Kadang-kadang, aku merasa kepala ini menyulitkanku. Misalnya, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Pernah juga aku jadi terhuyung-huyung tanpa sebab. Kepalaku juga pernah mencengkeramku ketika aku belum minum kopi. Tidak lupa, kepala adalah sumber kecemasan nomor satu yang kumiliki. Kepalaku butuh tidur, tetapi ia juga yang kerap memaksaku terjaga. Misalnya untuk menjawab pertanyaan yang aku tidak tahu jawabannya. ,"Kenapa kamu masih ada di dunia?" atau "Bagaimana melanjutkan hidup yang tidak pernah kausuka?"
Belakangan kepalaku semakin berat. Bersamaan dengan kabut kelabu yang kian hari kian pekat. Padahal ini bulan biasanya kepalaku berdebat. Namun, jika kuingat, kepalaku memang tampak terlelap di awal tahun. Padahal, awal tahun beberapa waktu ke belakang, kepalaku biasanya membuat ulah dengan adukan hormon yang membuatku kosong setiap bangun tidur. Kepalaku yang nakal ini seringkali kelabu ketika aku selesai berhibernasi. Namun, mengapa kini kepalaku harus sekarat saat tugas-tugas kian menumpuk menjadi berat?
Ketika lahir, bagian yang paling besar adalah kepala. Ketika usia menanjak, masalah selalu datang dari kepala. Tentunya aku menyayangi kepalaku. Tanpa kepala aku kan hanya seonggok tulang dengan daging yang teramat tipis. Mungkin karena saat tidur pun kepalaku tidak tidur, ia menjadi semena-mena terhadapku.
Aku menyesali kepalaku yang harus berada di ruang kelabu sekarang. Padahal aku hendak mengerjakan hal-hal yang menyenangkan. Ada banyak hal yang kusukai yang pasti membuatku jumpalitan jika saja kepalaku sedang tidak kusut tak karuan. Bahkan hal-hal menyenangkan pun tidak diberi jalan untuk membuat hatiku riang. Dasar kepalaku!
Siang ini aku mengadukan kepalaku. Kali-kali saja sindiran ini menyadarkannya. Ia mungkin bisa membersihkan gumpalan awan-awan kelabu tak diundang itu.Aku akan kembali saat kepalaku menjadi peri baik hati lagi.