But 'No' still means 'No'! -cerpen-

Juni 24, 2014



 But 'No' still means 'No'!


“Tidak. Saya tidak mau Andina menikah dengan lelaki seperti kamu,” sahut lelaki berjambang di depanku. Aku tertunduk, hatiku perih mendengarnya. Benar jika ada yang bilang lidah lebih tajam dari samurai. Kata-katanya menghujam dan mencabik hingga ulu hati.
“Kenapa Om?” kuberanikan diri bertanya. Sejujurnya aku tidak menyiapkan penolakan ini. Mungkin aku terlalu percaya diri, tapi bukankah kita harus optimis? Kalau kau berpikir aku sejenis lelaki bertampang anak band metal yang urakan, kuberitahu kau itu salah. Aku adalah lelaki yang selalu tampil rapi meski bukan berarti aku selalu memasukkan kemeja dan kaosku ke dalam celana.
Kau berpikir aku anak dari keluarga miskin yang melamar anak orang kaya? Itu juga salah. Aku bukanlah pemimpin perusahaan, anak menteri, atau putra kerajaan antah berantah. Hanya seorang dokter hewan yang punya klinik khusus kucing dan toko perlengkapannya. Tapi setidaknya itu cukup kan?
Kau pikir aku tidak sopan? Kalau aku tidak sopan sudah kupacari Andina dan menggantungnya dengan terus memberi janji manis tanpa kunikahi. Dan jika kau pikir aku jelek, kurasa predikat kakak kelas tertampan selama di SMA sanggup mematahkannya.
“Tidak perlu saja jelaskan. Kamu hanya perlu mengerti bahwa saya tidak akan memberi restu sampai kamu mati. Camkan itu!” samurai di bibirnya kembali menghunus hatiku.
Lalu ia pergi begitu saja tanpa kata-kata tambahan. Kulihat Andina menggigit bibirnya. Tangisnya tertahan dan ia terus meremas kaosnya.
“Aku pulang,” sahutku pada akhirnya. Andina mengangguk, lalu mengantarku sampai ke pintu depan. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya, kalaupun ada hanyalah jawaban salamku yang nyaris tak terdengar.  
Aku menyetir Koumi, VW kodokku dengan serampangan. Kuhidupkan radio, suara penyiar bercuap-cuap tidak karuan. Hingga sebuah lagu diputar dan membuatku terdiam.
Can I have your daughter for the rest of my life?
Say yes, say yes 'cause I need to know
You say I'll never get your blessing 'til the day I die
Tough luck, my friend, but the answer is 'No'
          Lirik lagu macam apa ini? Begitu menyindirku atau sebenarnya nasibku sama seperti dengan kisah di lagu ini?  Tapi sumpah demi penghuni jagad raya, Ayah Andina adalah lelaki terkejam kedua setelah mantan suami Bunda yang tak kutahu bagaimana wajahnya.
****

“Ayah Andina menolakku mentah-mentah bunda,” jawabku ketika bunda bertanya mengapa wajahku murung di malam Minggu. “Bahkan dia berkata tidak akan merestui sampai aku mati,” tambahku.
“Masih banyak perempuan lain Alde,” ujar bunda sambil mengelus pundakku. Tidak, aku tidak mau perempuan lain. Kugelengkan kepalaku.
“Andina mencintai Alde Bunda. Aku tidak mau tahu, pokoknya Andina harus menikah denganku,” bunda kembali menepuk-nepuk punggungku. Aku perlu menenangkan diri, tidur mungkin solusinya.
“Alde ke kamar ya,”pamitku.

Sekarang lagu bernasib sama denganku itu terus kuputar setelah sampai kamar aku mengunduh lagu itu.  Apa aku harus mengajak Andina lari dan menikah? Pindah galaksi seperti saran lagu ini tidak masuk akal. Ayah macam apa ayah Andina itu? Apa ia tidak ingin anak perempuannya bahagia?
Otakku berkelana, mengingat semua tentang Andina. Gadis bermata bulat penuh binar itu adalah adik kelasku saat SMA. Aku adalah anggota OSIS yang menjadi pembimbingnya saat MOS dulu. Aku kelas 12 ketika Andina tercatat sebagai siswa baru. Kami kuliah di universitas yang sama, meski jurusan kami berbeda. Andina memilih sastra, aku tahu ia suka membaca.
Kami dekat, jenis kedekatan tanpa ikatan jelas. Awalnya aku menganggapnya adik. Ya hanya sebatas itu, lalu batas-batas itu dirobohkan dengan perasaan yang tidak jelas. Mungkin cinta. Oh tidak, bukan mungkin tapi memang cinta.
“Kamu seperti ayah, begitu melindungiku,” katanya suatu hari. Aku tersenyum, kau tentu tahu dengan ungkapan ‘cinta pertama seorang anak adalah ayahnya’. Jika ia menganggap aku seperti ayahnya, bukankah berarti .... ya kau taulah maksudku.
“Jadi ayahmu baik seperti aku?” komentarku saat itu.
“Iya. Dia baik,”

