Surat Chero #1
Kepada Kaisha Btari Zechmeister
Jadi kurasa
sekarang sudah waktunya kita hentikan semua perdebatan tempo dulu. Kalau saja
masih ada ingatan itu di otakmu. Sebab aku tidak yakin, gebrakan dan siraman
kopimu ke kemejaku masih tercetak di memorimu.
Begini. Aku tahu,
bahwa hujan, senja, dan pelangi-mu itu adalah hal yang bisa didramatisasi
seenakmu, sesukamu, sekacanganmu, atau seintelektual yang kamu bisa. Aku tahu
bahwa hujan bagimu syahdu, meresonansi ingatan, dan entah apa sebab aku sudah
lupa semua itu.
Kaisha, aku
hanya ingin kamu menoleh sesekali. Kepada trotoar, semangka, tiang listrik,
kapur tulis, bola, apapun itu terkecuali hujan-senja-pelangi. Bejibun Kaisha kata yang ada di KBBI. Begitu banyak hal dan
kata yang bisa diurai selain hujan-senja-pelangi milikmu itu! Sebab aku takut
obsesimu itu suatu hari menimbulkan halusinasi, delusi, apalah itu. Aku hanya
pernah membaca sekali di buku psikologi.
Kaisha. Menarilah
bersama paku payung, wortel, air comberan, dan apapun selain air hujan. Bosan.
Bosan aku mendengar ucapanmu. Kamu selalu berkata,”Aku menari. Menari aku. Hujan dan
aku. Aku dan hujan menari,” bedebah Kaisha! Aku hapal di luar kepala!
Kaisha. Berhentilah berkata,”Jingga-jingga-jingga.
Sewarna senja. Merona menghambur cahaya,”
keparat Kaisha! Aku mematri nyanyianmu. Enyah! Enyah!
Dan Kaisha. Berhenti mengucap,”Pelangi tujuh warna. Hidupku
ceria. Hujan deras tiba tapi berujung
warna-warni bahagia.” Duh Kaisha! Otakku dengan
bodoh mengingatnya!
Maka Kaisha, sebelum otakku terus dijejali obsesimu pada hujan-senja-pelangi,
berhentilah. Mari berhenti Kaisha, jika tidak kurangi. Sebab dunia masih ada
matahari, kerikil, spidol, jepit jemuran, dan lainnya.
Bagaimana Kaisha? Kutunggu hari ini di lantai tiga
seperti biasa. Tanpa hujan-senja-pelangi.
Salam sehangat kuah mi,
Chero Che Santrock