Alita@First dan perbincangan tempo itu

Februari 22, 2014

Gue baru saja membuka buku Alita@First yang gue beli kemarin di sebuah lapak buku bekas ketika pikiran liar -oke,ini lebai- maksudnya pikiran bercabang melanglang buana mengangkasa di otak gue.

Gue sendiri waktu SMA pernah baca buku itu, minjem temen gue sebut saja namanya Yuni. Buku itu ditulis sama salah satu penulis favorit gue namanya Dewie Sekar.

Gue sendiri sebenernya benci dan sebel sama novel itu. Ralat, gue benci sama salah satu tokoh utama di novel itu - dan mungkin hanya gue yang benci sama dia-

Lantas apa yang membuat gue membeli buku itu selain karena bekas dan jadi lebih murah ? Gue juga gak tahu,mungkin gue ingin kembali merasakan membenci tokoh. Gue rasa poin plus di novel ini adalah si penulis berhasil membuat gue benci dengan Erwin -nama tokohnya,dan FYI itu nama Pakde gue - . Kita bisa dengan mudah jatuh cinta dengan tokoh di sebuah novel, tapi untuk benci gue rasa jarang. Tokoh novel lain yang gue benci adalah Cho Cang -

Baru memasuki bab awal ketika gue inget perbincangan gue,Septi dan pemilik buku itu,Yuni. Gue pengingat kejadian dengan cukup baik,tapi gue juga mudah melupakan kata-kata orang karena biasanya gue cuma menyerap intinya. Waktu itu, Septi bilang, novel itu bagus. Gue setuju dengan novel itu. Septi lalu melanjutkan dia nangis waktu baca itu karena sedih.Yuni sepakat dengan Septi kalo novel itu sedih. Sedang gue saat itu sepertinya kebingungan mencari cerita sedihnya dimana..

Gue gila gitu 2 orang itu bilang akhir cerita itu sad ending sedang gue puas dan happy membaca akhirnya?

Tidak, gue nggak gila dan teman gue nggak salah.  Gue dan kedua teman gue membaca dengan point of view yang beda atau cara berpikir ketika baca yang beda. Mungkin gue memakai logika melihat fakta kalo Erwin itu nakal , bukan gue ngomong teman gue nggak pakai logika. Tapi mungkin mereka memakai perasaan lebih banyak ketika baca.

Diawal cerita,ya dari awal gue udah setengah mampus benci dengan Erwin. Gimana enggak itu cowok suka mempermainkan wanita -kalo nggak salah karena gue belum baca lagi - dan Alita yang udah diperingatkan sama abangnya si Yusa Dermaga sepertinya bebal gitu. Lalu Erwin yang suka gonta-ganti pasangan itu kena HIV. Lalu singkatnya Erwin meninggal. Dan gue senang! Bukan, gue bukan senang mendengar orang mati, ya,walau gue benci si tokoh itu sih. Tapi menurut gue itu ending yang bagus. Ending terbaik untuk Alita.

Kenapa gitu? karena waktu baca itu -kelas 2 SMA- gue berpendapat bahwa jangan sampai Alita sama Erwin,dia bukan lelaki baik-baik meski mungkin dia baik hati dan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin menerpa mereka -halah-. Jadi ketika Erwin meninggal, gue menyelesaikan membaca novel itu dengan senang dan puas. Menganggap itu akhir bahagia

Lalu bagaimana dengan POV teman-teman gue? Gue rasa mereka membaca dengan rasa -ih gue ngomong apaan sih-. Maksudnya tuh, mereka mungkin menempatkan diri sebagai Alita ketika membaca -bukan sebagai orang lain kayak gue meski novel itu pake kata ganti pertama -. Mereka mungkin menyelami Alita jatuh cinta,patah hati dan kesedihan Alita hingga mereka berkata bahwa novel itu sad ending
Jadi,sebuah novel itu sad ending atau happy ending tergantung sudut pandang kita.




You Might Also Like

0 comments

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram