#JustWrite

Deirde, ikan kembung yang malang

Mei 30, 2015

Aku adalah seekor Rastrelliger brachysoma, hidupku di lautan luas sekaligus ganas. Menjadi waspada dan selalu hati-hati adalah titah Ayah yang kuingat sampai kini. Ya, sampai aku terperangkap dalam jaring-jaring biru lelaki paruh baya. Aku pikir aku akan segera berakhir di penggorengan. Mati kehabisan udara, lalu dimutilasi sedemikian rupa, membuang insangku, membuang kotoranku dan mencuci bersih diriku. Lalu mereka melakukan apapun yang mereka inginkan. Dicelupkan ke penggorengan, dilumuri tepung dan di goreng, di goreng dan diberi sambal, di goreng lalu diulek bersama cabai dan bawang, di sayur, di bakar, atau diberikan ke kucing kesayangan.
Sayangnya tidak. Dan sesungguhnya jika aku memilih aku lebih sudi berakhir di penggorengan secepatnya daripada sekarang.
Anak lelaki si tua itu menangkapku, aku sudah memejamkan mata dan berdoa. Berdoa agar masuk surga dan bertemu Ayah dan Ibu. Bertemu Jane, Kate, Edward, Emily, Daniel, Adam, Frankie, Bonnie, Gerald, dan Heidi. Mereka semua saudara kandungku. Sayangnya anak lelaki itu memasukkanku ke sebuah kotak besar. Mungkin namanya akuarium. Ya, benar, Frankie pernah bercerita setelah ia membaca ensiklopedia -jangan tanya bagaimana dia bisa membacanya-.

Aku berenang di akuarium yang bukan tempat hidupku. Aku hidup di air laut, hidup di air tawar seperti sekarang sama dengan membunuhku perlahan. Mungkin besok aku sudah tinggal nama. Tolong ingat namaku, namaku Deirde. Aku pun tidak tahan, ada lele yang memandangku tajam seperti hendak memakanku sekarang. Atau mujair yang berkumis, terlihat aneh. Belum lagi betok yang hitam dan nila yang meracau tak karuan. Mereka benar-benar menyiksaku, membunuh lewat air yang salah saja kupikir sudah salah apalagi dengan siksaan psikologi seperti ini. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan ikan-ikan darat.

Mungkin sebaiknya mereka mengambilku sekarang. Aku ingin berakhir di penggorengan secepatnya, daripada tersesat diantara perbincangan tentang lumpur yang tak kupahami.

#JustWrite

racauan tidak penting hari ini

Mei 28, 2015

Katanya, kalau kita diabaikan, berarti Dia yang mengabaikan itu tidak sayang dan peduli lagi dengan kita.
Katanya, kalau kita ditegur,dimarahi, diomeli, berarti Dia sayang dan perhatian dengan kita.

Dan Tuhan saya masih menegur saya, masih membuat saya pusing sekali hari ini, dan itu berarti... Dia sayang sama saya. Oh, terima kasih Tuhan!
Kalau hp saya rusak, kalau hari ini penanak saya juga rusak, kalau hari ini saya merinding melihat bulatan-bulatan coklat di kemeja putih yang ketumpahan kopi dan merendamnya 7 jam, kalau hari ini saya merasa kacau dengan semua yang rusak dan kacau mungkin saya harus bahagia. Bahagia sebab Tuhan saya masih menegur saya.  Mungkin saya nggak bersyukur kemarin dengan hp yang menyala meski layarnya nggak bisa disentuh dan baru sadar saat blank , mungkin saya nggak bersyukur penanak nasi saya bisa memasakkan nasi tiap hari sebelum saya merusaknya dengan bodoh hari ini, mungkin saya nggak bersyukur kemeja dan baju saya nggak bernoda. Dan sekarang saya harus bersyukur Tuhan masih sayang dan mau menyentil saya.
Lalu?
Lalu saya harus apa Tuhan?
Beli hp baru? Saya menabung tanpa tujuan, tapi saya tidak bermaksud membeli hp. Haruskah saya mengambil tabungan saya? Baik, saya butuh HP tapi saya tidak menginginkannya. Kontradiktif sekali ya.
Penanak nasi ya. Sebentar lagi puasa. Saya makan apa kalau penanak nasinya rusak? Yang mau diet nasi kan Pinyot.Apa saya harus sok bule dengan makan oat terus? Makan nasi aja saya suka bosan. Beli makanan diluar itu boros loh, Tuhan . Saya harus gimana?
Kemeja yang ternoda sudah saya cuci, sayangnya kaos putih saya tetap bernoda meski nggak sebanyak sebelum dicuci.
Sudahlah. Terima kasih Tuhan, untuk kopi yang halal.


#Meracau

Saya tidak pernah melakukannya.

Mei 26, 2015

Mereka berkata, mereka bicara, mereka memvonis, seolah-olah mereka tahu isi kepalamu.

Saya duduk di kursi panjang di lobi kampus, bersama seorang teman. Saya bercerita tentang lomba menulis dongeng. Dia bilang imajinasi saya bagus, lalu dia bilang kadang imajinasi saya suka SARA. Saya tidak peduli saat itu, tapi mendadak malam ini saya peduli.
Fyi kadang saya tidak tahu mengapa, ingatan saya suka mengambil memori acak, sepanjang hari potongan adegan gak penting datang atau cuma suara dan sepotong kalimat yang terus muncul. Membuat saya berpikir, menganalisa, menebak-nebak. Kurang kerjaan? Tapi itulah cara membuang potongan dan suara dari memori itu.

Kamu nggak mengenal saya. Kamu cuma berkata seakan kamu tahu saya. Kapan saya menulis sesuatu yang SARA ? Saya pikir kamu nggak pernah baca tulisan saya kalau kamu berkata begitu. SARA, suku agama ras adat, benar? Saya nggak pernah nulis tentang suku, agama, apalagi ras dan adat atau antar golongan? Imajinasi saya yang kadang nyeleneh itu adalah tentang kucing, makhluk luar angkasa, kematian, dan entah apalah. Saya nggak tersinggung kok, saya juga nggak marah. Setiap orang boleh bicara sesukanya. Kalimatmu cuma membuat saya bertanya, kapan saya menulis hal berbau SARA. Dan saya tidak pernah melakukannya seperti kamu yang tidak pernah membaca tulisan saya.

Malam. Sesungguhnya saya tidak sedang ingin berbicara ini padamu. Kamu sudah lupa. Saya hanya ingin memastikan ke diri saya, bahwa saya tidak pernah menulis begitu
Tapi mungkin,ketika saya bicara, dan kamu mendengar, dan kamu anggap itu sebagai SARA. Baiklah, terima kasih. Semoga saya bisa lebih baik.

