Untukmu otakku

Juni 28, 2015

Waktu bergerak dengan kecepatan yang sama. Satu hari tetap 24 jam. Sudah kubilang berapa kali padamu, tidak bisa waktu itu kau percepat, disingkat,atau menghapus beberapa hari untuk menghindar.
Aku benci kamu.
Aku benci kamu yang sukanya menyangkal. Semuanya kamu tolak. Seperti tidak ada yang kamu bisa terima. Kenapa sih kamu penakut sekali? Hey, Tuhan mengadakanmu pasti punya alasan. Kalau kamu tidak tahu alasannya, cari bukan lari.
Kenapa kamu suka lari?
Kenyataan untuk dihadapi, kita tidak sedang bermimpi. Yang bercerita lalu bangun dan hilang semua.
Kamu bisa menghapus takutmu pelan-pelan. Kamu bisa mengubur pesimismu perlahan. Kamu bisa yang kutahu kamu cuma tidak mau. Mengaku?
Bersyukurlah sayang, berhenti menyangkal. Bisa kan? Toh kita cuma makhluk Tuhan yang berjalan sesuai skenarionya. Hanya kita saja yang tidak tahu bagaimana hidup kita sesungguhnya. Kita cuma mainan yang Tuhan sayang. Ikuti maunya Tuhan,nanti dia sayang.
Hiduplah dengan kebaikan. Yuk kubur takutmu, apapun itu.
Karena kita sudah terlanjur hidup. Dan tidak akan pernah mati. Benar kan? Sebab setelah matinya tubuhmu jiwamu masih hidup.

Sudah ya. Semoga kamu masih punya mimpi untuk dikejar.

Salam manis,

Sistem limbikmu.

#JustWrite

Tentang Seandainya

Juni 19, 2015

Dalam barisan kata jahat, seandainya adalah salah satunya. Seandainya adalah setan berjubah pangeran yang tampan dan memukau. Seandainya selalu menyuguhkan segelas wine yang memabukkan. Seandainya memberimu gulali yang manis dan berakhir sakit tenggorokan. Seandainya kadang begitu baik hati, menawarkan imajinasi yang berbuah inspirasi. Sayangnya seandainya lebih sering diajak untuk berlari. Lari dari kenyataan meski akhirnya kembali, lari dari semua yang tak diinginkan, membangun mimpi, membuat terbuai dan berakhir kekecewaan.Seandainya dan seandainya. 

Selamat Berbuka. Seandainya...

