Tameo, aku menangis malam ini.
Agustus 08, 2020Kadang-kadang aku sedih tanpa alasan. Kadang-kadang, aku bertanya-tanya mengapa aku sedih ketika tidak ada hal yang menjadi pemicunya. Sampai pada suatu hari, entah itu di IG live seorang psikolog atau webinar, si psikolog berkata,"Kadang, emosi yang kita rasakan hari ini itu delay. Sebenarnya, hal yang membuat sedihnya kemarin, kemarin lusa, tapi kita baru sadar hari ini."
Lalu aku berpikir, mungkin saja itu yang terjadi padaku. Ketika sebuah kabar duka datang, kadang aku hanya diam dan tidak merasakan apa-apa. Ketika nenekku meninggal, aku baru menangis sebulan kemudian karena aku baru teringat dan menyadari hal itu. Dan karena terlalu lama, kadang tidak semua sedih hari ini diketahui mengapa. Selain, aku memang menyadari bahwa aku tidak cukup bisa peka dan berempati dengan manusia ketimbang dengan hewan. :(
Aku menulis malam ini dengan perasaan sedih yang kusadari sebagai kesedihan karena Tameo meninggal 3 hari lalu, setelah sehari sebelumnya anaknya berpulang. Tameo yang beberapa hari demam tinggi sampai tidak bisa menyusui anak, napsu makan menurun, sampai ia kemudian susah makan. Aku ingat ketika aku memberikannya potongan daging mentah dan ia melahap mantap (karena di akhir-akhir hidupnya ia hanya mau daging beku, ikan setengah makan, ayam rebus) dan aku berkata,"Nggak apa-apa, Tameo harus makan enak. Tameo harus makan enak sebelum mati, nggak makan tempe-ikan aja. "
Lalu adikku berkata,"Cici doain Tameo mati, bilang ini makanan terakhirnya?"
Aku menggeleng dan waktu itu berkata,"Nggaklah, maksudnya seumur hidup Tameo, dia juga makan daging." Lalu besoknya Tameo meninggal tiba-tiba, setelah malamnya makan dengan lahap, pup pada tempatnya, tetapi ia sudah terlihat lemah dan batuk-batuk.
Tameo adalah kucing yang pernah kumarahi karena ketika di kost, ketika semua anak kucing bisa toiletting dengan benar, Tameo selalu pipis di kasur, dan butuh diajari lebih keras.
Tameo adalah kucing yang sayang anaknya begitu rupa, sampai-sampai mencuri anak ayam tetangga dan membawakannya untuk bayi-bayi yang tak mengerti---dan anak bayi itu mati. Entah mengapa ia memang senang berburu. Lalu Tameo dikandangkan sebulan agar tak lagi mencuri anak ayam, dan untungnya berhasil.
Tameo sudah pergi, meski masih banyak kucing, tetapi tidak ada lagi yang masuk ke kamar untuk membangunkan terlalu pagi sambil mengabarkan bahwa ini waktunya sarapan, loh.
Dear Tameo, berbulan-bulan aku ingin menangis dan tidak kunjung bisa. Malam ini aku bisa menangis karenamu. Tentu saja lega bisa menangis, tetapi aku lebih memilih jika dirimu masih ada. Tapi aku ikhlas, kok. I'll try my best for you. I hugs you couple time and said,"Cici sayang Tameo." So, i really love you cause i'm deeply loosing you, now.
Terima kasih sudah menemani saya menulis tesis, menulis Ikan Kecil, dan menemani saya sampai sekarang. I'm happy for feeding you everyday. I'm sorry for everything, Tameo. Kadang-kadang aku galak jika kamu mulai berulah. Aku akan menghabiskan tangisanku malam ini, dan akan mengikhlaskanmu.
Selamat jalan, Tameo. Selamat jalan...
2 comments
Hwaa... Seketika aku jadi ikutan menangis. Kadang kalau dipikir-pikir, entah kenapa bounding antara kita dengan peliharaan bisa jadi lebih dalam daripada bounding kita dengan teman-teman mungkin. Hehehe. Salam kenal mbak ossy
BalasHapusmungkin karena mereka terasa seperti saling memahami, ya. Terima kasih sudah mampir.
HapusJangan ragu untuk berkomentar, kawan!