#FotoBercerita

Something to do, writing

Mei 26, 2015

What my life is for? Why i'm life now? Why ? why not another person? What the purpose of my life? Or what the purpose God sent me to the world? And the other questions like those. I ask, everyday, again and again. I ask to myself and to the God. And i cant find the answer. And My Lord never answer, maybe The God sent a code but i dont read. Maybe i'm stupid or blind to see it. But i dont wanna talk about it.

I never wanna long live. But i dont wanna die young, i mean i dont wanna die today or nextyear. No... no like this. And i dont wanna talk about it.

Something that i know, last year, when i'm asked the purpose of my life more often than now, i made an outline. A story. I'm write and i hope i can finish the story. I begged to the God, please, please leave me finish the story and it's mean i pray, i wanna live long, at least 'till the story end. And the story end, i feel happy. But... after that  i don't know... i feel a little anxiety, stress, talk to much to myself, asking and asking again about my life.
write for myself is a' needs' like eat. And the achievement from the other is not important when i'm write, when i'm dance or run in the process (write). So i think theory from Maslow is true. 

         So i think i must write again. Write for myself.  The achievement (a praise,a ridicule, a real my book on the bookstore) is the second. The important thing that i need is write. Just write to feel happy, to increase dopamine, serotonin, oxytocine.

I made an outline last week and yesterday i finish the outline. I begin again a new outline and believe i can finish that. I believe it, i can give a reward and punishment to myself. 2,5 gb midnight quota for 5 chapter. And today, i pray to God, to give me more time, at least 'till i finish the story. Maybe i dont know why i'm in this world but at least i know something to do, like writing and try to finish it.

So, i begin again. Pray for me. I hope i enjoy do it.


* i keep learning writing with english, so... 

#Meracau

Telanjur

Mei 21, 2015



Saya sudah telanjur ada. Tanpa meminta, saya sudah ada. Maka tidak ada hak bagi saya untuk melenyapkan diri saya. Sebab adanya saya bukan kemauan saya maka ketiadaan saya seharusnya bukan saya yang meniadakannya. Saya hidup. Saya menjalani hidup. Saya ada di dunia. Begitu banyak hal yang membuat saya kecewa. Saya kecewa dengan saya sendiri. Tapi yang menyakitkan adalah ketika saya mengecewakan orang-orang yang menyayangi saya. Saya tahu mereka kecewa dengan saya. Sebab saya sendiri kecewa dengan saya.
Saya tidak mau meniadakan saya. Biar Tuhan yang meniadakan saya. Saya tidak mau hidup terlalu lama tapi saya tidak siap jika Tuhan memanggil saya sekarang. Saya ingin mempersiapkan kematian dengan sebaik-baiknya. Saya tahu benar kematian adalah awal dan bukan akhir. Jika setelah kematian tidak ada kehidupan lagi mungkin saya berani mati kemarin. Sayangnya saya percaya dengan Tuhan saya, saya percaya bahwa surga dan neraka itu ada. Meski saya tidak tahu pasti akan masuk ke manakah saya pada saat penghitungan itu tiba. Sebab saya jauh dari definisi makhluk berbakti versi Tuhan. Saya yakin bahwa yang mati hanyalah sistem tubuh kita namun nyawa kita, ruh kita tetap hidup.
Tidak ada yang bisa diubah. Ketika seseorang bertanya apa yang mau saya ubah dalam perjalanan hidup ini, saya akan jawab tidak ada. Karena yang saya inginkan adalah tidak pernah adanya saya. Dan itu tidak mungkin. Meski Tuhan bisa melakukan apapun, saya tidak yakin bahwa kenyataan saya tidak pernah ada di dunia ini akan ada.
Saya tahu saya pencemas. Segala hal tentang hidup saya takuti. Otak saya yang nakal. Mungkin sebaiknya saya berhenti bertanya atau membuat plan untuk masa depan, dan melupakan masa lalu. Mungkin saya harus fokus pada hari ini, pada hal yang saya harus kerjakan sekarang. sebab apa yang saya kerjakan sekarang menjadi sebab atas akibat yang terjadi besok. Bedebahlah dengan tujuan hidup, plan-plan hidup. Saya bukan planner. Jadi kenapa saya harus merencanakan hal-hal yang pada akhirnya membuat saya takut? Kenapa saya takut akan pekerjaan saya esok? Lebih baik saya fokus pada kuliah saya sekarang. Kenapa saya harus mempertanyakan diri saya yang takut akan hal yang teman saya sukai (pernikahan & anak) ,sedangkan belum tentu saya berumur panjang.
Saya merasa ada di jalan yang salah saat ini. Apa yang saya ambil sepertinya tidak benar-benar saya inginkan. Dan saya juga tidak tahu apa yang saya inginkan. Saya tidak tahu harus bagaimana dan saya tahu ini mengecewakan. Tapi  mungkin saya hanya sedikit bosan. Dan mungkin kebosanan ini bisa jadi pemicu yang baik agar saya bisa segera keluar dengan cara baik-baik dari sini. Saya tahu pasti saya ini pembosan.
Saya benci sistem dan terikat. Tapi seperti manusia normal lainnya, saya harus terikat pada sistem yang ada. Saat ini saya bagian dari sistem pendidikan di kampus saya. Saya harus mengikuti arus yang ada agar saya selamat sampai tujuan. Tapi sampai kapan saya terikat ? sampai kapan saya berada dalam sistem? Saya pikir sampai mati dan setelahnya saya adalah bagian dari sistem. Dan saya harus berhenti menyangkalnya.
Surga dan neraka adalah hal yang saya takuti. Saya takut Tuhan saya. Dan saya takut masuk neraka dan lebih takut lagi sayalah yang mendorong mama dan papa saya ke sana. Kenapa saya tidak terlahir sebagai rumput saja. Tidak masalah diinjak, tidak masalah dicabut, tidak masalah dijadikan tempat kucing mengeluarkan fesesnya. Tapi tidak ada surga bagi rumput tidak ada neraka pula. Saat dicabut dan mati, kehidupan selesai begitu saja. Tapi kembali lagi, mau berandai dan menyangkal sekuat apapun, saya sudah terlanjur ada dan terikat pada sistem Tuhan. Bahwa reinforcement dan punishment adalah teori dasar dari Tuhan yang diambil manusia, lalu diberi nama teori behavioristik. Begitulah surga dan neraka.
Saya tahu saya harus berhenti menyangkal. Semakin besar saya menyangkal semakin menyakitkan. Saya harus berhenti bertanya yang tidak-tidak. Saya harus berpikiran positif. Tapi itu semua tidak mudah. Kadang saya hidup dan berjalan tanpa beban, namun menjelang periode perempuan saya, kecemasan saya naik. Mungkin saya perlu makan banyak coklat, es krim, pisang, dan melakukan hal-hal yang meningkatkan 4 hormon bahagia. Dan saya tidak akan minum pil senyum seperti lelak tua di cerita yang pernah saya posting dahulu.
Kadang saya iri dengan anak autis. Mereka bisa hidup dalam dunia mereka dan orang memakluminya. Mereka mungkin tidak terikat dengan sistem sosial. Tapi saya tahu seharusnya saya bersyukur. Dan maafkan saya sudah berpikir yang tidak-tidak.
Jika maaf adalah penghapus. Maka saya akan terus meminta maaf pada Tuhan. Dan maafkan saya mama, maafkan saya papa. Maafkan saya semuanya.
Saya tahu hidup adalah proses belajar. Belajar sampai mati. Dan belajar disini tidak hanya tentang saya dan pelajaran akademik. Atau saya dan belajar menulis atau memotret. Tapi Tuhan ingin saya belajar berperang dengan diri saya sendiri. Dengan ketakutan yang saya ciptakan, kecemasan yang seharusnya saya buang. Dan belajar iklhas dengan segala yang Tuhan lakukan pada saya. Bisakah saya?
Saya pikir sampai disini saja. Dan saya tahu bahwa jawaban ,”saya baik-baik saja,” adalah sebuah dusta.



