#FotoBercerita

Pecahkan Saja Gelasnya Biar Ramai #flashfiction

Juli 24, 2016

Facebook bertanya, "Apa yang kamu rasakan?" dan aku menjawab ,"Sepi." Meski aku tidak menuliskan di status dan menyebarkannya ke khalayak ramai tetapi aku harap Facebook mengerti, sebagaimana perempuan lainnya yang ingin dimengerti seperti yang tertuang dalam lagu yang kemudian menjadi iklan pembalut luka berdarah.
Twitter bertanya," Apa yang kamu pikirkan?" dan aku menjawab,"Aku." Oke, ini terkesan egois tetapi aku memang sedang memikirkan diriku. Ulangan matematikaku yang tertawa jumawa dan disandingkan dengan tangisan sejarah yang nilainya adalah dua pangkat dua dikurangi tiga dibagi dua. Biar aku tak mengirimkan tweet tapi kuharap Twitter tidak ikut-ikutan memikirkan nilaiku itu.
Sebuah pertanyaan masuk di Ask Fm : jika kamu terlahir kembali, kamu mau apa? Dan ini jawaban yang kuhapus karena terlalu jujur : aku mau terlahir, hidup sehari dan dimakamkan esoknya. Yang kutulis : Tidak mau ditanya seperti ini tentunya.
Aku mendesah. Tentu saja desah yang terdengar seperti mengeluh. Bukan desah manja seperti artis maju mundur cantik. Rumahku sepi, sepi sunyi aku sendiri. Menyepi menyendiri mau mati. Oh maaf. Mungkin aku perlu menyalakan televisi.
Rumahku cukup besar. Aku anak kelima dari lima bersaudara. Berdasarkan fakta tersebut maka jelas kakakku ada empat. Dua diantaranya perempuan maka dua lainnya sudah pasti laki-laki. Salah satu kakakku menjebloskan diri dalam lingkaran perkawinan bersama seorang laki-laki. Dan ia salah satu dari sekian perempuan yang bersedia menjadikan perutnya tempat manusia bersemayam sebelum dilahirkan. Konon ia sudah mengandung tujuh bulan. Sayangnya, fakta-fakta di atas yang menjelaskan bahwa dalam keluargaku cukup banyak manusia tidak sejalan dengan fakta yang kudapati kini. Pukul tiga sore, di depan televisi di kamar kakak lelaki pertamaku, sendiri sambil mengudap keripik singkong karena harga kentang sedang naik.
Sebenarnya, aku adalah pecinta keramaian. Suara kucing kawin, ketiga kakak lelakiku bertengkar berebut stick PS, mamiku membuntuti papi dan bertanya noda lipstik siapa di kemejanya padahal itu jelas-jelas kelakuan mami tadi pagi, atau pertengkaran Mbok Ijah dan Mang Karsono yang sebenarnya saling suka namun biar seru dibumbui benci. aku suka semua hal yang telah kupaparkan barusan. Sayang, siang ini benar-benar tak ada orang.
Aku butuh keramaian yang kucipta sendiri. Bukan berkaraoke yang membuat aku gila karena sadar diri suaraku amatlah sumbang, serak dan tak bervolume. Hingga baru saja kata-kata Cinta di film yang muncul saat aku belum lahir atau mungkin melungker di perut mami terdengar.
Pecahkan saja gelasnya biar ramai.
Dan seperti yang kalian duga, aku berlari ke dapur. Kupecahkan sebuah gelas. Prang... uwuwuw! Kupecahkan lagi. gelas kubanting. Kulempar piring ke arah kulkas. Kuarahkan mangkok ke wastafel dari jarak 40 cm. kumenari piring sebelum kulempar ke arah kompor. Aku suka suaranya. Ramai. Gaduh. Riuh. Berisik. Dan semua piring ludes kupecahkan. Biar apa? Ya, biar ramai.
Sekarang lantai-lantai telah penuh dengan pecahan beling. Oh ya , beberapa piring plastik pun turut serta dan menjadi saksi selamat. Kau tahu? Membuat keramaian itu melelahkan. Keringat mengucur deras dari dahi ke pipi. Aku duduk di meja makan bersama sekotak es krim rasa greentea entah milik siapa karena tinggal setengah. Dan tepat di suapan ke enam belas mami yang baru pulang entah dari mana membawa Mbok