Huh, aku mendengus. Kenapa kamu memiripkan aku dengan lelaki kejam itu? Kau tahu dia kejam sekali padaku Andina. Apa dia pikir aku tidak punya hati dan perasaan ditolak mentah-mentah begitu?
“Ayah pasti menyukaimu,” sahutmu seminggu yang lalu.
“Yakin?” tanyaku memastikan.
“Tentu. Kamu cukup tampan, baik, sopan dan tentu kamu cukup mapan untuk menghidupiku,” jawabmu.
Dan jawabanmu itu membuatku yakin ayahmu akan menerima semua ini,Andina. Tapi bedebahlah itu semua!
***

Aku berpikir mungkin aku harus menyerah saja. Kupikir ayah Andina adalah lelaki dengan keteguhan hati yang tak tergoyahkan. Tapi aku mencintai Andina, bukankah cinta harus diperjuangkan?
“Kamu tahu es batu Alde? Dia keras, tapi lama-lama bisa mencair. Aku rasa hati ayah begitu,” kata Andina di telpon tadi pagi. Maka aku memberanikan diri datang ke rumahnya pagi ini. Gadis itu bilang ayahnya suka bermain catur, aku cukup menguasai permainan itu.
“Pagi om,” sapaku ketika melihat laki-laki kejam itu membuka pintu. Wajahnya mengeras dengan mata terpincing. Ia berdehem.
“Mau apa kamu kesini?” hardiknya. Kukuatkan hati untuk tidak emosi. Kusunggingkan senyum termanisku, menatap matanya yang kata Andina seperti mataku. Mata menyala-nyala begitu mirip denganku?
“Main catur Om. Andina bilang...,”
“Saya enggak sudi main catur sama kamu. Sudah saya bilang kemarin kalau saya tidak akan pernah merestui kamu dan Andina. Tuli?” potongnya ketus. Aku tersentak mendengarnya.
Why you gotta be so rude? Don't you know I'm human too?
Lirik lagu sialan itu tiba-tiba berputar di kepala. Aku memandanginya penuh harapan. Apa aku begitu hina dan tidak pantas?
“Kenapa masih disini. Pergi!” sahutnya penuh emosi, dilanjutkan bantingan pintu. Aku berbalik, tapi usahaku tak sampai disini.