#JustWrite

Saya menulis untuk saya sendiri, sebab

Mei 13, 2015

Saya membaca sebuah pertanyaan entah-dimana-dan-kapan-saya-lupa yang kira-kira intinya begini ,"Untuk siapa kamu menulis? "

Meski tulisan itu tidak bertanya ke saya, anggap saja dia bertanya dan saya akan menjawabnya. Sekaligus pertanyaan mengapa saya menulis.

Untuk siapa saya menulis? Jawabannya adalah untuk saya sendiri.
Terdengar egois atau idealis ? Mungkin. Tapi begitulah adanya. Saya menulis benar-benar untuk saya. Saya tidak mau menulis untuk orangtua saya sebab belum tentu mereka membaca dan menyukainya. Saya tidak menulis untuk teman-teman saya, sebab tidak semua suka membaca. Saya tidak menulis untuk penerbit. Baik, saya memang ingin tulisan saya diterbitkan. Tapi dalam proses menulis itu sendiri, saya tidak mengharapkan apapun sebab tujuan utama saya adalah selesai. Bersenang-senang, melatih konsistensi. Saya menulis untuk saya sendiri sebab sayalah yang berbahagia ketika sedang menulis. Sayalah yang lega ketika selesai dan membacanya. Sayalah yang mengkritik tulisan saya yang lampau dan menertawakannya sendiri. Sayalah yang kecewa sendirian. Sayalah yang merasa ringan dan sayalah yang merasa meledak-ledak.

Saya menulis sebab bagi saya menulis adalah terapi. Maka yang diterapi adalah saya. Ya, kembali, untuk saya sendirilah itu semua. Saya sedang menulis ini saja, sebenarnya saya sedang mengorek-ngorek sebab saya menulis. Saya menemukan saya ketika menulis, saya menemukan apa mau saya, apa keresahan saya, apa yang mau saya bereskan, apa yang mau saya hilangkan. Blog adalah tempat saya menerapi diri saya sendiri, tidak peduli dengan apa kata orang, apakah orang membaca bagian #meracau atau tidak. Saya menulis sebab saya ingin mental saya sehat. Menjauhkan diri dari kecemasan dan ketakutan yang kadang datang. Mencoba meraba ada apa dan mengapa saya resah karena kadang saya merasa ada beberapa tanda aleksitimia meski saya tidak mengidap itu.

Saya menulis sebab saya ingin menjadi apa yang saya tulis, merasakan apa yang tokoh saya rasakan, mengalami yang tidak bisa saya lakukan. Menjahili tokoh saya, membuat tokoh saya gembira, membuat tokoh saya sedih, membuat si tokoh berkata apa yang saya benci, berlaku yang saya tidak suka atau sukai, dan hal lainnya. Saya tidak mau bunuh diri tapi saya penasaran bagaimana rasanya detik-detik sebelum bunuh diri, maka saya menulis Mian. Saya cemas dengan usia yang bertambah, maka saya menulis bab pertama Odrei. Dosen saya berkata,"Gimana ya anak ADHD yang sesungguhnya?" dan saya mencoba menulis Biru kecil. Saya bisa mengutuki siapapun lewat tokoh saya, bicara apapun lewat mereka, dan saya pikir orang tidak bisa menggugat tokoh saya terkait apa yang ia katakan
Saya menulis sebab otak saya terasa berat kalau saya tidak menulis. Sama halnya ketika saya merasa otak saya kosong kalau tidak membaca. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan. Memang, mungkin hanya 1/4 dari pikiran saya yang tertulis. Sisanya adalah bicara saya pada orang lain, dan setengahnya adalah perbincangan di otak tiap malam yang mengganggu jam tidur dan tidak bisa saya hentikan atau tiap saya tidak melakukan apapun.

Saya menulis sebab saya tahu tulisan saya buruk. Saya percaya latihan bisa membuat tulisan semakin bagus. Maka saya bermain dengan tulisan, secara tidak langsung saya berlatih dan saya percaya, tulisan saya akan semakin bagus nantinya.
Saya menulis sebab  saya ingin menulis. Kalau saya tidak ingin ya saya tidak menulis. Saya tidak ingin melakukan sesuatu maka saya tidak akan melakukannya. Kecuali, saya bagian dari sistem dan terikat seperti PR misalnya. Tapi jika saya tidak terikat, saya melakukan sesuai keinginan saya seperti mama saya menawari saya kamera baru ketika kamera saya baru saja hilang, dengan tegas saya menolaknya dan berkata nanti saja.
Saya menulis sebab saya ingin konsisten dan disiplin dalam hidup. Saya menulis jika ingin, namun ketika keinginan itu datang tiap hari dan saya memupuknya untuk menjadi kebiasaan, bukankah saya sedang melatih diri untuk jadi lebih konsisten?

#JustWrite

random poem

Mei 13, 2015

so many denials on my mind
denials is pain
i know it's wrong
but i know i'm strong


i wanna run away
swim, run, fly away
never come back
and everything i touch, turn to black


maybe i must say sorry  
to my mom and daddy
'cause maybe i let you down 
'cause i don't really want 
and never stop find

i try to walk on the flow 
but my heart doesn't follow
so what i must do now?
 