Ijah –mungkin pasar, supermarket, pelelangan sayur- menjatuhkan barang belanjaannya. Tetooot, plastiknya gak bunyi nyaring.
"Apa yang terjadi Handaruuu?" pekik mami. Tangannya berada di dekat telinga, gerakan seperti habis menutup telinganya padahal kan sudah tidak ada piring yang akan dipecahkan yang berarti tidak akan ada suara nyaring yang bisa jadi membuat telinga sakit. Begitu.
"Rumah kita dirampok dan kamu melakukan perlawanan, sayang?"
Aku mengerinyitkan dahi. Sejenak terdiam. Sedikit memutar bola mata. Kusisipi dengan mendengus. Dan diakhiri dengan menggaruk leher yang memang gatal karena digigit semut semalam. Selama badanku melakukan gerak-gerik hiperbolis tersebut otakku berasumsi bahwa Mami lebih menyayangi rumah dan seisinya daripada aku. Dugaan lain bahwa mami menyangka aku anak hebat yang berhasil menyelamatkan diri dan seisi rumah dengan piring. Dan asumsi lain adalah mami akan marah kalau saja aku mengaku. Tetapi jujur adalah yang terbaik. Dan aku harus bertanggung jawab. Meski ini terdengar sok jujur atau sok baik tetapi dipotong uang jajan untuk membeli piring sungguh ah. Jika uang jajan sebulanku yang tidak seberapa itu dipakai untuk mengganti seluruh piring yang pecah maka aku harus setidaknya tidak memiliki uang jajan selama 4 bulan. Sehingga salam perpisahan kepada ibu kantin, mamang-mamang somay, es jeruk, dawet, mie ayam dan segala panganan serta segala benda lucu yang ingin dibeli. Termasuk HP yang mungkin akan tewas karena aku tidak memiliki uang untuk membeli pulsa. Aku memang memiliki tabungan, tetapi tabungan itu tentu tidak untuk piring.
"Apa yang terjadi?"
Aku diam.
Tolong bantu aku untuk mengatakan pada mami bahwa aku yang melakukan ini.
"Handaru... ceritakan apa yang terjadi?"
Aku masih diam. Tetapi otakku kisruh. Bagian kanan otakku memberi usul untuk mengatakan bahwa baru saja ada alien yang mampir ke bumi, turun di halaman belakang dan menuduhku menyembunyikan pampers mereka. Kemudian yang mereka lakukan adalah memecahkan piring karena mengira piring adalah tempat membuang urin. Tetapi otak kiriku membantah sebab belum ditemukan apa keterkaitan antara pampers dan pipis dan piring sehingga yang dipecahkan adalah piring bukan minta dibelikan pampers baru.
Bagian kanan otakku masih saja mengeluarkan ide. Ada hantu bawah tanah yang masuk ke tubuh seorang Handaru dan memecahkan piring, gelas dan mangkok. Sayang ini membuatku ngeri sendiri.
"Apa yang terjadi tadi?"
Aku memutar bola mata karena sejak tadi pertanyaan mami kurang kreatif. 1. Apa yang terjadi; 2. Ceritakan apa yang terjadi; 3. Apa yang terjadi tadi.
Baik. Aku menghela napas dan berkata dengan cepat sebab dengan begitu aku berani dan aku sudah jujur.
"Aku memecahkan semua gelas agar rumah ini ramai karena aku kesepian."
1...2...3! Mata mami membola dan aku menunduk seketika.
Jadi... apa aku salah? Oke aku salah membanting segala pecah belah itu. Jadi... apa aku salah jika merasa kesepian karena semua manusia di rumah ini tidak peduli padaku atas nama sibuk? Semuanya pulang paling cepat pukul lima sore, berangkat pukul enam pagi, dan begitu sampai rumah mereka masuk kamar masing-masing. Dan... ini masih salahku?

