#JustWrite

Tolong, Jangan.

Februari 21, 2016

Kadang pada akhirnya saya lebih memilih bercerita di sini saja. Ketika saya bercerita pada manusia, kebanyakan akan memberi tanggapan serupa yang malah membuat saya makin emosi. Tidak semua, beberapa.
Tahukah, jika ketika saya sedang berkata, mengirimkan pesan berisi sesuatu yang sedang terjadi dan kurang menyenangkan, saya hanya ingin berbagi? Saya hanya ingin bicara. Saya hanya ingin seperti didengar. Cukup itu saja. Sebab selanjutnya saya tahu, saya harus apa. Sebab saya kadang hanya dalam tahap denial. Saya bukan minta nasihat.
And then, tanggapan yang tidak saya harapkan itu kadang membuat saya makin menjadi. Mau meledak. Saya cuma mau dimengerti. Oke, terdengar egois. Tapi kadang, saya cuma mau didengar tanpa interupsi atau tanpa wejangan. Dengarkan saja. Saya cuma mau lega.
Tolong, jangan bilang, “Yaudah sabar aja.”
Tolong jangan bilang, “Makanya berdoa. Kamu lebih dekat sama Tuhan dong!”
Tolong jangan bilang,”Udahlah, enggak usah mikir negatif. ”
Tolong enggak usah bilang,” Kamu enggak liat yang dibawah kamu?”
Tolong enggak usah bilang,” Kamu kurang bersyukur.”
Tolong jangan keluarkan statement yang saya sudah tahu. Tolong jangan. Saya sudah tahu saya harus sabar. Saya sudah tahu saya harus dekat dengan Tuhan. Saya sudah tahu bahwa pikiran negatif itu enggak baik. Saya enggak suka dibanding-bandingin sama yang di atas atau di bawah saya.
Misalnya, “ Coba dong liat yang enggak kuliah, kamu beruntung udah kuliah.”
See?  Kenapa saya harus membandingkan diri saya untuk sebuah kasus di mana tidak ada hubungannya? Saya enggak suka disalahkan ketika saya sudah tahu saya bisa jadi salah. Saya cuma mau didengar. Cuma itu.  Dan mungkin lebih baik saya menulis saja, bicara ke diri sendiri saja. Saya bosan dengan tanggapan itu. Maaf merepotkan.

#JustWrite

Padam

Februari 10, 2016



lelah aku menggelorakannya
mula terkapar hingga tegak berkobar
waktu menggerus
satu jamku hangus
tapi tumpukan terurus

aku membara
api tersulut bakar asa menggila
jari menari di atas api
mauku sampai pagi
tapi langit ingin kelam
jilat rayu lampu-lampu jalanan, kini semua padam

(10/2/2016 Ossy Firstan)

disponsori oleh semangat ngerjain yang langsung turun lagi gara-gara listrik padam

#JustWrite

Hujan dan 10 Februari

Februari 10, 2016

Hujan masih memerangkap sepi . Selimut baru saja tersibak. Mungkin butuh kopi untuk sore ini. Lagi. Ini hari Rabu. Seorang dosen mencoret-coret bab skripsi dan saya malah senang melihatnya. Lalu sebuah tanggal di buku konsul itu membuat saya tertawa. 10 Januari, ketika seharusnya 10 Februari. Saya tertawa terus di kampus tadi. Bukan bahagia, saya dan teman-teman sebenarnya sedang geregetan dengan suatu hal yang berujung pada tertawa menutup kecemasan.

Saya, ya, saya dan Mama saya adalah dua manusia dengan pemikiran yang berbeda. Katanya, saya mirip Papa saya. Mama yang bilang, katanya kami keras kepala. Bisa jadi. Begitu banyak yang berbeda, ilustrasikan saja membaca sebuah novel. Mama bilang, dia tidak suka karena sad ending, dia bilang sedih. How about me? Saya justru suka, saya katakan itulah ending yang realistis. Dan Mama saya mengatakan saya tidak punya hati dan semacamnya.
Let Her Go-nya Passenger masih mengalun. Jangan tanya mengapa saya terus memutar-mutar lagu itu. Saya hanya suka dan tak peduli pada liriknya. Saya membuka tab facebook. Serangan ucapan memenuhi  wall Mama saya. Jangan cari nama saya di sana. Ulang tahun adalah salah satu hal yang membuat saya sangat berbeda. Saya dan Mama saya memandang ulang tahun dari perspektif yang amat sangat berbeda. Mama saya beranggapan ulang tahun setidaknya diberi selamat, doa, atau setidaknya makan-makan di rumah. Mama saya akan mengirimi saya ucapan lewat pesan dan lainnya. Sedangkan saya, saya tidak suka ulang tahun. Saya benci. Saya benci angka yang bertambah yang tak ubahnya denting-denting sirene hitungan mundur usia. Saya bahkan tidak begitu mengingat umur saya sekarang. Buktinya adalah saya bingung dan harus menghitung ulang berapa usia saya sesungguhnya ketika ada yang bertanya.
Hujan masih berisik meski pelantang dengar menyumpal telinga saya sok asyik. Baiklah. Selamat mengulang hari kelahiran Mama. Sebenarnya tidak perlu menunggu hari jadi untuk mendoakan Mama yang macam-macam, sebab Mama yang saya sebut dalam doa. Maaf dan terima kasih. 
Hujan masih deras. Durasinya teramat panjang dibandingkan kemarin. Semoga Allah menyisakan usia yang panjang untuk Mama. ich liebe dich


Only hate the road when you're missing home ( The Passenger

#JustWrite

Meracau (Lagi)

Februari 09, 2016

Tulisan ini akan ngalor-ngidul. Nggak usah di baca. Cuma racauan saya biar tenang, lega, dan bisa melakukan apapun sebebasnya.
Sehabis solat magrib tadi saya sudah meniatkan untuk meracau sejenak di blog sebelum melakukan hal-hal yang harus saya lakukan sampai pukul 7. Sayangnya modem saya pakai acara bersembunyi dan saya harus mencari-cari. Belum lagi membuka laptop dan saya terdistraksi satu jam sendiri. Tapi, saya masih mau bicara di sini. Tapi, masih banyak yang mau saya katakan di sini. Tapi, saya pikir tak mengapa saya mengeluarkan semuanya agar saya nanti bisa konsentrasi. Sebab, begitu banyak pikiran menyeruak di otak saya. RIUH. Saya tidur jam 12 sepulang dari SLB dan kehujanan, lalu membuat mi, tidak habis, saya tidur dan bangun pukul empat sore. Bahagia 
Saya pulang penelitian pukul 11 tepat, ditinggal angkot yang melaju ketika saya belum sampai pinggir jalan. Belum lagi pakai acara hujan di tengah jalan. Dan payung saya dengan cantiknya tidur manis di tas satunya. Dan bres... hujan menghunjam saya begitu keluar dari angkot. Dan begitu sampai gerbang belakang, bus kampus tak kelihatan. Perut lapar. Dan saya memutuskan menerobos hujan. Dan... what the crazy thing that you did today? Saya akan menjawab,berjalan cepat menerobos hujan dengan helm!
Sudah. Selanjutnya saya bahagia bisa tidur 'tewas' bersama hujan yang menderu ganas. Kemudian, saya menulis di sini. Sata memulainya pukul tujuh lebih dikit, lalu distraksi menghampiri saya. Banyak. Yang buka wattpad dan malah upload cerita, buka blog uns, dan segala macam. 
Saya nggak tahu, sebenarnya apa yang ingin saya katakan di sini. Saya cuma mau free writing dan membebaskan diri saya. All demons grow up again now. Saya takut. Banyak. Saya takut tidak bisa menyelesaikan skripsi saya secepatnya yang berdampak ketakutan saya nggak bisa cepat-cepat pulang. Saya takut, saya takut menghadapi the real life after graduate. Saya takut bosan bekerja. Saya pengin S2, tapi... jurusan yang saya inginkan itu... dan setelah itu.... Dan pertanyaan ke dalam diri saya bahwa saya mau melanjutkan sekolah itu, karena saya mengulur-ulur waktu, atau saya memang ingin. Ya, saya memang ingin, tapi jurusan yang saya inginkan itu... dan pekerjaan yang saya inginkan belakangan ini... CRAP!
Saya nggak tahu lagi, begitu banyak yang mau saya katakan sampai saya hampir berapa jam ya, di depan sini, diam, berpikir, menulis, nggak selesai-selesai dan kerjaan saya jadi terabaikan.  Kopi saya belum habis untungnya.
Sudahlah. 

#Meracau

Bicara Sejenak

Februari 07, 2016

Seharusnya, saya merampungkan apa yang menjadi deadline saya hari ini.  Tapi lagi-lagi otak saya memberontak dan ingin berteriak. Ingin bicara. Saya sudah agak tenang, sedikit. Ya anggap saja kemarin saya lagi menyelam dalam palung.
Saya cuma mau mengatakan bahwa, tutup telinga untuk orang yang bicara lewat satu sisi saja. Tutup telinga untuk orang yang judge  hanya dari warna sepatu. Mereka hanya berkata sepatu merah itu bagus, tanpa merasakan bahwa saya gatal-gatal memakainya. Tutup telinga pada orang yang tidak tahu prosesmu, dan asal racap menilai.

Bicara adalah hal yang paling mudah. Tapi bicara setelah berpikir adalah yang tersusah.

#Meracau

Fokus

Februari 07, 2016

Gue... gue merasa kelabakan dengan tagline 'write fiction and nonfiction at the same time'. Pikiran gue terpecah. Gue ngerjain fiksi gue mikirin nonfiksi, gue melihat nonfiksi dan fiksi berjalan di otak gue sesukanya. Ck! Nyebelin. Dan membuat gue kehilangan arah, kebingungan dan sedikit stres mungkin.
Iya, gue kembali pada masa ketika pikiran gue menguasai otak sesuka hati. Begitu banyak yang mau gue keluarin, mau gue katakan, mau gue tulis, mau gue pikir, mau gue kerjain, dan berakhir pada kebingungan nggak jelas. Kemarin gue putuskan untuk membereskan semua kekacauan yang gue dengan membabu. Yap, Sabtu Membabu adalah wajib. Saat Sabtu Membabu gue akan mencuci gelas-gelas kopi, mencuci baju, dan membereskan buku, dan apapun yang berserakan di kamar. Gue clumsy dan messy. Kalau hari ini kamar gue rapi, maka besok itu sudah tinggal cerita. T.T. Dan gue menulis ini pun sebagai terapi. I need talk with myself. So many thing that i wanna talk. But i cant.
Pada akhirnya gue harus membuat semacam schedule atau to do list buat gue sendiri. Kenapa? Karena tanpa itu gue akan kacau balau dan bertindak sesukanya. Gue akan melupakan tugas utama, mengesampingkan tugas sampingan, dan malah melakukan hal-hal diluar apa yang seharusnya gue lakukan. Hal-hal itu kayak baca artikel, baca wattpad, baca novel, nulis di blog ini (tapi nulis kan terapi buat menjaga kewarasan gue). Lah, buat to do list aja gue masih suka menyimpang dari jalur. Haha.
Jadi... Ci, lu harus fokus. Dan setelah gue pikir, gue harus menerapkan modifikasi perilaku ke diri gue. 
It's like...

#Imajinasi

Lempar #flashfiction

Februari 03, 2016

Saya merasa terengah-engah. Kopi yang ketiga sudah tinggal ampasnya. Tentu ini kopi asli, bukan kopi mainan yang terlalu banyak aksesorisnya. Ini kopi asli yang bijinya saya giling sendiri. Dan saya bubuhkan 123 butir gula. Kira-kira sebanyak itu. Ah, mengapa malah membicarakan kopi. Mari pindahkan sorot kamera ke sebelah kiri. Ya, itu, dia. Ya, dia yang berdiri di depan pintu sambil membawa nampan kopi. Sejak tadi dia hanya terpaku. Tidak, dia menjerit tiap kali saya melemparkan kursi, sendok, pensil, piring, gelas, baju kotor, dan segala hal yang saya rasa enak untuk dilempar. Dia asisten rumah tangga. Lebih tepatnya pembantu di apartemen saya yang tidak terlalu besar ini. Bukan saya yang mau ada pembantu, ini ulah paduka ratu yang melahirkan saya delapan belas tahun lalu.
Dia bertanya mengapa saya melakukan itu. Dan saya jawab dengan tatapan tajam, menghunjam, yang kalau dia pintar dia akan mengartikannya sebagai perintah diam. Sayangnya dia tidak sepintar yang saya kira. Dia malah ikut-ikut menjatuhkan nampannya. Dia dengan mudahnya menghancurkan mug kesayangan saya. Benda yang saya yakini tidak akan saya lempar dalam situasi seperti saat ini. Saya menjerit. Dia berteriak. Saya memekik. Dia tertawa. Loh, kok jadi begini? Seharusnya dia tidak tertawa. Tapi kemudian dia berbalik. Masuk ke ruangan kecil dengan kasur lipat dan lemari kecil, tempat dimana ia biasa tidur.
Saya terduduk di sofa yang sudah tertumpah kopi, penuh baju kotor, dan pecahan piring. Lalu otak saya mengelana. Mengapa bisa seberantakan ini sedang saya punya asisten rumah tangga. Maka saya berjalan ke ruangan kecil itu. Mengetukkan pintu sambil berseru memanggil namanya yang saya rahasiakan. Pintu tidak kunjung di buka. Terkunci lagi. Dengan kuda-kuda, saya tendang terjang pintu itu. Berkali-kali. Hingga saya lelah sendiri.
Saya berjalan ke lemari es dan meminum yogurt. Hanya ada itu. Mungkin saya perlu ke swalayan nanti. Memenuhi kulkas dengan berbagai panganan yang mau membahagiakan saya. Setelah merasa segar, saya dobrak pintu itu. Dan berhasil. Saya menari-nari merayakan kehebatan saya mendobrak pintu.
Kini saya menatap sesosok perempuan yang terduduk di kasurnya. Tubuhnya berserah pada tembok. Matanya tertutup rapat. Dan spreinya yang putih berganti motif menjadi polkadot dengan cipratan-cipratan darah segar. Di tangannya ada sebilah pisau dan garpu. Ya Tuhan. Ada apa ini? Dia bunuh diri? Mati? Kenapa lucu sekali.