#JustWrite

Tendangan Mbah Tukang Sapu

Mei 13, 2015

Sebagai pecinta lingkungan, selain berjalan kaki  saya, Opie, dan Woro  sering menggunakan fasilitas kampus berupa bus kampus. Sebuah bus didominasi warna kuning-apalah-itu dan warna putih serta merah. Kami menjulukinya Bumblebee.
Kami memilih menggunakan Bumblebee ketika pulang dan saya sendiri kadang berangkat ke kampus menggunakan Bumblebee. Ada satu hal yang sebaiknya tidak ditiru mahasiswa lain. Tapi menurut pengamatan kami sejak pertama menggunakan Bumblebee, tidak hanya kami yang melakukan ini. Bahwa kami, jarang membayar. Tidak, lebih tepatnya kami hanya memasukkan recehan seadanya yang ada di kantong saat itu. Kadang seratus rupiah, kadang lima ratus, tujuh ratus, kadang tidak membayar. Meski ada tulisan seperti 'Uang Pemeliharaan 1000" (saya lupa apa tulisannya) kami mengabaikannya.
Di suatu hari kami membicarakan masalah bayar-membayar Bumblebee dan sepakat dengan dalih bahwa di UKT kami itu sudah termasuk biaya transportasi. Bahwa tanpa kami masukkan seribu rupiah, si sopir yang berganti-ganti itu sudah di gaji. Maka kami memutuskan untuk membayar seadanya. Jika ada koin di saku kami akan membayar, jika tidak ucapan terima kasih kami kira cukup. Kami bahkan membanding-bandingkan fasilitas berbayar ini dengan bus kampus lain. Seperti,"UI aja gratis kok busnya. Harusnya kita juga gratis"

Hari ini kami pulang pagi. Saya dan Opie menunggu Bumblebee. Setelah koneksi busuk menggagalkan Pinyot mengupdate aplikasi-aplikasinya dan Bumblebee muncul kami memutuskan pulang. Kami naik, di kursi kedua dari depan. Tak lama setelah kami naik, Mbah-mbah tukang sapu yang biasa kami temui di kampus naik. Seorang lelaki tua dengan rambut putih dan gigi yang tak lengkap lagi. Lelaki itu berdiri dan memasukkan uang ke kotak uang dengan kepayahan. PAS. Seribu rupiah. Dan saat itulah dada saya sesak. Seperti ditendang, terjungkal, dan menyakitkan. Entah mengapa tangan saya refleks mencari kantung uang. Padahal awalnya saya tidak berniat membayar sebab tadi pagi saya sudah memasukkan uang ke kotak itu.
"Gue mau nangis Cik," kata Pinyot sambil mencari uang. Ia menemukan selembar uang seribuan di dompetnya.
"Seperti ditendang,Nyot. Seperti kita nonton Lena Maria dia bisa ngerajut dan kita nggak," tambah saya. Mengeluarkan koin seribu dari kantong uang.

Bagaimana pun, kami merasa tertohok melihat tukang sapu itu membayar. Sebab tidak pernah ada tukang sapu lain yang membayar selama ini. Uang jajan kami mungkin tidak banyak, tapi melihat tukang sapu yang sudah tua dan gajinya sebagai tukang sapu mungkin tak seberapa namun kesadarannya amat besar mengikuti peraturan, saya dan Opie mendadak merasakan apa itu ditendang lewat perbuatan orang. Seperti hukuman karena sering tidak membayar atau membayar sesukanya

Well, meski kami nggak berjanji akan selalu membayar Bumblebee, tapi kami berdoa Bumblebee digratiskan saja.

Selamat Siang.

#Imajinasi

On his mind.#ff

Mei 12, 2015

Kemarin, pulang kuliah entah kenapa langsung ngambil buku and write this. Belum selesai atau mungkin hanya sampai sini, aku juga nggak tahu. Lelaki yang ada di cerita ini hanya minta diceritakan kisahnya meski belum berakhir. Enjoy it. Mau kritik saran juga boleh :)