#JustWrite

...bagaimalah aku

Juli 16, 2016

...bagaimanalah aku ini, menanti malam dengan riang, mendengar irama berpesta pora sampai waktu berlalu dan hari berganti. Kemudian ketakutan sendiri. Hidup terlalu rumit untuk dipikirkan. Sedangkan akan terlalu bodoh jika dibiarkan berjalan tanpa harapan dan tujuan.
 ...bagaimalah aku esok adalah akibat darimana aku kini. Sedang makin hari aku makin gamang. Dan dunia serupa hutan yang makin liar makin kejam. Aku mungkin tersesat hingga menunggu waktu serigala menyantapku.
...bagaimanalah segala pertanyaan yang berkecamuk di benak aku koarkan? Sedangkan tangan tak jua mau digerakkan?
aku dan bagaimana aku
bagaimana aku dan
aku?
bagaimana?
 

#JustWrite

Apa saya harus marah? (Opini tentang Lelaki Kerdus dan anak-anak)

Juli 01, 2016

Apa saya harus marah?
Jadi semua ini berawal dari saya yang membuka youtube baru saja. Tidak bertujuan, mata saya tertuju pada deretan apa yang sedang hangat disaksikan manusia-manusia Indonesia. Mata saya terhenti pada gambar anak perempuan yang masih kecil dengan tulisan Lelaki Kerdus. Dahi saya sudah berkerut duluan melihatnya. Anak kecil... nyanyi bawa-bawa cowok? Itu yang ada dipikiran saya sebelum pada akhirnya mengklik dan suara musik dangdut terdengar. Suara khas anak kecil mengalun di telinga, sayangnya liriknya menaikkan hal-hal yang bisa mengurangi pahala puasa. Saya geram. Tapi saya lanjutkan memutarnya sampai bagian tengah anak-anak bernyanyi lelaki bangsat, lelaki bangkrut, lelaki blablabla yang mengusik saya. Stop... cukup sampai di situ saya mendengar lagu berisi curahan hati anak yang bapaknya kawin lagi.

Saya tahu bahwa setiap manusia memiliki kebebasan berkarya. Saya paham bahwa seni adalah untuk meluapkan emosi, perasaan, imajinasi, mengungkap apa yang terjadi di masyarakat, atau mungkin ingin menyentil orang. Tetapi... kita tetap punya tanggung jawab moral untuk karya kita. Sekarang... apa pantas anak kecil bernyanyi seperti itu? Membicarakan cinta-cinta yang saya pun nggak yakin dia sudah paham. Apa pantas anak-anak kecil itu berkata bangs*t dan umpatan lain? Apa pantas seperti itu? Bagaimana kalau lagu itu viral dan anak-anak lain menyanyinya? Apa Ibuya, bapaknya, atau kakaknya nggak malu akan itu?

Apa ini semacam sarkas atau satire ya? Jadi... dibuatlah lagu dengan lirik  seorang anak yang kecewa dengan ayahnya yang selingkuh, ibunya minta cerai, dan konon suka menggebuki ibunya -dan mungkin sambil berkata kasar- sebagai cerminan bahwa produk dari ayah yang berselingkuh, kasar, dan ibu yang lemah dan tak berdaya itu yang seperti itu. Kurang sopan. Ah, manis sekali. Maniiiiis sekali.

Saya tidak tahu apakah saya harus mengelus dada atau bagaimana. Yang jelas ini sama sekali tidak lucu.  Otak saya yang suka kemana-mana ini bahkan sudah membayangkan acara dangdut di kampung, anggap saja pernikahan, lalu seorang anak kecil  naik dan menyanyi lagu itu. Ya Tuhan... saya tidak tahu apakah orangtuanya akan malu atau justru tertawa-tawa saja?

Seorang anak adalah cerminan orangtua, begitu katanya. Saya percaya bahwa pendidikan pertama adalah dari keluarga. Pendidikan karakter, activity daily living, dan pengetahuan tentunya. Apa yang diberikan orangtua pada anaknya akan berpengaruh sepanjang hidupnya. Ambil contoh saja, seorang Ayah memutar lagu yang kita bahas ini, dan anaknya mendengar, sayangnya yang tercetak jelas di otaknya adalah kata bangsat. Sejak kecil ia sudah pandai memakai kata bangsat. Orangtua, Anda mau anak Anda ke warung dan bilang,"Heh bangsat, beli garam sama mie instan dua." Oke itu ilustrasi terlalu aneh, tetapi... ah. Jujur saya terlalu bingung mengungkap bagaimana kegeraman saya.

Jadi... apa saya harus marah? Saya pun tidak tahu apakah marah saya itu berguna.
Saya menulis ini tidak bermaksud menyerang anak yang menyanyi -bisa jadi dia pun sebenarnya tidak mengerti lagunya-, tidak juga untuk menyerang pencipta -bisa jadi dia khilaf-. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa berpikir ulanglah untuk menciptakan lagu untuk anak-anak. Filter mereka dalam menyaring mana yang baik dan mana yang salah itu masih renggang. Pun menggunakan anak-anak untuk menyanyikan lagu mengenai persoalan orang dewasa dengan bahasa yang kurang sopan pun tidaklah pantas. Saya harap para manusia-manusia yang cerdas bermusik itu lebih memaksimalkan otak mereka untuk berkarya yang baik-baik. Saya yakin mereka bisa. 
Mungkin ini sentilan agar industri musik anak-anak dengan lagu khas anak-anak kembali berjaya seperti saya kecil dulu. Selamat berpuasa... hati-hati untuk yang mudik.



Popular Posts

My Instagram