#FotoBercerita

Burung Hantu di Lengan kiri #FotoBercerita

Juni 18, 2015

Di temukan di Pinterest

Aku diam memandang secarik foto yang tak sengaja kutemukan di antara tumpukan foto-foto yang terselip di binderku saat kuliah dulu. Sebuah lengan dengan tato burung hantu yang kupuja setengah mati. Tato yang kubuat 27 Februari 5 tahun yang lalu, saat aku masi. Aku ingat, minggu-minggu awal setelah si burung hantu bertengger di lenganku, hariku kulalui dengan kemeja lengan panjang atau kaus sebatas siku. Tak seperti bangkai yang akhirnya tercium baunya, tato burung hantuku ini pun terlihat oleh Dad di suatu pagi.
"Apa yang ada di lenganmu itu?" tanyanya ketika aku berjalan menuju kulkas. Dad duduk manis di meja makan dengan secangkir kopi hitam yang nyaris tandas. Aku terdiam dan memandang pakaian yang kukenakan, hanya kaos dalam yang sudah pasti memerlihatkan goresan tangan Andrea ini.
"Ta..tato," jawabku terbata. Dadaku berdegug kencang menunggu makian.Kualihkan pandangan ke isi kulkas, mengambil sekotak susu cair stoberi.
"Bagus sekali,ya! Sudah dilarang menggambar malah menggambari lengan," sindir Dad dengan tatapan mata yang tertuju pada lengan kiriku. Aku menunduk dan berjalan menuju kamar.
"Odrei!" panggil Dad. Oh, tidak memanggil, ia berteriak. Aku menoleh dan kembali berjalan.
"Mau jadi apa kamu hah? Tatoan begitu? Kamu tahu tidak kalau tato itu menyulitkanmu bekerja, belum lagi agama kita...," racauan dari mulut Dad terdengar. Tak kuhiraukan dan tetap berjalan menuju kamar. 
Dan setelah itu, pertengkaran membahas tato terus berlanjut. Hingga ia bosan, hingga Dad memilih memakiku untuk hal yang lain. Kami selalu berdebat, kami tak pernah sependapat. Hingga aku memutuskan pergi. Meninggalkan Dad, Mami, Nath, dan semua kehidupan tak menyenangkanku.
Dua tahun awal perginya diriku adalah tahun-tahun awal yang paling berkesan sepanjang 23 tahun usia hidupku. Aku bebas menggambar, melukis, mencipta kembali komik dari segala ide liar yang Dad bilang tak masuk akal. Aku menikmati kesendirian di tempat yang sepi. Atau menyendiri di keramaian manusia tak di kenal. Aku menyanjung hidup nomadenku. Sampai insiden keparat itu tiba. Merengut tangan yang selama ini kugunakan untuk menulis, menggambar, memegang kamera. Tangan kiriku sudah tidak ada. Aku hanya punya selembar foto hasil bidikan  Cika. 
"Simpan ini Odrei, kenang-kenangan bahwa lu punya tato kece di lengan," sahutnya dulu. Aku menyimpannya Cika, bahwa cuma ini yang membuktikan aku punya lengan memukau dengan tato menawan.



aaaaak. Main Pinterest dan melihat tato itu. Keren yak, sayang tato haram u.u. Dan ingat Ode. Ah tau ah.


#JustWrite

Sekolah untuk orangtua ? #RacauNgawur

Juni 14, 2015

Besok ulangan Pediatri. Awalnya saya membuka-buka materi. Dan bukan saya nampaknya kalau bisa fokus dengan belajar tanpa gangguan. Mulai terdistraksi dengan ngobrol bersama mama tentang vaksin. Hingga pikiran saya mulai mengembara tak karuan.  Saya berpikir bahwa kuliah terasa seperti sekolah orangtua. Maksudnya sekolah untuk menjadi orangtua nantinya. Maka saya berpikir mereka yang berniat menjadi orangtua sebenarnya sedang menyelam sambil minum air . Dan saya yang bahkan belum tertarik untuk menjadi orangtua, merasa tidak berminat menambah jumlah manusia di bumi ini pun merasa mungkin saya perlu mempelajarinya, untuk saudara saya, tetangga dan antisipasi jika pikiran saya berubah -semoga saja tidak-.
Kami belajar Psikologi perkembangan, hingga kami tahu tahapan dan tugas tumbuh kembang anak. Kami belajar stimulasi dini, hingga kami tahu apa yang harus dilakukan untuk menstimulasi dan mengintervensi tumbuh kembang. Kami belajar ortopedagogik, kami belajar penyebab, gejala dan pencegahan terhadap kasus ABK. Maka kami tahu bagaimana mencegah dan antisipasinya. Kami belajar modifikasi perilaku,dan saya pikir setiap anak perlu modifikasi perilaku untuk menjadikan mereka berperilaku baik. Kami belajar pediatri, dari jadwal menyusui sampai jadwal vaksinasi. Dan mata kuliah lain yang saya pikir berguna.Kami belajar identifikasi dan assesmen, bukankah penting bagi orangtua untuk mengidentifikasi anaknya, menemukan ada masalah atau tidak? Kami belajar bimbingan klinis, meski sedikit, kami tahu bagaimana pendekatan yang baik untuk menggali dan membantu masalah seorang anak.  Kami belajar tentang pendidikan dan dari jurusan ini kami belajar menerima setiap kelebihan dan kekurangan setiap anak. Dan masih banyak lagi. Semua memang teori, tapi saya pikir manusia perlu bekal teori sebelum terjun.