Symphony No.40 in G Minor milik Mozart memenuhi ruang pendengaran saya. Pelantang dengar terpasang rapat di kanan dan kiri telinga. Saat ini saya merasa sedang berlari, berusaha pergi dari kenyataan kejam yang saya takuti. Saya tahu bahwa kenyataan bedebah dan menyakitkan itu tidak akan pergi sekuat apapun saya berteriak mengusirnya. Mungkin saya sedang menyangkal. Meski saya paham benar menyangkal adalah kesia-siaan.
You know, you must face the truth. Stop asking ‘why’ .
Bukan, itu bukan perkataan saya. Seorang lelaki tua berjambang putih dengan topi kuning yang mengatakannya pada saya beberapa hari lalu. Tidak, kami tidak mengobrol atau saling mencurahkan masalah. Saya sedang menunggu bus ungu nomor 37 yang saya yakini bisa mengantarkan saya ke surga barang sejenak. Lelaki itu datang dengan tas coklat yang ia rapatkan ke kemeja putihnya yang lusuh. Ia memandang saya dan berkata,”Dear, You know, you must face the truth. Stop asking ‘why’ . “ . Saya tidak menanggapinya, saya malas berbincang-bincang dengan siapapun sekarang. tidak ada orang di dunia ini yang bisa saya percaya. Tapi dengan bedebah, ucapan kakek tua itu terpatri di otak saya. Lihat, saya ingat setiap katanya sekarang, bukan?
Tak lama setelah mendengar ucapan kakek tua itu, bus nomor 37 datang dan saya meninggalkan si kakek. Bus itu berhenti di depan sebuah bar dan saya masuk ke sana. Memesan berseloki-seloki minuman setan. Apapun nama minuman beralkohol yang terdengar indah di telinga, saya pesan malam itu. Seperti, “Welcome to the jungle”, “Imagine Cow” sampai “Red or blue or black or yellow, bullshit !”. I know... saya tahu mabuk adalah hal buruk. Tapi saya sedang menyangkal apapun sekarang. Bersama cairan fermentasi laknat Tuhan saya melayang. Terbang ke langit lapis sekian dan tertawa sepuas setan. Bahwa saya hanya bisa tertawa dan menertawakan nasib saya bersama “Red or blue or black or yellow, bullshit!” dan dentam-dentum musik yang tak pernah menertawakan apa yang saya teriakkan. Malam dimana saya mabuk itu saya melihat cahaya berkilauan. Mungkin malaikat, tapi sudikah makhluk suci itu masuk ke bar?
Pelantang dengar masih berbunyi, memutar simfoni Mozart yang lain. saya menutup mata, menikmati hembusan angin yang menerpa pori-pori kulit saya. Cuaca cerah namun angin membuat saya tak gerah. Bisakah saya menjadi angin? Yang bisa berhembus sesukanya. Dari utara ke selatan, dari barat ke timur laut. Bisa dengan manja berayun di dahan pohon atau kesetanan dan menjadi angin ribut atau badai. Lalu malu-malu dan berhembus pelan tanpa terasa.
Serotonin, oksitosin, dopamin, dan endorfin. Apalagi? Apalagi hormon yang menyebabkan manusia jadi bahagia?
Ada sebuah teori busk yang sangat saya benci setengah mati. Teori itu berkata bahwa semua bermula dari otak, dari pikiran kita. Ya, semua yang kita rasakan dan pikirkan bermula dari benda menyerupai agar-agar yang terombang-ambing di kepala dan ditahan cairan yang tidak pedulilah saya akan namanya.
Jadi, ketika saya sedih sebab otak. Saya resah karena otak. Saya senang karena otak. Bodoh saya karena otak. Sebab otak pula saya pintar. semuanya sebab otak. Saya benci teori itu mungkin karena memang benar. Dan saya makin benci ketika saya merasa resah, saya hanya bisa menyalahkan otak. Bukan kaleng soda di depan mata saya, bukan gadis cantik yang mengerling manja di sudut bar, atau pengemis buruk rupa. Segala kesalahan, kesedihan, dan tawa saya berasal dari otak. Terpujilah engkau ketika saya bahagia dan terkutuklah engkau ketika saya sengsara, otak.
Musik yang katanya dapat mengubah perasaan menjadi lebih ceria tak menimbulkan apa-apa Saya sedih sekarang. dan makin sedih tidak ada yang bisa saya salahkan. Terlebih semuanya salah otak dan menyalahkan otak sama saja menyalahkan diri sendiri.
Serotonin, oksitosin,dopamin, dan endorfin. Mungkinkah saya sedang miskin mereka sekarang? Hingga saya tidak bahagia d merasa hancur lalu ingin kabur. Apakah jika hormon itu melonjak, saya bisa bahagia? Bisakah mereka menyelesaikan masalah pelik saya? Saya tidak percaya, tapi tidak ada yang salah untuk mencoba.
***
Lelaki kurus itu menghampiri saya ketika saya duduk di taman kemarin. Menawari pil-pil dengan harga selangit yang warna-warni dan menarik hati. pil itu tersenyum pada saya.
“Bisa menaikkan serotonin, dopamin, oksitosin, endorfin?” tanya saya.
“Ah, Anda bicara apa Tuan? Yang saya tahu bahwa Anda bisa bahagia jika Anda menelan pil ini. Anda akan merasa seperti di surga, melayang tanpa batas dan lupa semua masalah Anda. Lihat, saya terlihat bahagia bukan? Hahaha.”
Saya mengamati lelaki itu, dari rambutnya yang keriting, matanya yang cekung namun terlihat bergairah dan semangat, bibirnya menghitam dan terus menyungginggkan senyum sambil tertawa. Saya butuh bisa tersenyum dan tertawa seperti dia. Saya butuh senang, saya butuh, saya menginginkannya.
Maka saya menguras uang yang ada di bank, mengubah digit yang saya miliki demi pil warna-warni yang terus tersenyum pada saya.
Malamnya saya menelan sebutir pil tersenyum berwarna pink. Pil yang saya yakini mampu mendongkrak kadar serotonin, dopamin, Oksitosin, endorfin dan tentu pemicu bahagia dan segala tawa. Malam itu saya merasa manusia paling bahagia. Saya melihat semua orang tersenyum pada saya, mereka ada di langit-langit kamar. Bahkan adik saya yang sudah mati pun tertawa di langit-langit.
Ada rasa nyaman dan tenang. Senyum saya terus terkembang bersama tawa yang membahana. Saya telan lagi pil bahagia itu. mendadak semua orang yang ada di langit kamar menghilang. Saya kesal, namun dua ekor kelinci dengan jas datang. mereka lucu sekali. Kelinci dengan pita merah memegan mikrofon dan si pita hijau memegang tamborin. Belum menyanyi saja saya sudah tertawa, kelinci-kelinci itu lucu sekali dan mereka bergoyang-goyang. Si pita merah memulai nyanyiaannya. Tidak ada masalah sampai ia lupa lirik di bait kedua baris kedua,pula.

“When the blazing sun is gone. When nothing.... when nothing... when nothing... nothing....”
Kelinci berpita merah menunduk menyembunyikan pipinya yang gembil dan memerah karena malu. Meski begiyu ia tetap mengulang-ulang ‘when nothing’. Si pita hijau terlihat asyik sendiri memaikan tamborinnya, tidak peduli dengan si merah dan menari-nari sendiri.
“When nothing shines upon!” seru saya. Si pita merah merona bahagia, melanjutkan nyanyiannya. Tapi ia selalu lupa baris kedua.
Di bait ketiga ia lupa “thanks you for your tiny spark” dan terus menggulang-ulang “thanks you”
Di bait keempat ia terus berkata “And often through” dan lupa bahwa lanjutan tiga kata itu adalah “my curtains peep”.
Bait terakhir ia hanya meracau “the dark” ketika seharusnya “ lights the traveller in the dark”.
Saya bertepuk tangan sambil terengah-engah sebab lelah menertawakan si kelinci. Saya ingin lagi, lalu menelan pil kuning. Tak lama setelah pil itu saya telan, kelinci-kelinci itu undur diri. Saya diam sambil memandangi kaca di depan saya. Sampai seorang raksasa hitam dengan mata kuning tertawa dan mendekati saya. Saya bersembunyi di balik selimut dengan lutut bergetar dan dada bergemuruh kencang. Air mata saya jatuh dan mulut saya memanggil nama Tuhan. Tapi, apakah Tuhan dengar teriakan saya?
*


#Imajinasi

Makio : Pertama, Keroy

Mei 07, 2015

 Aku menulis tweet ini kemarin, dan aku mencoba menulisnya. Entahlah.

Pada suatu hari, hiduplah lelaki bernama Makio. Ia memiliki kekuatan yang tidak biasa, yaitu menghilangkan setiap orang yang ia benci dari dunia ini.


 Perkenalkan, lelaki berkemeja putih dengan garis-garis vertikal merah, jeans belel, kacamata bulat dan sepasang Keds yang mulai usang. Ya, lelaki yang sedang duduk di kursi merah sambil menunduk dan mengetuk-ngetukkan jemarinya di lutut. Beberapa kali lelaki itu terlihat mengambil sapu tangan hitam di saku kemejanya, mengusap keringat yang membanjiri pelipisnya, memasukkan sapu tangan itu ke saku, berkeringat lagi, dan mengusap keringat lagi. 12 kali. Dan ya, baru saja ia mengusap untuk yang ketiga belas kalinya.

Seorang lelaki tua berambut putih duduk di sampingnya. Menyunggingkan senyum dan sebuah anggukan pada lelaki berkemeja putih itu.
"Hai, aku Gara. Kamu bisa memanggilku Kakek G," sahut lelaki tua itu.
"Makio," ujar lelaki berkemeja putih bergaris merah.
"Dokter Dan belum datang? Aku rindu berbincang-bincang dengannya. Sudah pernah bertemu dengan  Dan sebelumnya?" Kakek G memulai percakapan.
Makio menoleh sejenak dan kembali memandangi jemarinya. "Aku belum pernah bertemu."
Suara wanita merdu memanggil Kakek G. Terdengar ia mengucapkan salam perpisahan pada Makio. 
*
         Beberapa tahun silam...

        Suami Mam kembali memukulku malam ini. Sebabnya, aku terlambat sampai di rumah dan ia lapar. Aku hanya membawa sepotong roti gandum yang kudapatkan dari Bibi Pat lalu pemabuk itu marah dan memukulku setelah menelan rotiku bulat-bulat. Sekujur badanku membiru, dan nyeri yang teramat menyiksaku malam ini. Aku memilih meringkuk di tempat tidurku yang lembab. Di balik selimut putih aku menahan tangis sebab badanku terasa seperti terlindas truk di jalanan. Tapi rasa sakit di paha, lengan, atau pipiku tak sebanding dengan rasa sakit hatiku. 
      Aku sudah tahu bahwa Keroy -nama keparat yang menikahi Mam- bukan lelaki baik-baik. Di hari Mam memperkenalkan Keroy sebagai calon ayah baru, setahun lalu, aku sudah tak suka dengannya. Keroy memelukku erat dan menciumku, dan aku tahu itu palsu. Bau alkohol pun tercium tiap Keroy berdekatan denganku. Badannya yang tinggi dan besar dengan jambang lebat dan rambut agak gondrong makin membuatku takut akannya. Aku pernah menolak Keroy, namun Mam bilang lelaki itu baik dan ia mencintainya. Dan aku yang saat itu masih enam tahun tidak tahu harus melakukan apa untuk menggagalkan mereka.
     Dadaku makin sesak. Sekarang usiaku sudah tujuh tahun dan aku tidak bahagia. Keroy sumber bencana dan nestapa keluarga kami. Dia hanya mabuk, menonton tv, dan memukuliku. Dia akan berlaku seperti ayah yang baik di depan Mam. Aku ingin Keroy hilang dari hidupku. Aku ingi Keroy mati atau lenyap tanpa kabar berita. Aku ingin Keroy hilang, aku ingin Keroy hilang. Keroy menghilanglah.

          Pagi ini rumahku ramai. Aku bangun sambil menahan sakit di sekujur tubuhku. Tentu saja, penyiksaan Keroy akan meninggalkan bekas dan penderitaan paling tidak sampai lima hari ke depan. Mam menangis. Oh tidak, ia meraung-raung. Mam duduk di kursi sambil memeluk baju Keroy. Sebentar, aku ingat baju itu. Kemeja kotak-kotak biru yang dipakai Keroy semalam saat memukuliku. Bibi Pat duduk di samping Mam, perempuan gembul dengan rambut keriting bak medusa itu menepuk-nepuk bahu Mam. Mungkin menenangkan. Beberapa lelaki dan perempuan yang kuketahui sebagai tetangga atau pemilik toko di dekat rumahku merubung.
    "Ada apa?" tanyaku.
   "Ayahmu hilang, Makio," sahut lelaki tua dengan topi merah dan kacamata berbingkai emas. Aku mengingatnya sebagai tukang reparasi jam di dekat toko roti Bibi Pam.
   "Bukankah ayahku sudah lama mati?"
   "Keroy. Lelaki itu tiba-tiba hilang. Ibumu berkata ia bangun dan hanya menemukan bajunya di kasur," lelaki tua itu menjelaskan.
   Aku memasang wajah sedih dan berlari keluar rumah. Dan mendapati aku sudah jauh dari rumahku, aku tertawa, tersenyum dan berteriak-teriak bahagia. Rasanya menyenangkan medengar Keroy hilang.
      Sebentar... bukankah aku meracau menginginkan Keroy hilang semalam? Jangan-jangan aku bisa menghilangkan orang yang aku tak suka? 
   "Kamu memang memiliki kemampuan itu, Nak," suara seorang perempuan terdengar. Kudapati wanita seusia Mam dengan gaun merah muda selutut.
   "Aku? Kemampuan apa?"
   "Kamu bisa menghilangkan orang-orang yang kamu benci atau tak suka. Dengan cara yang kamu lakukan semalam," jelasnya.
   "Dengan... berkata aku ingin Keroy hilang?"
   "Benar. Semoga kamu bijak, Nak," pesan bibi berbaju merah muda itu sebelum berjalan dan tak terlihat lagi saat ia berbelok ke gang kecil.
    Benarkah Keroy hilang karena aku? 

*

Keroy ditemukan di sungai tiga hari kemudian. Telanjang dengan tusukan di dadanya. Ada banyak tusukan disana. Mam menangis meraung ketika Keroy masuk tanah dan gundukan tanah itu menimbun lelaki keji. Bagaimana Keroy bisa ada di sungai yang jaraknya berpuluh-puluh kilometer dari rumah?

