#Imajinasi

89

April 27, 2016



Nyaris
tragis
Hampir
dipinggir
Mepet
Nyerempet
Tipis
Meringis
Sadis
Manis
Tepian dihempas
Penghujung jumpalitan

(20/4/2016)

#JustWrite

Motto-motto yang sebenarnya pengin ditulis di skripsi tapi...

April 27, 2016

Ada beberapa motto yang ingin saya tulis di halaman motto skripsi. Namun, beberapa kalimat mungkin akan dicoret dosen, dan beberapa saya coret dulu karena sudah yakin akan dicoret.

1. Procaffeinating, so first, coffee
Karena... ketika saya belum ngopi kadang saya cuma bengong, ngantuk, meracau nggak jelas, atau mainan. Jadi kopi berperan penting dalam segala aspek kehidupan saya, tentunya

2. Pantang pulang sebelum sidang
Ya, walau kenyataannya setelah sidang saya mengurusi birokrasi dahulu demi bisa wisuda, tapi reinforcement berupa tiket pulang-yang sebenernya, ya... saya bisa pulang kalau saya mau- efektif mendorong diri saya untuk begadang, mengerjakan skripsi, dan berguling-guling dengan revisi.

3. Berhasil tidak untuk dipuji, gagal tidak untuk dicaci maki, sebab yang penting adalah berarti.
Dibalik kalimat tersebut, intinya, yang penting skripsinya jadi. Dan saya ga terlalu suka dipuji, tapi nggak suka juga dicaci. Dan niat awal itu  jadi berarti, setidaknya buat diri sendiri.

4. Semua yang hidup pasti mati, maka semua yang dimulai pasti diakhiri.
Intinya sih saya cuma mau bilang, skripsi yang dimulai, kalau ada usaha, doa, dan usia pasti selesai juga.

5. Kemenangan adalah mengalahkan dia yang ada tiap engkau berkaca.
Ehem. Jadi... saya berpikir bahwa cepat atau lambatnya kita bergantung diri kita. Ada pengaruh dosbing dsb, tapi semuanya tetap balik lagi ke diri sendiri.


Itu dulu deh, kalo inget saya tambah hawhawhaw

#JustWrite

Antitesis

April 27, 2016



Antitesis.


an·ti·te·sis /antitésis/ n 1 pertentangan yg benar-benar.



Ya. Kadang saya tak ingin berumur panjang. Mungkin, jika boleh memilih saya hanya ingin sampai ujung 20-an saja. 28,29 begitu. Entahlah. Saya tidak punya bayangan akan berumur panjang. Tidak ada. Pun seperti tidak mau. Tetapi, di malam-malam ketika saya sleep apnea atau sleep paralyzed, atau keduanya, saya ketakutan. Ketika saya sesak napas dan tidak bisa bangun, lalu otak saya ketakutan dan merapal memanggil Tuhan. Ketika suatu hari saat tidur dan saya ‘ketindihan’, dada saya sesak, jantung saya bertalu lebih kencang, saya merasa seperti berhenti sesaat—ini hanya perasaan saja— dan takut mati saat itu juga. Saya berpikir,bagaimana kalau saya mati di kamar kost? Teman kost saya tidak tahu kalau saya sudah ‘pergi’ dan mengira saya pulang, atau memang sedang tidak mood meracau.
Saya tidak mau berumur panjang tapi takut menghadapi kematian.
Selain Tuhan, tidak ada hal yang saya percaya di dunia selain kematian. Sebagaimana saya sudah hidup pasti saya akan mati. Sebagaimana ada mula yang akan diakhiri.
Saya tahu hidup adalah soal keberanian. Waktu SD, keberanian adalah ketika saya mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang mau disuntik lebih dulu. Atau sejak kuliah mungkin keberanian saya adalah pergi ke sana ke mari sendiri. Termasuk ketika kereta sampai pelabuhan dini hari dan sepi. Tapi sejak 19 tahun, keberanian bagi saya adalah berani menghadapi hidup. Menghadapi ketakutan yang sebenarnya saya yang menciptakan. Bahwa saya tidak punya musuh selain sosok yang ada tiap saya berkaca. Yang menciptakan pertanyaan aneh. Yang membuat saya takut. Yang menenangkan saja juga pada akhirnya.Saya tidak mengerti mengapa saya terlalu memikirkan keberadaan saya di sini. Memikirkan Tuhan maunya saya ngapain, gimana, dan dijebloskan di mana.
Saya enggak tahu usia saya sampai angka berapa. Entah saya akan pergi lebih cepat dari keinginan saya atau justru lebih lama. Terserah Tuhan. Mungkin saya harus memantaskan diri menghadapi kematian. Saya kira memantaskan diri untuk bertemu Tuhan adalah suatu hal yang bisa membuat saya tidak takut dengan hidup. Jika saya lahir lebih cepat dari seharusnya, tidak menutup kemungkinan saya pergi lebih cepat dari manusia pada umumnya kan?
Saya belum juga berani.
Saya masih takut mati dan segala konsekuensi perbuatan saya ketika hidup. Dan takut hidup yang berimbas pada hidup setelah mati.
Ah, malam makin pekat.
Sekian.

#JustWrite

Komparasilah Pakai Udang dengan Udang!

April 17, 2016

[Untuk kita yang kadang seenaknya mengkomparasi seakan udang dengan timun sama]

Salah satu jenis perdebatan atau perbincangan yang membuat saya jengah dan gerah, jika saya sedang berada di suatu tempat adalah ketika seseorang membandingkan sesuatu yang tidak setara. Sesuatu yang saya anggap tidak dapat dikomparasi secara objektif karena dari awal suda beda. Orang menyebutkan nggak 'apple to apple' kita artikan dengan udang dengan udang (?). Terserah, saya lebih suka udang daripada apel. 
Contoh, saya pernah terjebak di situasi dengan obrolan yang kurang lebih Daun sudah Acc proposal, Akar sudah penelitian, dan Batang masih berkutat di proposal. Obrolan yang saya dengar adalah manusia-manusia itu membandingkan Akar, Daun, dan Batang. Hingga seringnya obrolan sejenis terdengar, saya kesal dan pernah berceletuk, " Kalau kamu mau membandingkan, bandingin setidaknya mereka yang Dosbing 1 dan Dosbing 2 sama."
Ya, bagaimana bisa kamu membandingkan kamu dengan temanmu yang punya dosbing berbeda. Mending kalau cuma satu, semuanya beda denganmu. Dosen punya karakteristik yang beragam yang tentu saja berdampak sedikit banyak pada skripsimu. Meski saya percaya dalam segala hal selain Tuhan, semua bermula dari diri kita. Jangankan yang dosennya beda semua, yang dosennya beda satu saja bisa jauh berbeda. Maka sebaiknya tidak perlu mengkomparasi hal semacam itu.
Hal tersebut berlaku dengan tebalnya skripsimu. Jujur, saya tidak suka skripsi yang  katanya tebal dibandingkan. Tidak juga, hanya 109 halaman sampai kesimpulan, ditambah 7 halaman dapus, dan 80 lampiran. Ya, lampiran itu memang banyak (rekap wawancara, rekap observasi, foto, rpp, analisis dkk) dan Bab IV memang cukup banyak mengingat  adanya deskriptif hasil penelitian. Teman saya yang mengambil penelitian single subject research juga halamannya sekitar itu. Lalu pada suatu hari seseorang berkata yang intinya skripsi dia tidak tebal, dia mencemaskan ketipisannya, dia bertanya-tanya dan saya merasa tidak mengerti mengapa dia membandingkan tebal skripsinya dengan tebal milik. Baik, dia menggunakan SSR tapi yang lain? Apakah dia modifikasi perilaku? Apa dia mengambil variabel bebas yang sama? Apa variabel terikatnya sama? Apa subjeknya jumlahnya sama? Apa sesi yang diberikan sama? Apa dosbingnya sama? Apa kajian teorinya memuat hal yang sama? Apa daftar lampiran saya dan dia sama? Saya kira jawabannya tidak. Dan apa perlu dia membanding-bandingkan skripsi saya, skripsi teman-teman yang memakai SSR lain yang juga tebal dengan dia? Saya kira tidak.
Tidak usah mengkomparasi diri.

Kembali soal komparasi udang dengan udang. Saya sering mengamati atau mungkin pernah melakukan barangkali, sering orang membanding-bandingkan hal yang tidak setara. Misal dalam kasus Susi Sang Menteri dengan Atut Sang Mantan. Apa mereka setara untuk dibanding-bandingkan? Atau membandingkan hasil gambar anak tunagrahita ringan dengan anak CIBI. Membandingkan Jokowi Sang Presiden dengan Udin si Tukang Sapu. Membandingkan Soto Bu Meto yang harganya 5000 dengan Somay 6000. Membandingkan dirimu dg Taylor Swift yang jelas mungkin kamu akan insecure. Membandingkan tulisanmu dengan tulisan sekelas JK Rowling. Andrea Hirata, Budi Darma, ya jelas jomplang.  Membandingkan anak IPS dengan anak IPA, kurang kerjaan!
Membandingkan diri memang tidak baik. Tapi dalam hal mengkomparasi tentu haruslah mengingat yang kita bandingkan setara atau nyaris setara atau tidak. Keadilan memang milik Tuhan, kita cuma bisa berusaha. Tapi apakah bijak membandingkan berat badanmu di usia 20 tahun dengan berat badan adikmu yang bayi? Apakah bijak udang dan timun dibandingkan? Satu hewan satu sayur. Pikir lagi.



17/4/2016

Untuk diri sendiri dan pembaca agar lebih berhati-hati dan bijak mengkomparasi

#JustClick

12 April, ‘Meja Hijau’, dan Analogi Bingkisan Teman

April 15, 2016


Setelah  melalui pergulatan yang penuh jumpalitan lalu dihempas jumpalitan lagi dihempas lagi akhirnya 12 April kemarin saya dimejahijaukan—sebuah istilah yang saja tujukan untuk sidang skripsi. Saya disidang bersama Latifakami membuat surat penelitian nyaris bersamaan, penelitian bersama, dan sidang bersama dan Abwa. Saya tidak ingin menceritakan detail prosesi sidang, yang jelas cukup menyenangkan. Saya memertanyakan perasaan saya yang begitu datar. Datar sekali bahkan ujian PPL lebih mendebarkan. Jadi... dagdigdug dengan dada yang berdebar dan kecemasan saya itu muncul di hari Sabtu. Kemudian, mendadak saya tenang dan stabil sampai hari Selasa. Ipeh panggilan nista dari Latifah juga merasakan hal yang sama.  Entahlah, tapi datar itu patut disyukuri sehingga saat presentasi dan menjawab pertanyaan dosen dapat berpikir jernih dan tidak terganggu debaran.
Dengan tulisan ini saya bermaksud mengucapkan terima kasih kepada dosen yang bersedia membimbing saya dan menguji saya tentunya. Jika tidak ada pembimbing tentu tidak ada yang meng-acc judul, mencoret-coret skripsi saya, mendorong saya untuk segera selesai, sedikit hempasan lalu jumpalitan, mendengarkan saya presentasi dan bertanya macam-macam saat sidang, bahwa tanpa dosen ya skripsi saya tidak ada.
Teman-teman yang ketika saya membuka pintu ruang sidang mereka ada menunggu kami bertiga sidang. Sedangkan saya punya pikiran apakah tidak membosankan menunggu teman sidang? Tapi saya mengapresiasi kalian, semoga kalian segera ‘dimejahijaukan’. 

Baiklah. Saya hendak berbicara hal lain sebenarnya. Beberapa teman dekat memberikan saya bingkisan. Terima kasih untuk Naila, Eka Chan, dan Fathin untuk logistik—mie, susu, snack, permen, dkk—  yang telah diberikan. Terima kasih juga untuk 132 keping Goodtime Double Choc Chocochips Cookies Opie a.k.a Pinyot yang tertulis disponsori salah satu swalayan padahal ya... tidak dibeli di sana—katanya sebuah satire atau sarkasme sebagai pencitraan. Dan Six untuk sebuket bunga yang untungnya bukan kembang setaman.
Sampai di kost dengan membawa naskah-naskah skripsi saya yang dikembalikan dosen, saya duduk di kasur dan berpikir. Membaca ulang kata-katanya dan otak saya—yang suka berpikir ke mana-mana— menganalogikan bingkisan mereka.

#JustWrite

Pulang {Puisi)

April 12, 2016



Pulang (untuk mama, papa, dan dua O lainnya)


Rinduku dipeluk candu
Meranggas buas
hamburkan debu rindu
dan kenangan menggilas keras-keras

hatiku hilang
otakku melayang
diriku memudar
ragaku berpendar
burung terbang
kirim salam sayang
ikan berenang
muntahkan garam kenangan

kita terentang jarak
dan waktu terus bergerak
maka tunggu saja
keretaku tiba
kapalku berlabuh
segeraku pulang
sudahku dimejahijaukan

(12/4/2016)

#JustWrite

Detik Jumpalitan

April 10, 2016


Detik takkan lari
Detik takkan berhenti
Adalah waktu yang takkan abadi
Tetapi bergerak pasti

Menjalar takut
Diamku cemas mengikut
Adakah hari esok yang bahagia?
Pasti, tatkala kujumpalitan lalu tertawa

Popular Posts

My Instagram