Inilah hari itu. Hari yang saya nantikan sejak semua yang saya lihat hanyalah samar dan buram. Hari di mana saya akan pergi dan tidak akan pernah kembali. Hari di mana saya akan ditemukan seseorang, diumumkan lewat pengeras suara masjid, dan gerombolan orang berbondong-bondong memasuki rumah saya. Mungkin, mereka akan berkata,’Sabar, ya!’ kepada kakak saya—satu-satunya manusia yang memiliki hubungan pertalian darah dengan saya. Tuhan sudah mengambil Ibu saya ketika saya dilahirkan. Adanya saya, ternyata petaka bagi Ibu saya, seakan pertanda kalau kehadiran saya memang bertujuan merusak segalanya.
Bapak
saya pun tak lebih dari seorang tukang becak yang saya anggap sudah mati. Ia
dihukum puluhan tahun penjara untuk hal yang saya tidak benar-benar mengerti.
Mungkin becaknya membawa sekilo ganja. Bisa jadi ia membawa penumpang seorang
ibu dan bayi hasil curian. Bisa juga, ia bertengkar dengan sesama tukang becak dan
salah satunya meninggal di tangan Bapak. Saya tidak tahu mana yang benar,
mungkin saja ada sebab-sebab lain. Yang mana semua itu tidak lagi menjadi
penting ketika saya di sini bermaksud membicarakan tentang hari ini.
Mengenai
hidup, saya selalu bingung sendiri. Saya nggak pernah meminta Tuhan untuk
menghidupkan saya. Kepada Tuhan, mohon koreksi kalau-kalau ternyata pada zaman
dahulu kala, saya adalah seekor sperma yang menjerit-jerit minta bertemu sel
telur. Tapi benar, seingat saya, saya nggak pernah kok bilang, Tuhan, saya mau hidup
dong. Kalau tahu adanya saya membuat Ibu saya tiada, mungkin Ibu saya akan
menyuruh sel telurnya luruh sebelum waktunya. Atau, Ibu saya jangan-jangan
sedang bersuka cita saat malaikat maut menjemputnya? Punya anak yang bentuknya tidak
menarik macam saya mungkin akan membuatnya sengsara. Tapi, soal hidup, saya
memang tidak mengerti.
Saya
tidak mengerti mengapa saya ada. Tidak mengerti mengapa saya harus ada, juga tidak
mengerti saya ada untuk apa. Bisa jadi saya diciptakan agar orang-orang kaya
raya, mapan, pintar, cantik, molek, dan hidup nyaman jadi sedikit bersyukur. Orang-orang
berwajah rupawan akan berkaca di ponselnya begitu melihat saya, lalu dalam hati
mereka berkata, “Oh, gue lebih baik dari dia.”. Orang-orang kaya raya pun akan
mensyukuri jejeran mobil yang ia miliki begitu mendapati saya yang hanyalah
pejalan kaki. Juga mereka yang berotak cerdas, yang semula ingin menangis
karena ulangan matematikanya mendapat delapan, akan tersenyum begitu melihat
angka tiga di kertas saya.
Jika
tujuan itu memang ada, mungkin saya diciptakan untuk membuat orang bersyukur dan
sedikit takabur.
Seperti
yang sudah saya katakan, bahwa ini hari yang saya nantikan, maka saya mandi dengan
bersih. Saya habiskan seperlima sabun dari botolnya. Saya cuci rambut saya dengan
dua sanchet sampo yang katanya wanginya tidak akan hilang sampai tujuh hari. Dengan
artian, saat sudah dikuburkan selama tujuh hari, rambut saya tetap wangi. Saya juga
sudah mengenakan baju terbaik saya, kemeja putih dengan gambar pohon kelapa. Juga
saya kenakan celana pendek selutut warna hitam. Satu-satunya celana yang belum
pernah dijahit ulang karena robek. Saya akan segera pergi, ke tempat di mana
saya bisa mendapatkan segala kebutuhan yang bisa digunakan untuk mengakhiri apa
yang tidak pernah saya minta untuk dimulai.