#Meracau

Adalah

Mei 04, 2015

Adalah hal yang tidak saya ketahui mengapa ini adalah tulisan ketiga yang menggunakan kata 'adalah' sebagai pembuka.  Adalah sesuatu hal yang tidak saya mengerti mengapa saya menuliskan 'adalah' ketika Langit memulai bercerita tentang Biru dan Imagine Dragons atau Wala memulai menceritakan Laura di cerpen absurb yang saya posting di blog ini kemarin. Dan adalah hal yang sinting ketika saya membuka blog dan menuliskan adalah. So... what's happen with me? Fallin' in love with 'adalah' ? Oh No... No and No way.
Adalah -tolong jangan ejek atau marahi saya jika kamu menemukan banyak kata itu di sini nanti - hari yang tidak baik namun tidak buruk. Ketika pagi berangkat ke LPPM untuk mengumpulkan berkas KKN dan sampai di ruang tempat ngumpulin, cuma diam dan berpikir kenapa orang-orang mengumpulkan slip bayar dan bukti cek kesehatan. Sampai akhirnya sadar, ngapain capek-capek minta surat sehat kalau cuma mau disimpan. So, saya berjalan cepat - saya lebih suka itu daripada berlari-  ke kost, ambil dua kertas berharga itu dan sampai ke LPPM.
Adalah sebuah cara baru makan gratis dan murah yang kami temukan tadi. Membeli 2 piring nasi pecel dan meminta sebuah piring lagi. Untuk apa? Sebentar... begini ceritanya. Tersebutlah seorang ibu kantin yang sampai sekarang saya nggak tahu namanya, beliau selalu memberikan nasi dalam jumlah yang banyak. Kadang saya jadi tidak makan lagi di kost sebab kekenyangan. Hari ini, Sixma, adalah seorang mahasiswi yang tidak membawa uang karena atmnya dibawa seseorang. Dan karena kami -saya dan Wara- yakin bahwa makan segini banyak akan membuat kami mengantuk dan Sixma butuh makan, makan kami menyumbangkan nasi kami untuk Sixma. Hingga kami menemukan bahwa, beli saja dua piring nasi pecel dan katakan "Porsi kuli" maka nasi yang diberikan akan lebih banyak. Dan pinjam 2 piring dan 2 sendok tambahan. Dan kami berempat bisa makan dengan hemat. Tapi entah kapan kami melancarkan ide nakal itu.
Dan adalah hari dimana saya bangun dari tidur sejenak sepulang kuliah dengan kepala nyeri. Sayangnya kopi mainan tidak mampu mengobati dan saya sudah berjanji tidak menambah kafein di darah ini. Sudah tadi pagi dan sudah sore ini.

Adalah hal aneh ketika akan merebus mie dan meletakkan wajan di kompor dan membawa margarin. Stupid stupid stupid !
And the other stupid thing is when i open my Red Laptop and forget what i must to do know.

Dan adalah perasaan kacau balau yang kembali menyergap tanpa sebab. Saya percaya itu akan hilang seketika. Mari meracau mengikuti lagu yang terdengar, membaca, atau menulis lagi.
 Selamat tinggal adalah, aku sudah bosan padamu... sekarang!

#JustWrite

WALAAA!