Sekolah untuk orangtua memang tak ada, kuliah saja jurusan Pendidikan Khusus untuk mendapatkannya. Makin ngawur, aku sebaiknya kabur.

#Meracau

Pikiran saya dan musuh

Juni 12, 2015

Siapa musuh terbesarmu?
Sebuah pertanyaan yang mengusik benak saya. Dan tanpa berpikir lebih dalam saya sudah tahu jawabannya. sebab sayalah musuh saya sendiri.
Setiap orang punya pikiran positif dan negatif. Setiap orang punya jiwa-jiwa pemberani dan penakut sekaligus. Dan karena saya mempercayai segala hal yang kita lakukan bersumber dari pikiran, maka pikiranlah yang saya ajak berteman dan bermusuhan bersamaan.
Saya membenci pikiran saya ketika :
- ia membuat saya takut dengan segala spekukasinya
- ia membuat saya cemas, mengajak memikirkan esok hari,dan hal yang buruk atau hal yang saya benci ia suguhkan
-ia membuat saya bergelut dengan pesimis, dengan teganya optimis saya hilang perlahan sejak dua tahun terakhir,jangan tanya mengapa,saya juga tidak tahu.
-dan pikiran buruk-buruk adalah awal kehancuran, imajinasi gila yang disalahgunakan
Itulah mengapa saya benci pikiran saya ketika para demons itu mulai merajai pikiran saya, terutama menjelang dan saat siklus merah itu tiba. Saya memang pernah membaca dan saya posting di blog saya yg lain tentang jenis PMS. Salah satunya adalah gejala anxiety, depression, yeah something like that. Dan saya baru sadar, perasaan ingin tidak pernah ada,kecemasan masa depan,bagaimana kuliah dan kehidupan saya berjalan,dsb terjadi di tanggal siklus itu. Mungkin saya memang perlu asupan yang bisa meningkatkan 4 hormon bahagia menjelang tanggal itu tiba.
Saya tahu kalau pikiran buruk dibiarkan,lama-lama saya akan hancur. Tapi saya tidak bisa mengenyahkan begitu saja. Maka biarkan saya menuliskan apapun yang merangsek di otak saya, tetapi saya selalu berusaha memilah apa yang perlu di sampaikan di media dan mana yang tidak.
Mungkin saya memang tidak sehat.
Saya membenci pikiran buruk di kepala saya, tapi saya tidak membenci diri saya. Saya tidak mau membenci siapa pun.
Maaf untuk segala yang ngelantur, hidup memang kadang ngawur, saya saja pengin kabur ke Singapur. Oke tambah ngawur.

#Meracau

Gue butuh motret sekarang...

Juni 12, 2015

Gue butuh memotret. Hal yang jarang gue lakukan sekarang. Gue nggak terlalu suka memotret manusia. Oke, gue suka, tapi candid. Bukan mereka bergaya di depan gue dan gue menekan shutter
Gue butuh memotret. Gue butuh karena gue sadar, selama di rumah gue bahagia tiada tara ketika ke kebun, duduk dan mengamati ulat bulu, mengikuti mereka dengan kamera gue, dan ketika berhasil mendapatkan gambar yang menurut gue cukup baik, kadar kebahagiaan gue meningkat.
Gue membutuhkan musik, membutuhkan buku dan apapun untuk dibaca, membutuhkan selembar kertas kosong, halaman kosong, apapun itu untuk ditulisi. Butuh kopi untuk diminum, susu untuk ditegak. Dan kadang film random hasil merampok teman pun gue butuhkan. Gue selalu membutuhkan itu.Dan sekarang, gue juga butuh sesuatu yang bisa difoto sekarang. Mungkin gue aja yang males keluar dan menjepret ini dan itu. Mungkin. Gue membutuhkan itu semua sebab kadar kecemasan, ketakutan, stres, depresi, yah semua yang menjadi demons on my head akan meningkat menjelang siklus perempuan yang kadang gue pertanyakan untuk apa harus ada. Kopi, buku, nulis, menyumpal telinga dengan lagu di playlist, nonton film, dan memotret adalah solusi yang gue yakini sebagai mengusir the demons  The Demons itu bukan setan atau hantu, tapi semua hal yang negatif yang ada di otak gue, yang ada di pikiran gue. Semua ketakutan, kegelisahan, kecemasan, semua hal yang menurunkan kadar optimisme gue terhadap hidup. Gue tahu ada Tuhan, tapi selain Tuhan gue butuh mereka juga. Mungkin hal-hal yang gue sebutkan diatas, yang jadi solusi gue memerangi itu semua, adalah kode dari Tuhan. Gue tahu nggak selamanya Tuhan membantu gue langsung. Sebenarnya, gue merasa senang dan bisa mengusir para demons itu kalau gue jalan-jalan. Masalahnya, gue jarang jalan-jalan. Gue belum berani jalan-jalan ke tempat yang lebih jauh dari lingkup Solo sendirian. Kenapa sendirian? Karena gue nggak terlalu suka keramaian. Kecuali sendiri diantara keramaian dimana tidak ada satu pun orang yang gue kenal. Gue lebih suka jalan-jalan yang manusianya kurang dari sepuluh. Ah udahlah, gue bingung. Mungkin gue bisa motret something besok. Bye!

