Gadis Berpayung Hitam, Lelaki Berkaus Merah, dan Si Topi Biru
Desember 12, 2015
Gadis itu menggenggam payung hitamnya kuat. Angin yang mengembus menusuk-nusuk pori-pori pipinya yang kemerahan. Rasanya dingin, ia menggigil. Lalu perlahan ia berjalan, menyusuri trotoar yang mulai ramai. Matanya menatap lampu-lampu jalanan, memburam, berpendar, sebab air mata menyesak ingin keluar. Bibirnya terkunci, rapat, seperti hatinya kini. Dua puluh langkah panjang-panjang sudah ia jalani, ingin rasanya menoleh ke belakang. Gadis itu ingin memastikan apakah lelaki itu mengejarnya, pergi, atau tetap di tempat. Gadis itu memutuskan menghentikan lajunya. Menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya. Otaknya beradu, lalu mengingat kejadian dua hari lalu.
Dua hari lalu di sebuah kedai teh, 300 meter dari rumah Si Gadis. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, di meja delapan.
"Maaf," bisik si gadis lemah. Matanya hanya menekuri teh hijau tanpa gula yang pahit sepahit hatinya. Lelaki berkaus merah itu tidak menjawab, ia merapatkan giginya, meremas jarinya, dan menatap tiga potong muffin lezat yang tak tersentuh sejak empat puluh enam menit yang lalu. Sejak gadis itu mengaku suatu hal yang membuat lelaki berkaus merah membara.
"Maaf. Sungguh. Aku... aku.... Kamu tahu kan bagaimana kita waktu itu."
"Aku tidak tahu," potong Lelaki Berkaus Merah.
"Kita sedang tidak baik-baik saja..." ujar Si Gadis, suaranya bergetar.
"Lantas kalau tidak baik-baik saja kamu bisa dengan mudahnya?"
" Kamu pikir siapa yang memulai lebih dulu hah?" sahut Si Gadis pelan, ia mulai naik pitam. Lalu si Lelaki Berkaus Merah menatap Si Gadis, menghunjam, tatapan penuh kebencian dalam.
Lelaki itu mengembuskan napas dengan berat. Hingga ia berkata,"Kita akhiri semua ini. Mungkin aku sudah tidak berarti."
Gadis itu masih diam. Tangannya meremas-remas kemeja flanelnya. "Jangan," ucapnya sambil menatap Lelaki Berkaus Merah penuh harap.
"Ini tidak bisa dipaksakan. Pergilah dengan lelaki barumu," ucap Lelaki Berkaus Merah sebelum beranjak dari kursi dan meninggalkan Si Gadis.
Si gadis memutuskan berjalan, meski pelan dengan pandangan kosong. Percakapan tujuh menit yang singkat itu kembali berdendang. Percakapan di sebuah kedai roti bakar di pinggir jalan. Jauh, jauh dari halte bus terdekat.
"Jadi... kalian berakhir?" tanya Si Topi Biru . Si Gadis mengangguk. Ia menggigit sepotong roti bakar saus kacang perlahan. Dadanya berdegung kencang bersama dengan perut yang mulas dan mual. Selalu seperti ini tiap ia berada di dekat Si Topi Biru. Rasa yang sama dengan yang ia rasakan bersama Lelaki Berkaus Merah, tiga tahun lalu.
"Bagaimana dengan kita?"
"Kita? Apanya?" Si Gadis mengerutkan dahinya. Ia terus menggigiti rotinya, menutupi kegugupannya.
"Hubungan kita? Kamu... Aku... Yah, itu."
"Aku tidak tahu. Maaf, aku tidak tahu."
"Aku tahu kamu x padaku," ujar Si Topi Biru. Si Gadis kembali mengerutkan dahi.
"X ?"
"Terlalu geli mengatakan empat huruf yang diawali 'l' dan 'e'," ucap Si Topi Biru sebelum terkekeh. Si Gadis diam, tetapi pikirannya ricuh. Ia 'x' pada Si Topi Biru, namun begitu banyak hal lain selain 'x' yang ia pikirkan. Banyak hal, sangat banyak. Tentang berbagai kemungkinan buruk yang ia takutkan.
"Aku tidak tahu. Sungguh. Aku ingin pulang saja," suara si Gadis pun keluar setelah sekian lama hening menyelimuti mereka dan gerimis mulai turun.
"Ayo, sebelum hujan datang. Kita bisa bicarakan itu lain kali. Kita sudah berjanji kita akan terus berteman bukan?"
Gadis itu menggeleng. "Aku pulang sendiri. Sebaiknya kita tidak usah bertemu lagi. Ya, begitu," ucap Si Gadis. Lalu ia berdiri dan mengambil payung hitam, berjalan keluar kedai dan mengembangkan payungnya. Gadis itu menipu dirinya. Oh tidak, ia hanya berusaha realistis dan menggunakan logikanya.
Pada akhirnya gadis itu berbalik, dan Si Topi Biru tidak menampakkan dirinya. Bersama dada yang bergemuruh gadis itu berjalan dengan cepat menuju halte. Menghiraukan keributan kecil di otaknya. Ia duduk di halte bersama segerombol remaja yang berisik mengusik telinganya.
Beberapa tahun kemudian....
Gadis itu tampak cerah, bersama pipinya yang putih kemerah-merahan. Ia berlari menghampiri sesosok lelaki berkemeja abu-abu. Gadis itu tertawa, lalu menggandeng lengan lelaki berkemeja abu-abu. Tidak ada yang tahu pasti siapa lelaki itu. Apakah ia Lelaki Berkaus Merah, Si Topi Biru, ataukah sosok baru yang datang mengisi hatinya. Gadis itu sudah menemukan rumahnya. Sekarang.
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!