Balasan Kaisha kepada Chero #1
Dear Chero Gahara Santrock
Pada mula surat ini kutulis tentu sewajarnya terima kasih kusuguhkan pada dirimu, Chero. Ini... seperti bukan Chero, seperti bukan lelaki yang kusiram kopi dua bulan tiga belas hari yang lalu. Terima kasih telah mengirimkan surat di zaman ini. Zaman penuh teknologi yang bahkan suara saja bisa kaukirim secepat cahaya. Aku begitu tak menyangka, seorang Chero yang ... sama sekali jauh dari melankolis itu menulis surat. Yah, meski kertas yang kamu pakai sangat tidak layak. Enggak modal, pakai kertas bekas undangan rapat RT, sudah begitu pakai amplop tagihan parkir apartement. Pelit sekali! Tetapi, sudahlah. Toh ini bukan surat cinta. Jadi tidak perlu pakai kertas berbunga-bunga segala. Sebab kita sudah tidak lagi bermerah jambu, ‘kan? Atau kamu masih bermerah jambu padaku? Huh?
Uhm. Maaf sekali kutidak bisa turun ke lantai tiga dari lantai dua puluh satu kemarin. Sebab suratmu baru kubaca pagi ini. Salah sendiri pakai amplop tagihan! Pandir! Lagi pula kusibuk sekali kemarin. Bos baruku menyuruhku membaca draft seorang penulis terkenal. Tentu saja kulebih memilih membaca draft itu daripada membaca surat yang kukira tagihan salah alamat. Apalagi rekan kerja baruku—yang wajahnya seperti Hugh Dancy muda— mengajak berdiskusi selama tiga jam tentang tulisan itu. Jadi... maaf sekali.
Chero, kalau boleh jujur... kutak menyangka Chero. Sungguh. Kuterpukau membaca surat darimu itu. Hahaha... ya ampun Chero, di surat itu kamu... Chero, memaki-maki hujan-senja-pelangi. Nyatanya kamu hapal racauanku Chero. KAMU HAPAL! Kalau hapal begitu kamu bukan benci namanya. ITU CINTA. CINTA Chero. Mengaku saja. Jadi... kamu mencintaiku dan kamu terlarut dengan hujan-senja-pelangi. Dan... setelah kita tak bermerah jambu kamu mungkin melupakanku tapi tidak dengan hujan-senja-pelangi. Hayoloh Chero. Sistem limbikmu sudah terserang. Hahaha.
Omong-omong Chero, kita sudah sepakat untuk tidak bermerah jambu. Mengapa kamu masih peduli pada kesehatan jiwaku?