Apa saya harus marah? (Opini tentang Lelaki Kerdus dan anak-anak)
Juli 01, 2016
Apa saya harus marah?
Jadi semua ini berawal dari saya yang membuka youtube baru saja. Tidak bertujuan, mata saya tertuju pada deretan apa yang sedang hangat disaksikan manusia-manusia Indonesia. Mata saya terhenti pada gambar anak perempuan yang masih kecil dengan tulisan Lelaki Kerdus. Dahi saya sudah berkerut duluan melihatnya. Anak kecil... nyanyi bawa-bawa cowok? Itu yang ada dipikiran saya sebelum pada akhirnya mengklik dan suara musik dangdut terdengar. Suara khas anak kecil mengalun di telinga, sayangnya liriknya menaikkan hal-hal yang bisa mengurangi pahala puasa. Saya geram. Tapi saya lanjutkan memutarnya sampai bagian tengah anak-anak bernyanyi lelaki bangsat, lelaki bangkrut, lelaki blablabla yang mengusik saya. Stop... cukup sampai di situ saya mendengar lagu berisi curahan hati anak yang bapaknya kawin lagi.
Saya tahu bahwa setiap manusia memiliki kebebasan berkarya. Saya paham bahwa seni adalah untuk meluapkan emosi, perasaan, imajinasi, mengungkap apa yang terjadi di masyarakat, atau mungkin ingin menyentil orang. Tetapi... kita tetap punya tanggung jawab moral untuk karya kita. Sekarang... apa pantas anak kecil bernyanyi seperti itu? Membicarakan cinta-cinta yang saya pun nggak yakin dia sudah paham. Apa pantas anak-anak kecil itu berkata bangs*t dan umpatan lain? Apa pantas seperti itu? Bagaimana kalau lagu itu viral dan anak-anak lain menyanyinya? Apa Ibuya, bapaknya, atau kakaknya nggak malu akan itu?
Apa ini semacam sarkas atau satire ya? Jadi... dibuatlah lagu dengan lirik seorang anak yang kecewa dengan ayahnya yang selingkuh, ibunya minta cerai, dan konon suka menggebuki ibunya -dan mungkin sambil berkata kasar- sebagai cerminan bahwa produk dari ayah yang berselingkuh, kasar, dan ibu yang lemah dan tak berdaya itu yang seperti itu. Kurang sopan. Ah, manis sekali. Maniiiiis sekali.
Saya tidak tahu apakah saya harus mengelus dada atau bagaimana. Yang jelas ini sama sekali tidak lucu. Otak saya yang suka kemana-mana ini bahkan sudah membayangkan acara dangdut di kampung, anggap saja pernikahan, lalu seorang anak kecil naik dan menyanyi lagu itu. Ya Tuhan... saya tidak tahu apakah orangtuanya akan malu atau justru tertawa-tawa saja?
Seorang anak adalah cerminan orangtua, begitu katanya. Saya percaya bahwa pendidikan pertama adalah dari keluarga. Pendidikan karakter, activity daily living, dan pengetahuan tentunya. Apa yang diberikan orangtua pada anaknya akan berpengaruh sepanjang hidupnya. Ambil contoh saja, seorang Ayah memutar lagu yang kita bahas ini, dan anaknya mendengar, sayangnya yang tercetak jelas di otaknya adalah kata bangsat. Sejak kecil ia sudah pandai memakai kata bangsat. Orangtua, Anda mau anak Anda ke warung dan bilang,"Heh bangsat, beli garam sama mie instan dua." Oke itu ilustrasi terlalu aneh, tetapi... ah. Jujur saya terlalu bingung mengungkap bagaimana kegeraman saya.
Jadi... apa saya harus marah? Saya pun tidak tahu apakah marah saya itu berguna.
Saya menulis ini tidak bermaksud menyerang anak yang menyanyi -bisa jadi dia pun sebenarnya tidak mengerti lagunya-, tidak juga untuk menyerang pencipta -bisa jadi dia khilaf-. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa berpikir ulanglah untuk menciptakan lagu untuk anak-anak. Filter mereka dalam menyaring mana yang baik dan mana yang salah itu masih renggang. Pun menggunakan anak-anak untuk menyanyikan lagu mengenai persoalan orang dewasa dengan bahasa yang kurang sopan pun tidaklah pantas. Saya harap para manusia-manusia yang cerdas bermusik itu lebih memaksimalkan otak mereka untuk berkarya yang baik-baik. Saya yakin mereka bisa.
Mungkin ini sentilan agar industri musik anak-anak dengan lagu khas anak-anak kembali berjaya seperti saya kecil dulu. Selamat berpuasa... hati-hati untuk yang mudik.
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!