Hari ini aku kembali mengetuk pintu jati itu, tanganku menenteng sate kambing. Andina bilang lelaki kejam itu tergila-gila dengan makanan itu, gadis itu menunjukkan alamat sate kambing langganan sang ayah tadi malam.
“Mau ngapain lagi?” ketusnya kembali menampar telingaku. Apa? telinga tertampar?
“Saya... saya mau mengantarkan ini,” kusodorkan plastik putih itu. Kulihat dahinya berkerut dan matanya lagi-lagi memincing. Diraihnya plastik itu dan diangkatnya tinggi-tinggi. Aku menahan napas, bayangan sate itu dilempar, ditumpahkan ke wajahku atau dijatuhkan membayangiku.
“Bawa ini pulang. Kamu mau membunuh saya dengan ini?” disodorkannya bungkusan itu ke wajahku, tangannya mengisyaratkan untuk mengambilnya. Kuraih bungkusan itu.
“Tega-teganya kamu mau membunuh saya dengan makanan ini. Kamu picik sekali! Jadi kalau saya makan sate ini,stroke, lalu mati. Dan setelah itu kamu menikah dengan Andina? Cih,” dan seperti catur kemarin, ia membanting pintunya. Dosa apa hambaMu ini, sampai lelaki ini jahat sekali...
***
Sudah sebulan setiap hari kukunjungi rumah Andina. Setiap hari kuketuk pintu jati itu, menghadapi beruang liar itu dan berharap hatinya terketuk untuk menerimaku. Beberapa kali Ibu Andina yang membukakan pintu, wanita ramah itu menyambutku. Kami mengobrol dengan lancar hingga ayah Andina datang dan mengusirku.
“Kamu tuli ya, sudah berapa kali saya bilang tidak ada restu untuk kamu!”
“Jangan sogok saya dengan raket tenis ini!”
“Sudah saya peringatkan tidak mendekati Andina, kamu mendekati istri saya! Lelaki macam apa kamu?”
“Keluar atau saya lempar sendal!”
Dan kata-kata kasar yang tentu tidak akan kujelaskan seperti apa. Aku hampir menyerah. Diam-diam kuajak Andina bertemu, di kedai kopi langganan kami.
“Maaf menunggu. Ada masalah dengan turis yang menjadi klienku hari ini. Mereka tidak mau pulang padahal jam kerjaku sudah habis,” keluhnya. Andina memang bekerja menjadi pemandu wisata,khususnya bule-bule Jerman.
Lalu keheningan menyergap. Aku menyesap gelas ketigaku dan berusaha lamat-lamat menyesapnya. Andina sendiri hanya memainkan cangkir espresso miliknya.
“Andina, aku hanya punya dua pilihan untuk kita. Menikahi tanpa restu ayahmu, ya nikah lari begitu. Atau lupakan aku. Aku janji melupakanmu,” akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibirku. Andina masih terdiam, dan terus memutar-mutar cangkirnya.
“Kamu menyuruhku memilih ayah atau kamu Aldebara?” tanyanya kemudian.
“Mungkin, kalau kamu menganggapnya begitu,”
“Aku tidak bisa memilih Alde. Kalian laki-laki yang aku cintai,” sahut Andina pelan dan matanya menatapku dalam. Ia menghela napasnya dengan berat. Aku tahu ini sulit, tidak ada yang lebih sakit dalam cinta yang bertepuk tangan selain tidak ada restu orangtua.
“Bagaimana kalau...” Andina kembali bersuara dan menggantungnya. “Bagaimana kalau Sabtu besok kamu ke rumahku dengan bundamu. Mungkin ayah akan luluh jika bundamu yang meminta langsung,” ia mengusulkan.
“Kalau ayah tetap tidak menyetujuinya, aku... Tidak, ayah pasti luluh dengan bundamu,” ucap Andina yakin , lalu diteguknya kopi itu hingga habis.
“Aku mau. Tapi Andina, berjanjilah untuk melupakanku kalau ayahmu tetap....”
“Tidak. Aku tidak akan berjanji melupakanmu. Asal kamu tahu, kamu cinta pertamaku. Sejak kamu membentakku karena salah memakai kaos kaki,” Apa? Ia suka denganku karena aku membentaknya?
***