Mei 03, 2015



Adalah hal yang membahagiakan bagi gue ketika mengenal Laura, jatuh cinta, dan dia mengangguk ketika gue mengajukan diri sebagai pacarnya. Dan adalah kebodohan besar di awal-awal masa percintaan ketika gue melakukan apapun yang Laura inginkan. Cinta mungkin enggak buta tapi cinta membutakan. Jatuh cinta pada Laura adalah seperti seorang low vision yang kacamatanya di lempar ke sungai, terbawa arus dan hancur diinjak kerbau yang sedang berkubang.
Gue mungkin merasa jumawa dan tersenyum paling lebar sedunia ketika orang-orang memuji Laura. Gue masih ingat tiap kata yang dilontarkan 3 sahabat gue.
“Gila ya, lo kok bisa sih dapat cewek secantik dia?” kata Andre
“Lo melet ya? Ngaku lo?” tuduh Omar
“Kita lihat sampai kapan lo bertahan dengan Laura, boys,” sahut Edo sambil menepuk bahu gue kala itu.
Tapi itu dulu. Zaman purba lima bulan yang lalu gue memang merasa jadi lelaki paling bahagia dan beruntung bisa mendapatkan Laura. Siapa yang enggak kenal Laura di kampus ini? Dia cantik, hidungnya mancung dengan bibir mungil merah jambu dan rambut bob yang pas di wajah hatinya. Tubuhnya semampai dan jenis perempuan yang membuat cewek lain iri setengah mampus karena apapun baju yang Laura pakai, baju itu akan mendekapnya sempurna.  Laura dikenal semua orang, Laura anak orang terpandang dan ... gue yang berhasil mendapatkan hatinya.
Iya, gue. Walananta Kareno Dinata. Yang diyakini semua orang bahwa gue bukan a cup of tea-nya Laura. Mengingat mantan-mantannya Laura adalah yang tinggi tapi enggak kerempeng kayak gue, yang sekali senyum bikin para perempuan meleleh, yang diteriakin namanya di lapangan. Dan gue, Walananta cuma penghuni perpustakaan yang enggak sengaja naksir Laura dan dia naksir gue balik.
Awalnya, gue pikir ini hal biasa. Ketika Laura menelpon gue di siang bolong dan mengabarkan ia datang bulan.
“Terus kenapa kalau kamu lagi datang bulan?” tanya gue tolol.
“Yah, beliin aku pembalut dong Walaaaa! Pokoknya dalam waktu 15 menit kamu harus udah datang bawa pembalut ya!” titah Laura. Dan gue yang lagi nongkrong di kantin langsung berlari ke parkiran, ngebut ke toko terdekat, dan membuang malu jauh-jauh demi seplastik pembalut.
Gue datang bersama plastik hitam berisi pembalut dan mata gue menangkat Laura yang berdiri di dekat toilet. Gue kira dia akan menghadiahi ucapan terima kasih, sedikit cium pipi kanan dan kiri mungkin. Sayangnya...
“Aduh, Walaaa... gue cuma mau pakai merek Daydreaming yang 29 cm dan bersayap!”
Duh, mana tahu gue merek pembalut, berapa panjangnya dan ada sayap atau enggak. Dan demi cinta, gue menuju swalayan untuk mencari pembalut Daydreaming  29 cm dan punya sayap. Apakah setelah pakai itu Laura bisa terbang ke langit ke tujuh lalu turun jadi bidadari, gue enggak tahu.
Gue pikir, setiap Laura menelpon gue dan berteriak memanggil nama gue, dilanjutkan perintah-perintah kecil itu adalah bukti bahwa dia mempercayakan apapun pada gue. Dia memercayakan membeli pembalut, susu, kopi, atau sekadar tisu ke gue. Tapi lama-lama gue merasa gue menjadi seperti kacung. Gue mencoba menolak beberapa kali tiap dia menyuruh gue melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting yang bisa dia lakukan sendiri. Gue kira mengangkat jemuran, berangkat kuliah, menjilid makalah, bisa dilakukan sendiri tanpa gue. Well Laura, kami, kaum lelaki memang suka dengan perempuan yang sedikit manja sebab kami merasa dibutuhkan. Tapi Laura, kalau manjanya keterlaluan kayak lo, lama-lama gue enggak tahan.
Gue enggak tahan dimarah-marah di depan umum ketika gue salah pesan makanan.
Gue enggak tahan perut gue dicubit dan sedikit dipelintir ketika gue salah milih tempat duduk di bioskop.
Gue benci lihat dia yang nangis cuma gara-gara gue bilang Taylor Swift cantik. Dia iri dengan Taylor Swift dan dia memaksa gue bilang dia, Laura Sun Freya, adalah perempuan tercantik di dunia ini.
Gue kehilangan waktu untuk diri sendiri. Kenapa? Waktu gue habis untuk beli sabun, lalu balik lagi beli sampo, anterin dia ke salon, jadi komentator baju yang dia pakai, sampai mendengar betapa dia pengin jadi Cinderella atau Putri Tidur.
Lo memang harusnya jadi Putri Tidur, Laura sayang. Tidurlah selama-lamanya. Oke, stop gue jahat.
Sebagai penghuni perpustakaan, gue gemar membaca apapun. Termasuk buku-buku psikologi. Tibalah hari dimana gue mengambil buku yang gue lupa judulnya, yang jelas buku itu bicara tentang mentah health, tentang psikologi abnormal. Gue percaya bahwa mungkin tidak ada manusia normal di dunia ini yang ada manusia berkecenderungan tidak normal. Sebab, orang jenius saja masuk ke kategori anak berkebutuhan khusus. Dan mencuci tangan tiga kali sebelum makan seperti yang dilakukan Omar, mengindikasikan dia mengidap obsesif kompulsif. Dan Laura, mungkin kesehatan mentalnya tidak benar-benar sehat.
Laura lahir dari keluarga kaya raya dengan fasilitas lengkap. Gue tahu Laura pasti terkaget-kaget tinggal sendirian di kost meski kost Laura adalah kost elit. Dimana bayar kost sebulan baginya adalah setahun bagi gue. Laura tidak punya saudara dan gue tahu mami papinya amat memanjakannya. Dia enggak pernah berusaha lebih selain merengek, nangis, ngambek, atau merajuk untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia merasa bahagia kalau semua orang melihat ke arahnya. Entah siap role mode gadis itu tapi gue yakin ini bisa jadi karena dia cinta mati dengan princess, Cinderella, Sleeping Beauty, Aurora, Ariel dan entah siapa lagi. Dan ini mungkin penyebabnya, mengapa gue mencurigai Laura terserang Princess Syndrome.
Dan hari ini, gue akan melawan Laura. Dimulai dengan menyalahkan pesanan. Gue memang sengaja cari gara-gara.
“Ih, kenapa nasi pecel sih Walaaa? Aku kan udah bilang tadi pesen  gado-gado. Kamu bisa bedain kan gado-gado sama nasi pecel itu gimana?” suara Laura terdengar, keras dan melengking. Setiap orang yang ada di food court memandangi kami. Oh bukan kami, memandangi Laura. Dan seperti ratu, Laura membalas tiap tatapan yang ada dengan wajah judesnya. Laura suka itu, Laura suka ketika setiap orang memandang ke arahnya. Meski gue harus dijadikan tumbal.
“Aku enggak denger. Udahlah, makan aja. Enggak jauh beda sama-sama sambel kacang,” balasku datar. Lalu melotot dan memandang gue  dengan mata yang dipenuhi bara api. Permainan ini akan kita mulai kan, sayang?
“AKU ENGGAK MAU WALAAA! PESENIN GADO-GADO ATAU AKU ENGGAK MAU MAKAN!” teriaknya.
“Yaudah kalau enggak mau makan toh kamu yang sakit,” jawab gue  sambil mengambil piring yang dicampakan Laura. Gue memasukkan nasi dan sayur ke mulut dengan cepat. Dan secepat gue menelan secepat itu pula bayi di depan gue meledak. Bayi bernama Laura itu meledakkan tangisnya, pelan awalnya. Namun pengabaian yang gue lakukan membuatnya makin kencang menangis. Gue yakin dia enggak pernah nangis sekencang sekarang sebab orang-orang di sekitarnya selalu luluh tiap mendengar isakan pelannya. Hahaha, gue sudah seperti ayah yang memodifikasi perilaku anaknya ya? Apa nama istilahnya, extinction? Ah, peduli apa. Lagipula gue bukan anak psikologi, kan?
Gue terus makan hingga gue merasa rambut gue basah dan sebuah es batu bercokol di kepala gue yang kata Laura mirip sarang burung. Gue mengambil es batu dan melemparnya sembarang. Laura masih menangis dan menatap gue garang. Jadi lo mau permainan ini gimana, Laura? Lihat semua orang memperhatikan kita. Lo suka itu kan, sayang?
“WALA JAHAT! WALA ENGGAK SAYANG SAMA LAURA!” teriaknya.
“Oke, kita putus,” sahut gue sambil tersenyum. Mungkin ego gue masih ingin bermain-main tapi gue sudah enggak sabar mengatakan itu.
“Wala... Laura kan masih cinta sama kamu,” di tengah isakan Laura bicara, terdengar seperti sebuah gumam. Gue mengambil ransel dan berjalan meninggalkan meja kami. Makanan sudah dibayar sebelum kami makan, gue enggak punya utang.
Laura mengejar gue, si cantik itu memanggil-manggil nama gue sekarang. Tapi gue enggak boleh kalah. Gue bukan enggak sayang lagi dengan Laura, gue hanya ingin memberi sedikit pembelajaran mungkin.
“WALA! BERHENTI ENGGAK?” teriaknya. Gue berbalik dan menatap Laura. Gadis rapuh yang tukang nyuruh-nyuruh seakan dia anak raja.
“Kenapa?”
“Kenapa harus putus?” tanyanya.
“Karena aku sayang sama Laura.”
What’s?”
“Adanya Wala cuma buat kamu makin manja dan berlaku seenaknya, tuan putri. Aku suka perempuan yang mandiri. Yang bisa keluar rumah sebentar untuk beli sabun, yang enggak nyalah-nyalahin orang dan sadar kalau di atas langit masih ada langit. “
“Aku mau berubah,” sahut Laura pelan. Gue menatap Laura, mengelus rambutnya yang bob itu.
“Berubahlah jadi perempuan yang lebih baik. Demi dirimu sendiri,” kata gue pelan. Laura terdiam.
*
Adalah hal yang membahagiakan bagi gue sekarang bisa duduk di samping Laura Sun Freya yang memangku seorang bayi lelaki kami. Iya, dia Laura yang itu. Si perempuan mandiri dan peduli dengan orang di sekitarnya. Bukan si tukang teriak,”Wala... SABUN GUE HABIS! BELIIN DONG GUE TUNGGU 5 MENIT LO HARUS ADA DI PINTU KOST GUE!”

Popular Posts

My Instagram