Perihal Punggung Merana
Aku
meyakini bahwa aku manusia karena aku punya punggung. Sebentar, tidak hanya
manusia yang punya punggung. Manusia hanyalah salah satu makhluk bertulang
belakang. Salah satu bukan berarti satu-satunya. Kuharap manusia tidak jumawa
karena memiliki punggung. Sapi pun punya tulang belakang alias punya punggung
juga. Namun, aku tidak tahu, apakah sapi mau disamakan dengan manusia atau
tidak. Bisa jadi sapi merasa tidak sudi disejajarkan dengan manusia karena
manusia tidak memiliki glandula mamae sebanyak mereka, dan kurang merdu
saat menyenandungkan,"Mooooo!". Aku juga tidak tahu apakah sapi-sapi
itu sebenarnya ikhlas jika manusia meminum susu mereka. Aku bahkan tidak pernah
mendengar pendapat sapi mengenai apakah mereka setuju susu mereka diberi gula
dan perasa stroberi.
Beranjak
dari sapi, karena itu hanyalah contoh. Tidak seperti panggung, punggung ada di
bagian belakang. Karena ada di bagian belakang, aku tak pernah memperlihatkan
punggungku saat mengobrol atau membayar es krim di warung. Memunggungi lawan
bicara sangatlah tidak sopan. Membayar es krim dengan posisi membelakangi kasir
juga merepotkan. Bagaimana jika tanganku ikut menjadi korban karena harus
berputar saat memberikan uang? Tentu tidak ada orang yang ingin menjadi korban
di dunia ini. Namun, kadang-kadang ada pula yang sengaja menjadi tersangka.
Tersangka berasal dari kata "sangka" dan dapat kita artikan sebagai
orang yang diduga atau dicurigai. Mereka yang dicurigai belum tentu benar-benar
melakukan. Jika sudah terbukti, tersangka akan menjadi terdakwa. Mereka akan
mendapatkan dakwaan. Melirik kasus sakit punggung merana, ada beberapa
tersangka, tetapi belum juga ditetapkan terdakwanya. Aku pun tak ingin
sembarang menduga. Karena menetapkan tersangkat tak boleh coba-coba.
Sebelum
kita mencari tersangka dan membuat putusan kasus punggung merana ini, aku perlu
memperjelas sesuatu. Sebenarnya ini sudah jelas. Namun, perlu kujelaskan
kalau-kalau ada yang lupa. Bahwa punggung
ada di bagian belakang. Kita tidak bisa melihat punggung kita sendiri.
Padahal, punggung bertugas menopang tubuh. Seperti koki yang ada di dapur dan
bertugas membuat makanan.
Tugas
punggung amatlah berat. Hanya saja karena berada di belakang, punggung hampir
tidak pernah terlihat. Punggung pun jarang diapresiasi, ia tak tahu apa itu
afeksi. Jika tidak tahu apa itu afeksi, negara kita menciptakan KBBI. Pasti
akan kita temukan apa itu afeksi di sana. Kembali soal punggung, dibandingkan
diberi afeksi, ia lebih sering disiksa dan dipaksa bekerja. Ia dipaksa untuk
terus menopang tubuh, tanpa kita tahu apakah sebenarnya punggung bersedia atau
tidak. Sama halnya dengan kita dipaksa hidup, tanpa tahu apakah sebenarnya kita
ingin ada atau tidak. Kadang-kadang perihal ini-apakah
Tuhan pernah bertanya apa aku mau hidup-
ingin aku tanyakan pada Tuhan. Namun, apakah bertanya kepada Tuhan harus
menghadapi ketiadaan? Atau aku boleh bertanya kapan saja? Ah, nanti dulu urusan
pertuhanan. Aku menyakini sila pertama Pancasila. Tenang saja.
Kembali
soal punggung, yang jelas, tidak ada organ wicara di punggung sehingga ia tidak
bisa menjerit. Padahal aku tahu, punggung ini menangis juga. Sayangnya, ketika
terus-menerus dipakai duduk dan memikul beban yang berat, seperti beban negara
atau beban masyarakat, punggung tak pernah buka suara. Berbeda dengan mulut
yang 6 jam saja tak diisi, sudah mencari-cari makanan untuk menstimulasi.