#JustWrite

Kalah

Juni 05, 2015

Aku ingin lari tapi kakiku terjerat
Aku ingin teriak tapi gembok menutup bibirku rapat
Aku ingin menangis sampai teriris tapi malah meringis

Aku lelah
Aku  kalah
Aku benci
Tapi belum mau mati

Aku menyerah

Lalu ingin bangkit lagi
Aku mengaku kalah
Tapi ingin merasakan menang untuk pertama kali
Harus berapa kali kalah sebelum menang?
Atau menang hanyalah mimpi di siang kosong?

#JustWrite

Kabar itu

Juni 05, 2015

Kabar itu tiba, menjelang petang sesaat setelah saya bangun dari tidur saya. Kabar yang menurunkan kadar oksitosin,serotonin,dopamin, dan endorfin. Kabar yang membuat saya ingin meledakkan tangis tapi seperti biasa, saya mungkin memang batu yang hanya terdiam. Yang ingin sekali menangis dan meluapkan segalanya sampai puas lalu selesai. Sayangnya tidak, saya tidak bisa menangis.Kadang saya curiga saya punya kecenderungan aleksitimia tiap begini.
Saya tahu 'belum' mungkin terdengar seperti tidak, tapi belum bukan berarti tidak. Maafkan, saya mengecewakan diri sendiri. Tapi tidak mencoba tentu lebih menyakitkan. Seperti SNMPTN dan penyesalan tak akan pernah selesai sampai saya berdamai.
Kabar itu datang tapi bukan berarti saya harus berhenti berlari.

#JustWrite

Juni yang tak berasa Juni

Juni 02, 2015

     Juni yang tak berasa Juni. Waktu bergerak maju membunuh hari yang selalu berawal dengan pagi yang baru dan berbeda. Kemarin tak sama dengan hari ini, maka Juni setahun yang lalu sangat jauh berbeda dengan Juni hari ini.
Setahun yang lalu aku menanti Juni dengan penuh rasa bahagia, menghitung hari, tersenyum di sela padatnya tugas akhir semester dengan kata pulang yang mengawang. Juni tahun ini aku merasa gamang. Tak ada liburan, tak ada berebut tiket kereta,tak ada kata pulang. Aku benci, tak mau bagaimana lagi. Denial make more pain, stop it. Ya, ikhlas adalah hal yang harus dilakukan. Menyangkal dan terus menyangkal bahwa puasa tidak di rumah, bahwa lebaran pun entah dimana, bahwa memang begitulah sistem yang ada. Ketika kita berada dalam sebuah sistem, masuk dan mengikuti alurlah yang membuat kita bertahan. Juni dan Juli tahun ini mungkin tak ditakdirkan mengecap pulang, tapi jika aku masih bernyawa tahun depan,semoga pengorbanan tak libur berbalas hal yang menyenangkan.   
 

Popular Posts

My Instagram