Icus adalah sebatang kaktus merah. Badannya bulat seperti
bola. Seluruh tubuhnya dipenuhi duri-duri yang tajam.
Icus tinggal di taman kota. Tetangganya adalah pohon
Tabebuya, bunga mawar, rerumputan, serta tanaman-tanaman lainnya.
Icus senang dengan matahari, dan ia benci hujan. Icus tidak
membutuhkan air yang banyak. Jika terlalu sering tersiram air, Icus bisa
kedinginan. Tubuhnya pun jadi lembek. Kalau sudah begini, ia bisa mati.
Untungnya, Pak Boni, tukang kebun menyiram Icus 2 minggu sekali.
Sebenarnya, ia adalah kaktus merah yang cantik. Sayangnya,
tidak ada sebatang tanaman pun yang mau berteman dengannya.
“Aku tidak mau dekat-dekat denganmu. Tubuhmu penuh duri.
Daunku robek jika dekat denganmu,” kata Lilir, si bunga anyelir.
“Kenapa begitu? Rosea pun berduri sepertiku,” jawab Icus.
“Duri Rosea tak sebanyak kau, Icus. Ia pun cantik dan wangi,”
jawab Lilir.
Icus tertunduk lesu. Ia benci duri-duri di tubuhnya.
Duri-duri itu membuatnya tak punya teman. Tak ada seekor serangga pun yang
datang dan hinggap di tubuhnya.
“Kau merugikan, Icus. Lihat, kupu-kupu itu! Mereka bergerombol
menghisap madu milik Zinnia,” kata Lilir suatu hari. “Meski usianya pendek,
Zinnia memberi lebah makan,” tambah Lilir. Mendengar itu, Icus semakin sedih.
Hari demi hari berlalu. Icus yang malang selalu sendirian. Tidak
ada yang memerhatikannya selain Pak Boni. Hujan dan panas silih berganti. Sampai
pada suatu waktu, musim kemarau datang.
“Kalian mungkin akan jarang kusiram, wahai tanaman. Kota
kita kekeringan. Air begitu sulit didapatkan,” kata Pak Boni suatu sore. Musim kemarau
yang panjang membuat sumur-sumur kekeringan. Kota menjadi panas dan gersang. Beberapa
tumbuhan kering dan layu. Namun, tidak dengan Icus. Ia tetap sehat. Tubuhnya yang
menyimpan air dan daunnya yang berupa duri membuatnya tetap segar di musim
kemarau.
Icus senang ia masih
sehat, tetapi ia melihat teman-temannya menangis tersedu.
“Umurku mungkin tidak lama lagi. Daunku telah kering semua,”
kata Rosea.
“Aku pun sudah lemas,” sahut Lilir.
“Kau beruntung, Cus. Duri-durimu ternyata membantumu
bertahan hidup,” ujar Rosea lagi.
Icus terdiam, memandangi duri-duri di tubuhnya.
Hari berlalu, sudah berpuluh hari hujan tak turun. Pak Boni
pun tak kunjung datang untuk menyiram taman. Satu per satu tanaman mati,
menyisakan Icus dan Kakek Tabe, Si pohon tabebuya.
“Mereka semua mati,” kata Icus.
“Kau merasa sedih? Bukankah mereka pernah mengejekmu dulu?”
tanya Kakek Tabe.
“Ya, tapi sudah kumaafkan. Aku tidak ingin sendirian,” kata
Icus. Kakek Tabe mengangguk-angguk.
Suatu hari, seorang manusia berjalan-jalan di taman. Ia
tampak sedih melihat semua tanaman mati. Namun, matanya berbinar ketika melihat
Icus.
“Wah, kaktus ini masih hidup. Ia agak kurus. Mungkin aku
bawa pulang saja daripada tidak terurus,” kata manusia itu.
Icus tidak bisa meronta ketika ia dimasukkan ke dalam tas
si manusia. Ia melambai-lambaikan tangan pada Kakek Tabe.
Kini, di sinilah Icus tinggal. Di sebuah rak besi bercat
putih di dalam sebuah pot kecil warna-warni. Si manusia menanamnya di pot dan ia
letakkan bersama kaktus lain miliknya.
“Hai, aku Icus! Aku kaktus juga,” sapa Icus pada
kaktus-kaktus lain. Semua kaktus merasa senang dengan kehadiran Icus. Ia pun
merasa senang tinggal di sana. Meskipun, ia tetap merindukan Rosea, Lilir, dan Kakek
Tabe.
***