7 tahun yang lalu

“Buta warna?” hardikku pada gadis yang berdiri di depanku. Tidak peduli dengan alis tebal melengkung sempurna yang bertaut atau senyumnya yang ia suguhkan padaku tadi pagi. Aku kesal karena ia tidak mematuhi aturan. Sudah dijelaskan panjang lebar kali tinggi kemarin bahwa kelompok C harus memakai warna merah sebagai kaos kaki, dan sekarang gadis ini memakai kaos kaki hijau. Bisa kumaafkan jika ia memakai merah muda, karena setidaknya melencengnya tidak terlalu jauh. Lalu ini? Hijau!
“Tidak,” jawabnya singkat. Matanya lantang menantang. Berani sekali dia! Egoku tersulut, perempuan macam apa ini?
“Kaos kakimu warna apa?” bentakku.
“Hijau,”
“Perintahku kemarin warna?”
“Merah,” jawabnya enteng.
“Lari memutar lapangan 7 kali, dan sit up 17 kali setelahnya,” titahku. Dan ia bergeming.
“Kamu tahu kenapa aku memintamu berlari?” tanyaku penuh emosi. Ia menggeleng.
“Karena kamu salah! Lari sekarang atau kutambah,” gadis itu segera menuju lapangan, aku mengikutinya dari belakang.
Ia berlari, aku tahu tubuhnya lemah, tapi ia terus berlari.  Dan putaran ke-5 ia ambruk. Aku mendekatinya, napasnya tersengal-sengal. Ia masih tengkurap di lapangan.
“Duduk,” sahutku. Dengan payah ia bangun dan dengan terpaksa kubantu ia bangun dan duduk. Wajahnya memerah dengan keringat deras mengucur tubuhnya.
“Aku tidak mau membunuhmu. Ayo ke kelas dan minum bekalmu,”
“Terimakasih Kak Aldebara,” ujarnya sambil tersenyum. Jadi dia senang disuruh lari?
***
“Tapi kamu janji sama bunda kalau ayahnya menolak kamu akan cari perempuan lain ya,” pesan bunda ketika ia masuk ke dalam mobil. Aku mengiyakan. Sudah berulang kali bunda mengatakannya.
Bunda bukan enggak suka sama Andina. Tapi bunda kasian sama kamu kalau terus begini,” itu alasan bunda ketika kutanya kenapa tidak mau memperjuangkan cinta kami. Maka aku mencoba pasrah dengan tanggapan ayah Andina nanti. Bunda selalu mengingatkan bahwa cinta tak harus memiliki. Cih, maksudnya cinta bunda ke ayah? Bunda tidak pernah menunjukkan foto ayahku,tapi dia bilang wajah kami mirip. Kurasa itu akal-akalan bunda saja. Bunda bilang ia mencintai ayah meski ayah menceraikan bunda dan pergi entah kemana. Bunda menikah siri dengan ayah dulu, dan begitu ayah bilang cerai maka selesailah semua. Begitu kata bunda.
Kami akhirnya sampai di rumah bergaya mediteranian itu. Kuparkir mobil dengan rapi lalu menggandeng tangan bunda.
“Tanganmu dingin Al,” sahut bunda ketika aku menggenggam tangannya. Andai bunda tahu sebuah organ bernama jantung ini terus meledak-ledak di tubuhku, darahku berdesir, dan aku takut. Tidak, aku harus berani. Tapi aku takut dengan kenyataan ini.
Kuketuk pintu itu dengan gemetar. Entah sudah berapa kali kuketuk pintu itu dan mendapati cacian dan hardikan. Tak lama pintu terbuka, Ibu Andina.
“Halo Alde. Ini Ibumu?” sahutnya sambil tersenyum. Kulihat bunda tersenyum dan menerima ajakan salaman Ibunya Andina.
“Saya Dewi, ibunya Andin,” sahut perempuan berambut keriting.
“Kinanti. Bundanya Aldebara,” balas bunda. Lalu Tante Dewi menyilakan kami duduk. Andina keluar dari kamarnya bersama Alkana,Alkena dan Alkuna. Ya, mereka bertiga adik kembar dari Andina.
Dan perbincangan ibu-ibu itu mengalir, resep kue terbaru hingga berita artis yang gantung diri karena putus cinta. Lalu masuklah obrolan mereka ke topik utama.
“Saya sih setuju aja Jeng Andin sama Alde. Saya suka kok sama Alde, anaknya sopan, baik. Ngingetin sama ayahnya Andin muda,” ujar Tante Dewi ketika bunda mengungkapkan bahwa aku ingin menikahi Andin. Aku tersenyum mendengarnya, senang Ibu Andina merestui kami. Tapi apa dia bilang? Aku seperti Om Tama muda? Tidak mau!
Lalu terdengar suara ketukan pintu. “Sebentar ya, mungkin ayahnya Andin,” Tante Dewi berdiri dan membuka pintu. Kutengok ke arah pintu masuk dan benar, Om Tama yang datang. Suhu tubuhku nampaknya kembali naik, dan jantungku tak bisa diam, terus berlonjak-lonjak.
“Ngapain kamu kesini. Sudah saya bilang kalau kamu tidak akan saya restui menikah dengan anak saya,” ayah terkejam itu kembali mengeluarkan kalimat basi itu.
“Saya membawa ibu saya,” potongku dengan berani.  Aku berdiri dan Tante Dewi menggiring suaminya ke arah kami.  Sekarang mereka tepat di depan kami. Kulihat bunda terdiam dan memperhatikan Om Tama tanpa berkedip.
“Tama,” ucap bunda pelan.
“Kinanti,” balas Om Tama pelan. Aku menatap keduanya bergantian. Kulihat Tante Dewi dan Andina dengan wajah kebingungan. Ada apa ini? Kenapa mereka hanya saling tatap dan diam
“Ayah kenal bundanya Tama?” tanya Andin memecah keheningan.
“Ayo Alde, kita pulang. Lelaki ini benar, kamu tidak boleh menikahi Andina,” dengan sekali sentuhan bunda menarik tanganku.
“Bunda, bunda kenapa?”
“Ayo pulang Aldebara! “ bentak bunda. Hatiku mencelos. Bunda tidak pernah membentakku. Ada yang salah dengan semua ini. Pasti.
“Dewi,Andin,Tama dan kalian bertiga kami pamit. Assalamualaikum,” pamit bunda sebelum kembali menarik atau lebih tepatnya menyeretku keluar.
“Ayah sebenarnya ada apa?” terdengar suara Andina. Tapi aku tidak mendengar lagi percakapan mereka, bunda terus menarikku. Maka aku tak ubahnya anak TK yang digeret maminya untuk menjauh dari mobil-mobilan yang diidamkan. Bunda membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi.
“Kenapa sih bunda?” tanyaku. Perempuan yang sudi mengandungku itu hanya terdiam.
“Kalau bunda memang enggak suka sama Andina ya sudah. Tidak dengan begini caranya. Kejadian tadi memalukan! Aku tidak suka digeret-geret begitu,” sahutku kesal. Menumpahkan kekesalan pada bunda. Ia tetap membisu dan terus menyetir. Kecepatan laju mobil makin kencang dan tidak terkendali. Bunda buka Scumacher kan?
“Bunda hati-hati! Aku enggak mau mati sekarang,” teriakku. Silakan ejek aku lelaki banci karena takut dengan kecepatan yang bunda ambil. Aku memang beberapa kali melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tapi aku tidak ingin bunda celaka. Bunda mengurangi kecepatannya dan tetap diam sampai mobil terparkir di garasi.
“Bunda,” panggilku. Tapi ia tak menggubrisku. Dibukanya pintu rumah dengan cepat lalu berlari ke kamarnya.
Brak.. pintu itu ia banting sekuat singa membanting keledai.
“Bunda... ada apa sih?” kuketuk pintu itu terus-menerus.
“Okey, aku enggak akan menikahi Andina. Toh Om Tama dan Bunda ga ada yang merestui,” sahutku lalu pergi ke kamar. Menenanggkan pikiran.