***
Tempat
yang saya kunjungi adalah sebuah swalayan. Jaraknya entah berapa kilometer dari
kontrakan saya. Untuk sampai ke sana, saya harus merogoh kocek empat ribu
rupiah dengan angkutan kota warna kuning.
Kemudian, saya berjalan beberapa puluh langkah sebelum menitipkan ransel
hitam yang sedikit sobek di ujungnya. Ransel itu kosong, tetapi akan saya isi
begitu saya selesai membeli beberapa barang.
Pertama,
saya menuju lemari minuman dingin. Saya mengambil sebotol yogurt yang hanya
bisa saya minum sebulan sekali. Sobat
miskin seperti seperti saya manalah mampu meminum dua botol yogurt tiap hari. Sebulan
sekali saja sudah suatu keberkahan. Pun, kakak saya sering menertawakan tiap
saya meminum susu fermentasi itu lamat-lamat. Katanya, saya tidak pantas
meminum minuman semacam itu. Namun, saya ingin minuman inilah yang ada di
lambung saya sebelum saya tiada.
Lalu,
saya berjalan ke rak berisi aneka obat-obatan pengusir serangga. Ada obat
nyamuk cair, kamper, lotion anti nyamuk, kapur pengusir serangga, dan entah apa
lagi. Manusia sering merasa terganggu dengan kehadiran serangga yang sebenarnya
tak punya niat untuk mengganggu mereka. Saya kira, kecoa tidak pernah berniat
mencuri gorengan manusia, ia hanya belum mengerti soal sistem kepemilikan. Sama
halnya dengan nyamuk, manalah tahu ia kalau suara dengingannya bikin emosi. Nyamuk
dititahkan Tuhan untuk menyedot darah manusia, lalu manusia marah jika mereka
digigit nyamuk. Mengapa manusia tidak menyalahkan Tuhan saja? Oh, tentu saja
karena pencipta surga dan neraka adalah Tuhan dan bukan nyamuk.
Untuk mengakhiri nyawa kali ini—terdengar
seperti koki yang berkata ‘untuk masakan hari ini’, tidak?—saya
akan menggunakan obat nyamuk kertas. Obat nyamuk itu seharga seribu enam ratus
rupiah per sachet. Di dalam satu sachet itu, ada sepuluh lembar kertas yang bisa
dibakar dan mengeluarkan asap pengusir nyamuk. Dengan inilah napas saya akan menyesak dan malaikat
memanggil saya untuk menghadap Tuhan. Itu pun kalau Tuhan masih sudi bertemu dengan
saya.
Ngomong-ngomong, alasan saya untuk mengakhiri hidup
ini adalah karena saya sudah tidak punya alasan untuk melanjutkan hidup.
Maksudnya, tidak ada satu hal pun yang tampak menarik untuk menjadi alasan
bertahan. Masa depan sudah jelas begitu suram, keluarga tak ada, merah muda dan
cinta adalah bedebah, dan bosan. Oh, capek. Menjalani hal yang tidak kamu
inginkan begitu melelahkan. Jadi bisa dibilang, saya bosan dan capek untuk
hidup.
Baik, soal asap obat yang dapat membunuh itu,
sebenarnya saya dapatkan dari koran. Setelah menimbang-nimbang dengan cara
apakah saya akan meninggalkan dunia ini, saya pun memilih obat nyamuk. Menggantung
diri saya dengan tali tambang terdengar begitu mainstream. Seorang Pemuda
Tewas Gantung Diri di Tiang Jemuran, judul macam ini sudah terlalu sering.
Meminum cairan obat nyamuk? Saya kira itu agak menyakitkan karena matinya agak
lama, belum lagi kalau ketahuan. Maaf, mengapa saya malah membahas cara-cara
bunuh diri. Saya kan tidak mau mengajak-ajak orang untuk bunuh diri.
Koran yang saya baca sebulan lalu berjudul Satu Keluarga Tewas Akibat Obat Nyamuk. Ceritanya
begini, mereka adalah satu keluarga yang sedang berjalan-jalan. Kemudian,
mereka berhenti di halaman masjid untuk istirahat. Sebab banyak nyamuk, sang
ibu membakar satu sachet obat nyamuk kertas. Bodohnya, sang ayah menutup rapat
pintu dan jendela. Mereka pun tertidur hingga tidak sadar tertidur untuk
selamanya. Sebenarnya, saya tidak tahu juga sih, apakah mereka ini berniat
bunuh diri atau tidak. Orangtua sekarang kan banyak yang tidak waras. Misal,
anak diajak melempar bom dengan iming-iming surga. Saya rasa, apa yang saya ucapkan barusan tidak
begitu penting.
Jadi, saya memiliki uang 60.000 rupiah. 5000 rupiah
akan saya gunakan untuk membayar angkot, 9000 untuk membayar yogurt. Dengan demikian,
60.000 dikurang 5.000 dan dikurang lagi 9.000 sama dengan .... Baiknya saya
tambahkan dulu lima dan sembilan, lalu saya buang nol-nol itu agar mudah
dihitung. 5+9 =14. Jadi 60.000 dikurang 14.000 sama dengan 49.000.
Dengan uang 49.000, berapa sachet obat nyamuk yanseharga
g bisa saya beli jika satu sachet 1.600? Ah, ya saya tidak perlu membeli korek
api karena saya sudah punya dua kotak di tas dan beberapa lagi di kamar
kontrakan. Empat sembilan dibagi enam belas terdengar rumit. Mungkin saya tidak perlu menghabiskan uang
saya. Sisanya bisa menjadi warisan saya untuk kakak saya. Jadi saya putuskan
membeli 22 bungkus sebagaimana umur saya hari ini. Hari ini saya berulang tahun
yang ke-22. Saya ingin orang yang menuliskan nisan saya nantinya sedikit
terkejut karena tanggal lahir dan mati saya sama, hanya berbeda tahun saja.
Jadilah, saya berjalan ke kasir dengan 22 sachet
obat nyamuk dan sebotol yogurt.
“Dua puluh dua, ya,” sahut kasir. Saya mengangguk,
ia kemudian memencet angka dua sebanyak dua kali. Lalu muncullah angka 35.200
di layar
“Empat puluh empat ribu dua ratus rupiah,” sahut si
kasir. Padahal, saya baru akan menghitung sendiri. Saya merogoh kantong,
memberikan dua lembar uang dua puluh ribuan dan selembar uang sepuluh ribuan.
Lalu saya mengambil ransel hitam saya, memasukkan
belanjaan ke sana. Saya teguk seperempat bagian yogort dingin itu. Segar. Langkah
saya terasa begitu ringan, saya sudah tidak sabar bertemu Tuhan. Kaki saya
terus melangkah, tinggal sedikit lagi saya menyeberang dan saya bisa menanti
angkot menuju kontakan.
Saya membayangkan Ibu saya memanggil saya, memeluk dengan
erat, dan ....
***
Dan rupanya Tuhan lebih tidak sabar
untuk menjemput saya. Sebuah mobil sedan menabrak tubuh saya. Saya sedang
membayangkan bertemu Ibu ketika tiba-tiba sesuatu yang teramat sakit saya
rasakan. Lalu berganti rasa sakit lain yang membuat saya melihat orang-orang
mengerubungi saya. Motor-motor seketika berhenti, dan si pengemudi sedan
terlihat menarik-narik rambutnya frustrasi.
Ransel saya terlempar jauh, saya
gagal membuat judul ‘Seorang Tewas Bunuh Diri dengan Obat Nyamuk’ di koran esok
hari. Saya belum sempat menulis surat perpisahan untuk kakak saya yang sekarang
menjadi benar-benar sendirian. Jikalau seseorang berbaik hati mengembalikan
ransel yang terlempar itu kepadanya, tentu ia bingung mengapa ada 22 sachet
obat nyamuk di sana.
Rupa-rupanya, saya memang hanya
bisa berencana.
19 Nov. 2018
19 Nov. 2018