Punggung selalu diam. Namun, belakangan kusadari, punggung tidak sehening itu.
Punggung hanya... sedikit pasif agresif? Si tulang belakang itu tidak
berteriak-teriak seperti perut keroncongan. Punggung masih pendiam, tetapi dia
melempar kode-kode yang menyakitkan. Tidakkah ini lebih menyengsarakan?
Punggung
tidak memecahkan gelas biar ramai dan mengaduh sampai gaduh. Ia hanya membuat
nyeri dari dalam, dan manusia yang mengaduh. “Aduh, sakit sekali,” atau,”Nyeri
punggung membuatku tak bisa melakukan apa pun.”
Sejenak
aku berpikir dan menemukan fakta bahwa punggung masih setia meskipun ia tahu
siapa tersangka dan terdakwa yang membuatnya merana. Punggung masih berpura-pura
tidak ada masalah, padahal aku yakin ia ingin berpisah dari tubuh yang
menyakitinya. Siapa yang mau bertahan dengan kemelekatan yang menyakitkan
seperti tulang punggung pada tubuh tidak tahu diri ini?
Aku
harap punggung tidak begitu saja menerima takdirnya. Aku meyakini disakiti dan
diajak kerja rodi bukan takdir. Punggung
kan bukan jantung yang ditugaskan berdegug sampai manusia berakhir. Punggung
diciptakan untuk menopang tubuh, dan tidak selamanya tubuh berdiri atau duduk.
Ada satu kegiatan bernama tidur, saat itulah seharusnya punggung libur. Namun,
para tersangka ini seringkali meminta punggung lembur. Punggung hampir tidak
pernah diberi hadiah. Orang-orang berkata, mengabdilah sepenuh hati, biar Tuhan
yang mengapresiasi. Oh, mengabdi tentu sepenuh hati, tetapi bukan berarti hanya
diberi setengah gaji. Keikhlasan tidak
seharusnya disalahgunakan, dan pengabdian bukan berarti diperas habis-habisan. Ah,
beberapa kalimat terakhir mungkin tidak berkaitan dengan punggung secara langsung.
Punggung
selalu disandingkan dengan penderitaan. Tulang punggung keluarga, begitu disebutnya. Jika dirimu pernah belajar
Bahasa Indonesia, ada namanya kiasan, yang berarti bukan berarti makna
sebenarnya. Ketika seseorang menulis, dia adalah tulang punggung keluarga,
ini tidak bisa kita artikan sebagai dialah yang menjadi tulang untuk setiap
orang di keluarganya. Setiap manusai memiliki tulang sendiri-sendiri. Kecuali
jika kita ke Medan, ada tulang yang lain. Tulang punggung pada contoh
itu bisa berarti, ia lah yang menanggung biaya hidup seluruh keluarganya. Oh,
ini hanya contoh. Karena bisa jadi bagian membayar listrik bukan dirinya. Tidak
semua orang ingin menjadi tulang punggung.
Punggung
berbeda dengan lidah yang kerap dikaitkan dengan kenikmatan. Siapa yang
mengecap kopi di pagi hari? Lidah. Siapa yang merasakan nikmatnya bumbu pecel?
Tentu lidah. Namun, siapa yang merana akibat memikul semen demi memuaskan lidah
dengan nasi padang? Punggung, siapa lagi. Kadang-kadang bahu, pinggang, dan
pertulangan lainnya ikut menderita. Hal ini jadi membuatku bertanya, apa hidup
setidak adil itu, bahkan pada tubuhmu? Ada bagian yang kerjanya menikmati jerih
payah, dan ada pula bagian yang selalu bersusah payah.
Aku
terdiam cukup lama hingga menyadari, punggung lebih sering merana dibandingkan
lidah. Apakah ini berkaitan dengan lidah tidak bertulang? Sedangkan tulang
punggung adalah tulang, dan bekerja sering disebut banting tulang.