Ya ampun ini apa yaaa. Gak tau ah ini nulis apaan >.<

#JustWrite

Lewat tulisan ini

Februari 03, 2016

lewat tulisan ini aku menenggelamkan diri
ceburkan jiwa sedalam palung tak bernama
hilangku sejenak, sebab tak ingin selamanya, biar nanti saja
lewat tulisan ini aku ingin pergi
tidak janji akan kembali
tak pasti datang lagi
lewat tulisan ini aku menyapu jelaga
semprotkan desinfektan cuma-cuma
maka setan-setan di kepala mati muda
biar saja aku sendiri yang menua, mendewasa, menjiwa muda
dan setan meregang nyawa
lewat tulisan ini aku berdansa
sendiri
tak ingin ajak kau dan kau
biar saja kakiku berputar, biar saja tanganku mengamuk kegirangan
lewat tulisan ini aku mati, lewat tulisan ini aku hidup kembali 
lewat tulisan ini kubertanya
masih adakah harapku? 
lalu, semu lalu dan hari baru?


#JustWrite

Bintang mati yang dicari

Februari 01, 2016

Bintang itu hanya bintang mati. Bintang yang mungkin sudah bunuh diri. Bintang itu berarti bagi sebagian orang. Namun kadang hanya secuil dipandang. Bagi saya, bintang itu hanya sebuah toge di sepiring gado-gado. 
Saya sangat suka quote yang berbunyi "work for a cause, not for applause..."
Kenapa? Karena begitulah seharusnya. Begitulah maka motivasi saya menulis, ya untuk diri sendiri. Untuk terapi dan lainnya yang pernah saya bahas zaman dulu. Tepuk tangan itu akhir. Tapi menyelesaikan sesuatu, dan saya puas, itu yang penting. Toh ngebacot di sini itu, sebenarnya saya lagi berusaha memahami otak saya sendiri.
Saya tidak mengerti, dimanapun saya , facebook, wattpad, instagram (ini tidak punya tapi kurang lebih sama),  saya selalu melihat mereka yang melakukan sesuatu untuk diapresiasi orang lain.. Sayapun kadang membagi tulisan saya, foto saya. Tapi banyak yang menginginkan itu berlebihan. Bahkan sampai terdengar mengemis jika tulisan itu bisa bicara. Seperti meruntuhkan harga diri saja. Memang bintang itu... bisa jadi nasi kucing? Bisa sih, kalau ada yang mengkomersilkan apa yang diunggah itu. Kecuali,  memang perlu bintang  atau apalah itu untuk sebuah perlombaan. Ya, tapi kita nggak bisa maksa. 
Ya saya tahu, dalam hirearki Maslow, di bagian agak atas ada penghargaan atau pujian. Ya tapi... Baiklah. Pada akhirnya semua orang punya tujuan masing-masing. Sekian. Saya bingung ngasih judul racauan ini apa

Popular Posts

My Instagram