan daging mentah dan ia melahap mantap (karena di akhir-akhir hidupnya ia hanya mau daging beku, ikan setengah makan, ayam rebus) dan aku berkata,"Nggak apa-apa, Tameo harus makan enak. Tameo harus makan enak sebelum mati, nggak makan tempe-ikan aja. " 
Lalu adikku berkata,"Cici doain Tameo mati, bilang ini makanan terakhirnya?"
Aku menggeleng dan waktu itu berkata,"Nggaklah, maksudnya seumur hidup Tameo, dia juga makan daging." Lalu besoknya Tameo meninggal tiba-tiba, setelah malamnya makan dengan lahap, pup pada tempatnya, tetapi ia sudah terlihat lemah dan batuk-batuk.

Tameo adalah kucing yang pernah kumarahi karena ketika di kost, ketika semua anak kucing bisa toiletting dengan benar, Tameo selalu pipis di kasur, dan butuh diajari lebih keras.
Tameo adalah kucing yang sayang anaknya begitu rupa, sampai-sampai mencuri anak ayam tetangga dan membawakannya untuk bayi-bayi yang tak mengerti---dan anak bayi itu mati. Entah mengapa ia memang senang berburu. Lalu Tameo dikandangkan sebulan agar tak lagi mencuri anak ayam, dan untungnya berhasil.
Tameo sudah pergi, meski masih banyak kucing, tetapi tidak ada lagi yang masuk ke kamar untuk membangunkan terlalu pagi sambil mengabarkan bahwa ini waktunya sarapan, loh.

Dear Tameo, berbulan-bulan aku ingin menangis dan tidak kunjung bisa. Malam ini aku bisa menangis karenamu. Tentu saja lega bisa menangis, tetapi aku lebih memilih jika dirimu masih ada. Tapi aku ikhlas, kok. I'll try my best for you. I hugs you couple time and said,"Cici sayang Tameo."  So, i really love you cause i'm deeply loosing you, now.
Terima kasih sudah menemani saya menulis tesis, menulis Ikan Kecil, dan menemani saya sampai sekarang. I'm happy for feeding you everyday. I'm sorry for everything, Tameo. Kadang-kadang aku galak jika kamu mulai berulah. Aku akan menghabiskan tangisanku malam ini, dan akan mengikhlaskanmu.
Selamat jalan, Tameo. Selamat jalan...

#JustWrite

Bantu Kodok Itu Keluar dari Sarang Ayam!

Juli 17, 2020

Kadang, yang ingin saya lakukan hanyalah keluar dari tempat yang sejak awal tidak pernah saya inginkan tetapi dengan bodohnya saya datangi.

Kadang, yang ingin saya lakukan hanyalah mencari kedamaian, yang tentu tidak saya temukan di tempat yang sekarang.
Kadang, saya ingin dikelilingi orang bijak nan cerdas yang secara sadar dan tidak mendorong saya untuk menjadi demikian. 
Saya seperti katak diantara ayam-ayam, yang menunggu sekumpulan ayam itu menginjak hingga saya tiada. Saya butuh rumah baru, di mana saya tidak perlu cemas tiap harus berdekatan dengan ayam-ayam yang siap memangsa kodok kelabu kapan saja.

Popular Posts

My Instagram