***
Hari Minggu dan tak ada alasan untuk bangun pagi. Molly kucingku sudah menggeliat mesra, menjilati tanganku. Kenapa Molly menjilatiku sih? Dia punya suami kan? Ya, kucingku itu punya suami seekor kucing persia. Ed namanya.
Aku sarapan sendiri. Tidak benar-benar sarapan karena jam sebelas siang mungkin sebenarnya waktu makan siang. Kutonton berita tentang kilasan-kilasan pertandingan kemarin. Aku tersenyum menyaksikan berita tentang Jerman, idolaku di piala dunia kali ini,kemarin dan seterusnya. Haha, seperti gombalan ke pacar saja.
“Kamu suka Jerman kan Alde?” tiba-tiba suara bunda terdengar. Aku menoleh, mendapati bunda duduk di sofa membawa kotak berwarna merah.
“Ayahmu juga suka Jerman. Ini foto ayahmu kalau mau lihat,” bunda menyodorkan kotak itu. Sudah kubilang, bunda tidak pernah memperlihatkan lelaki yang mendonorkan 23 kromosomnya padaku itu.
Kubuka kotak itu. Ada banyak benda disana, surat-surat cinta,tiket bioskop, dan beberapa lembar foto.
“Siapa nama lengkapmu Alde?” celetuk Bunda
“Aldebara Rajendra Tratama,” jawabku sambil mengambil tumpukan foto itu.
“Nama Andina?”
“Andina Prameswari Ritama,” kataku lagi. Tidak mengerti apa yang bunda katakan. Kuamati foto-foto itu, foto bunda dengan lelaki yang bisa jadi adalah ayahku. Melihatnya membuatku seperti melihat wajahku versi manusia zaman dulu. Tidak terlalu mirip memang, tapi aku seperti pernah lihat.
“Tratama adalah singkatan dari putra Tama, nama ayahmu. Dan bunda yakin Ritama berarti putri Tama,” bunda kembali bicara sendiri. Ya Tuhan,aku bodoh sekali. Aku tidak mengerti dengan yang bunda ucapkan.
“Jadi sekarang kamu mengerti kenapa Om Tama menolak keras kalian menikah?” tanya bunda. Aku membisu dan otakku terus bekerja.
“Dia adikmu,” bunda menjawab sendiri. Hatiku kembali sakit. Ini lebih menyelekit dibanding penolakan pertama Om Tama.  Aku ingat perbincangan dengannya ketika kami kuliah dulu.

" Alde tahu tidak? Alde mirip ayahku. Kadang aku pikir matamu seperti matanya.Senyummu,cara bicaramu. Ah, aku terlalu rindu dia"
"Aku nyaman dekat kamu, Alde. Seperti dilindungi,seperti yang ayah lakukan,"

Surakarta, 24 Juni 2014
0;02
 Terinspirasi terlalu banyak dengerin Rude- dari Magic. Dan terinspirasi obrolan mama dan papa tentang temannya dan imajinasi mereka berdua.  Rada aneh kayaknya, tapi sudahlah namanya belajar.

You Might Also Like

0 comments

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram