Balasan Kaisha kepada Chero #1
Maret 24, 2016
Balasan Kaisha kepada Chero #1
Dear Chero Gahara Santrock
Pada mula surat ini kutulis tentu sewajarnya terima kasih kusuguhkan pada dirimu, Chero. Ini... seperti bukan Chero, seperti bukan lelaki yang kusiram kopi dua bulan tiga belas hari yang lalu. Terima kasih telah mengirimkan surat di zaman ini. Zaman penuh teknologi yang bahkan suara saja bisa kaukirim secepat cahaya. Aku begitu tak menyangka, seorang Chero yang ... sama sekali jauh dari melankolis itu menulis surat. Yah, meski kertas yang kamu pakai sangat tidak layak. Enggak modal, pakai kertas bekas undangan rapat RT, sudah begitu pakai amplop tagihan parkir apartement. Pelit sekali! Tetapi, sudahlah. Toh ini bukan surat cinta. Jadi tidak perlu pakai kertas berbunga-bunga segala. Sebab kita sudah tidak lagi bermerah jambu, ‘kan? Atau kamu masih bermerah jambu padaku? Huh?
Uhm. Maaf sekali kutidak bisa turun ke lantai tiga dari lantai dua puluh satu kemarin. Sebab suratmu baru kubaca pagi ini. Salah sendiri pakai amplop tagihan! Pandir! Lagi pula kusibuk sekali kemarin. Bos baruku menyuruhku membaca draft seorang penulis terkenal. Tentu saja kulebih memilih membaca draft itu daripada membaca surat yang kukira tagihan salah alamat. Apalagi rekan kerja baruku—yang wajahnya seperti Hugh Dancy muda— mengajak berdiskusi selama tiga jam tentang tulisan itu. Jadi... maaf sekali.
Chero, kalau boleh jujur... kutak menyangka Chero. Sungguh. Kuterpukau membaca surat darimu itu. Hahaha... ya ampun Chero, di surat itu kamu... Chero, memaki-maki hujan-senja-pelangi. Nyatanya kamu hapal racauanku Chero. KAMU HAPAL! Kalau hapal begitu kamu bukan benci namanya. ITU CINTA. CINTA Chero. Mengaku saja. Jadi... kamu mencintaiku dan kamu terlarut dengan hujan-senja-pelangi. Dan... setelah kita tak bermerah jambu kamu mungkin melupakanku tapi tidak dengan hujan-senja-pelangi. Hayoloh Chero. Sistem limbikmu sudah terserang. Hahaha.
Omong-omong Chero, kita sudah sepakat untuk tidak bermerah jambu. Mengapa kamu masih peduli pada kesehatan jiwaku?
Kenapa tidak urusi saja kesehatan jiwamu yang lebih terguncang? Bilang benci nyatanya di otakmu tiga kata dan racauanku terus mengudara. Halah. Sudahlah Chero. Kamu yang seharusnya menyudahi memikirkanku. Pakai bawa-bawa hujan-senja-pelangi. Pakai bawa-bawa bejibun kata di KBBI. Kalau di KBBI kata-katanya tidak bejibun atau cuma tiga kata namanya bukan kamus besar, Chero. Namanya catatan kecil.
Kuberitahu ya, Chero. Bagaimana keikhlasan itu adalah sebagaimana hujan menghunjam bumi. Bagaimana adil itu adalah sebagaimana hujan turun sama deras di rumah peyot dan di halaman istana dalam waktu bersamaan. Bagaimana rendah hati adalah sebagaimana hujan yang turun meski pernah melangit. Jadi... ikhlaskan kita yang jadi abu-abu dari merah jambu seperti hujan, Chero.
Kuberitahu lagi. Senja walau cuma sebentar tapi berkesan. Pertanda bahwa di akhir hari Tuhan menyuguhkan pemandangan manis sebelum gelap mencekam datang. Siapa yang tidak mau masa tuanya seperti senja, Chero? Indah, menawan, pergi perlahan namun berkesan.
Dan terakhir, mengenai pelangi. Pelangi itu indah Chero. Keindahan yang didapat setelah hujan deras dan petir berteriak. Artinya apa Chero? Setelah kesedihan akan ada kebahagiaan dan harapan.
Satu lagi Chero. Berhenti menganggapku terobsesi dengan hujan-senja-pelangi. Kalau kamu memang mau terobsesi dengan jepit jemuran, spidol, comberan, kerikil, silakan. Tidak usah menyuruhku. Bilang saja kamu punya maksud tersembunyi mendekatiku agar kita kembali merah jambu. Sebenarnya... kamu yang masih terobsesi padaku kan Chero? Sudahilah. Kini tak ada lagi merah jambu diantara kita. Jadi... kuulangi lagi. SU-DA-HI-LAH
Ah, sudahlah. Membaca suratmu dengan tulisan ‘salam sehangat kuah mi’ kujadi lapar. Kurasa lebih baik mengisi perut daripada menghabiskan energiku menulis surat panjang untukmu. Ingat ya Chero, SUDAHILAH.
Jadi... sekian.
Salam senikmat tempe goreng,
Kaisha Btari Z.
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!