Mengapa tulang harus dibanting? Dan apakah menyiksa tulang untuk bekerja adalah
hal yang penting? Lalu, untuk apa kita bekerja? Apa setiap manusia harus
bekerja? Bagaimana jika kita hanya tidur-tiduran saja untuk menghormati
punggung yang merana? Aku masih percaya Tuhan mengadakan aku untuk
berpartisipasi mengelola bumi, bukan membanting-banting tulang dan punggung
ini. Andai aku atlet beladiri, mungkin tujuan hidupku adalah membanting
lawanku.
Beberapa
orang pernah mengalami sakit punggung. Namun, tidak semua sakit punggung akibat
kurang diapresiasi. Seperti tidak semua penyakit karena mental yang disakiti. Bisa
jadi karena kerap diajak kerja rodi. Arti kerja rodi sudah mengalami pergeseran
sejak zaman nenek terima raport hingga sekarang. Beberapa orang menyebut kerja
rodi sebagai bekerja tanpa henti. Padahal ketika bekerja kita perlu sesekali
berhenti.
Bekerja
terus-menerus dan tak berhenti kabarnya bikin kita cepat mati. Apakah cepat
mati adalah hal yang bagus? kurasa tiap orang memiliki pandangan berbeda.
Pandanganku sendiri biarlah kusimpan di kepala untuk sementara. Sebab beberapa
orang terkadang tidak menerima jika kepalamu berpikir berbeda. Padahal kita punya
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan kan tidak selalu warna kulit. bisa
jadi berbentuk perbedaan pendapat. Seperti pendapat-pendapat menyoal mengapa
punggung bisa merana, siapa saja terdakwa dan yang akan menjadi tersangka. Siapa
saja bisa menjadi tersangka, tinggal dari mana sudut pandangnya. Kita juga
perlu melihat di manakah sakit punggung ini terjadi. Sebab beberapa tempat
mungkin menjadikanmu tersangka tanpa sebab, atau membebaskanmu karena sebab
tertentu.
Setelah
menimbang-nimbang, aku jadi berpikir, mencari tersangka punggung merana saat ini kuranglah tepat. Jika punggungku
merana sebab kursi, bagaimana aku menuntutnya? Aku tidak tahu siapa yang
membuat kursi ini. Aku juga tidak bisa menyalahkan si pembuat karena kursi ini
kurang ergonomis. Pembuat kursi kan tidak tahu ukuran tubuhku saat membuatnya. Lagipula,
bisa jadi ini salahku saat memilih kursi.
Aku
jika tidak mau menyalahkan otakku karena lupa mengingatkan diri untuk menegakkan
punggung saat bekerja. Tugas otakku sudah banyak, kurasa ia akan burn out
jika kusuruh sedikit-dikit mengingatkan punggung untuk membungkuk. Namun, ini
juga bukan salah punggung itu sendiri. Pasti ada sebab mengapa ia membungkuk,
dan ia bisa lelah juga. Lalu dari berbagai kemungkinan-kemungkinan lain, aku
memutuskan untuk berhenti mencari tersangka punggung merana ini. Mengapa aku
sibuk menghabiskan waktu mencari mengapa-ini-terjadi ketimbang memutuskan bagaimana-ini-kutangani?
Terkadang,
terus-menerus bertanya mengapa hanya membuat kita makin merana. Maka aku
berhenti untuk meracau tanpa jeda. Malam ini aku akan yoga, juga mengoleskan Natrium
Diklofenak pada punggung merana ini. Aku juga akan menambah asupan vitamin
B kompleks, vitamin D, dan kalsiumku. Juga membenarkan posisi tubuhku yang
kerap miring ke kanan dan kiri. Begitulah punggungku meminta. Sebab sudah
kukata padanya, serukan yang lantang jika kau lelah dan merana.
Aku
masih meyakini bahwa aku manusia karena aku memiliki punggung. Juga semakin
yakin aku benar-benar manusia karena punggungku merana. Sebab rasa sakit manusia
ada batasnya. Karena itulah punggungku berkata,”Aku merana!”.
28.7.2024
Saat Ginting baru saja menang, dan Rinov-Pitha digeprek 3-21.