rasanya mau mengaduh
tidak jatuh
tapi rasanya terhempas
rasanya sakit
cekit-cekit
tidak luka
goresan saja tiada
rasanya tenggelam
di pasir
bukan air
rasanya sudah kalah
argh!
Ini hanyalah tulisan yang memandang suatu kejadian dari sudut pandang kopi. Terinspirasi kejadian nyata namun sudah jadi fiksi. Hanya canda, bukan sesuatu yang serius sesungguhnya.
Perhatikan.
Beberapa waktu yang lalu, sebuah mobil mewah menyeruduk warung kopi.
Disusul sebuah pembunuhan berencana dimana racun mematikan tercampur dalam segelas kopi.
Dan... sebuah bom di kedai kopi papan atas.
Ketiganya memuat hal yang sama, kopi.
Warung kopi kecil ditabrak. Minum kopi, mati. Mau kongkow di kedai kopi terkenal, di bom. Semua merujuk ke arah yang sama. Bahwa kopi ada di setiap kejadian itu. Ada apa dengan kopi?
Tidak ada yang membahas bahwa mungkin saja pamor kopi sedang dijatuhkan. Kopi sedang di atas awan. Para pecinta kopi dan pengaku pecinta kopi menjamur. Sudah tidak tahu lagi, mana yang pecinta mana yang hanya ingin memenuhi instagram atau social media lain dengan foto segelas kopi. Bisnis kedai kopi sedang menjanjikan. Dari warung bambu sampai kedai di lantai entah berapa. Tak terkecuali kopi hitam bagi pecandu. Dan kopi mainan yang menjamur dengan bungkus warna-warni. Sudah tidak tahu lagi, sebenarnya berapa persen kopi di bungkus kopi mainan itu. Tapi, itu tetap kopi. Kedai kopi menjanjikan. Barista dilirik jadi pekerjaan. Dan menu-menu terkait kopi mulai beragam. Dengan nama-nama yang kadang sudah tidak ada lagi kata kopinya.
Kopi memang disukai. Candunya bikin nggak bisa berhenti. Aromanya selalu memanggil. Dan pekatnya, pahitnya, dan filosofinya tidak bisa terbantahkan.
Ini bukan benci. Biasa saja. Tapi kopi saat ini sedang melirik jengah ke arah teh. Teh adalah saingan kopi. Kopi bisa berdansa dengan gula. Bisa berpeluk mesra dengan coklat. Bisa menari dengan susu. Tapi kopi enggan dengan teh. Dan teh, bisa jadi benci kopi.
Adalah teh yang berusaha menjatuhkan kopi. Sebab teh iri. Jumlah kedai kopi berpuluh kali lipat daripada kedai teh. Sebab Tea Time malah digunakan untuk coffee time. Sebab teh kemasan hanya itu-itu saja. Tidak bungkus warna-warni. Mungkin ada, tapi sedikit. Sedikit sekali. Teh iri. Maka teh bersekongkol dengan mobil mewah itu. Namun, pencinta kopi masih menyeruput kopi tiap pagi.
Teh tertawa saat sianida itu ada di segelas kopi. Menjadikan seseorang berpulang ke Tuhan. Menggemparkan halaman depan koran. Nama kopi disebut. Spekulasi keracunan kopi membumbung. Keburukan kopi diangkat. Teh terbahak.
Namun, pecinta kopi tetap ngopi. Teh bergabung dengan teroris. Yang ledakkan bom di kedai kopi papan atas. Setelah gagal menyasar pecinta kopi kelas menengah ke bawah. Sayangnya, penjual sate lebih pamor. Outfit Polisi lebih kondang. Dan tentara jajan lebih terkenal. Kopi tidak disinggung sama sekali.
Teh sedang bergelung dalam duka akan kegagalan menjatuhkan kopi. Ia menangis. Teh melupakan satu hal, bahwa mau bagaimanapun pecinta kopi adalah orang-orang yang setia. Setia pada tiap teguk kopi di setiap harinya.
*
Well, ini adalah pikiran yang sebenarnya sudah lama saya pikirkan. Hanya mainan. Tidak bermaksud menjatuhkan teh. Saya juga suka kok teh, kadang. Seharusnya menyiapkan intervensi besok. Tapi tidak tahan menulisnya. >.<
Entah kenapa akhir-akhir ini tiap bangun tidur dada gue sesak. Ya sesak, rasanya nggak enak. Awalnya di penghujung Desember sesak itu cuma sekali-kali. Nggak tahu sekarang kenapa tiap bangun sesak. Hari ini aja udah tiga kali. Bangun pagi, bangun siang dan bangun tengah malam karena gue males ngerjain siang-siang. Gue gak punya asma. Ga ada maag juga. Masa' sih gue sakit jantung. Dan kalau stres, nggak gini juga. Ada banyak yang mau gue tulis tapi mungkin gue harus beresin buat persiapan besok intervensi. Semoga pada nurut deh anak-anaknya.
Setelah kemarin saya menulis tentang memakan coklat pahit di dekat orang kelaparan dan orang makan udang enyak, sekarang pemikiran itu berkembang. Maaf kalo analogi saya berkisar tentang makanan. Padahal sebenernya ya, saya enggak terlalu suka makan. Lebih suka minum. Tapi enggak apa. dalam kasus ini, saya membicarakan skripsi. Tapi analogi ini saya pikir bisa diterapkan di kasus lain.
Yap, itu yang saya rasakan. Enggak usah dijelasin karena nanti saya bisa-bisa balik ke tahap denial.
Sampai akhirnya...
Sampai akhirnya lu nengok ke belakang. Melihat jejeran orang yang berbaris di belakang lu. Beberapa dari mereka mau makan soto juga. Sebagian lagi masih bingung mau makan soto apa nasi pecel. Sebagian lagi ngitung duit karena belum dikirim Papinya. Lu terdiam. Bahwa lu punya uang, lu udah di barisan deket etalasenya Bu Meto, dan Bu Meto udah bilang “Kosek to...” yang artinya bahwa lu disuruh sabar nunggu.Lu udah tahu lu mau makan soto. Dan pasti lu bakal dapat soto karena lu lihat bahan-bahannya masih banyak.
- Pertama gue butuh nulis, apapun itu untuk mengeluarkan semua yang ada di kepala yang menggumpal seperti benang rajut setelah ditendang kucing.
- Kedua, ada ide meledak-ledak. Walaupun mungkin eksekusi gue gak nendang.
- Ketiga, waktu luang terlalu banyak. Hingga gue ngoceh nggak karu-karuan.
- Empat, ada hal yang harus gue katakan. Baik ke diri sendiri maupun orang lain
- Lima. Saat kecemasan gue meningkat. Hal ini berkaitan dengan alasan pertama.
Kepada diriku sendiri.
Hari ini kuulangi lagi. Hidupmu bukan lomba lari. Kamu bisa mengejar yang kamu mau. Berlari, melompat lebih tinggi. Kamu boleh berlari dalam perjalanan hidupmu. Garis bawahi kata 'perjalanan hidupmu'. Sebab hidupmu bukan perlombaan. Kamu mungkin berpacu dengan waktu, namun waktumu sendiri. Kamu tidak boleh menjadikan berlari untuk perlombaan. Setiap orang berbeda. Maka jangan lagi bandingkan dirimu. Apalagi membandingkan dirimu yang seumpama jeruk dengan orang lain yang jadi bayam, wortel, atau apel. Memang jika hidup lomba lari, maukah kamu dahulu sampai garis finish bergelar 'mati'?
Kepada Tuhan yang saya sayangi,
Semoga Allah selalu menyayangi saya meski kadang saya menampakkan perilaku yang Tuhan mungkin tak suka. Seharusnya saya tak menulis di sini. Tapi menulis membuat saya lega. Maafkan saya. Ampuni segala perilaku dan pikiran yang berujung dosa. Saya harap Tuhan mempermudah dan melapangkan jalan saya. Memberi rizki dan usia panjang kepada keluarga saya. Saya saya pada Tuhan. Itu saja. Lancarkan hari-hari saya ke depan, Ya Allah.
Terima kasih.
Hamba Mu.