Apa Hidup Harus Diakhiri Sendiri ? #FotoBercerita
Februari 27, 2015
#FotoBercerita
adalah menu baru di blog ini. Saya akan menuangkan imajinasi,pikiran, dan
saudara-saudaranya dari foto yang saya ambil atau temukan di website lain ke
dalam bentuk tulisan.
foto diambil 13/11/2010 di
Pelabuhan Bakauheni ( manusia yang loncat itu tidak bunuh diri, hanya
mempertontonkan aksi memungut koin nantinya)
|
Apa Hidup Harus Diakhiri Sendiri ?
Jika saya
bertanya padamu, apakah sebaiknya saya mengakhiri hidup saya saja, mungkinkah
kamu akan berkata ya? Orang-orang seperti kamu yang hidup dalam keluarga
bahagia, hidup berkecukupan, dan selalu dikelilingi orang baik mungkin berkata
,"Jangan'!" Saya tahu sebab saya sudah pernah bertanya. Saya tahu sebab teman
saya, Tono namanya, ia malah menceramahi saya panjang lebar tentang penting
hidup, pentingnya menjadi khalifah di bumi sebab Tuhan sudah menugaskan. Saya
hanya terdiam, menyangkal Tono sama saja menambah jumlah waktu ceramahnya yang
gratis itu.
Lalu jika
saya bertanya pada kamu yang hidup menderita, akankah kamu menjawab 'jangan'
seperti Tono ? Atau kamu malah berkata,"Ide bagus, mari akhiri hidup kita
bersama!". Saya belum pernah menanyakannya.
Oh ya sebelumnya nama saya Mian.. Hanya Mian tanpa
embel-embel Frederick,George,atau Steve. Sebelum kamu mengatakan yang
tidak-tidak tentang saya, bolehkah saya bercerita sedikit tentang hidup saya ?
Hari ini saya ulang tahun, kalau tidak salah ulang tahun yang ke-20, sebentar
saya cek dulu KTP saya. Hahaha, ternyata hari ini ulangtahun saya ke-23. Saya
sendiri sering lupa tahun lahir saya, orang-orang seperti saya tidak terlalu
memperdulikan ulang tahun dan semacamnya. Itu hanya sebagian dari omong kosong
yang diciptakan para orang kaya untuk membahagiakan diri mereka dan tentu saja
menghabiskan uang.
Saya lahir di tepi pantai di Ketapang, sebuah daerah
yang tidak jauh dari Pelabuhan Bakauheni. Ayah saya nelayan dan Ibu saya
bekerja di rumah Pak Parmin, Ibu mengurusi rumput-rumput laut yang ditanam
lelaki gendut itu. Masa kecil saya bahagia. Yang saya sebut masa kecil adalah
bayi hingga 6 tahun, sebab setelah itu bahagia hanyalah kata yang ada di KBBI,
bukan kamus kehidupan saya. Saya bisa menerbangkan layangan di pinggir pantai,
Ikut Ayah menangkap ikan dengan perahunya ketika libur sekolah, mengejar
kepiting-kepiting lucu, atau berenang, keterampilan yang harus dimiliki
anak-anak yang hidup di pinggir pantai. Sebab kamu tidak akan ditemani siapapun
kalau kamu tak bisa berenang, permainan kami kebanyakan di air.
Petaka itu tiba ketika Ayah hilang. Seperti biasa,
Ayah pamit pada saya dan saudara-saudari saya menjelang magrib. Namun Ayah tak
kunjungi kembali. Tiap malam sehabis mengaji di mushola, saya tak pernah
bermain dengan yang lainnya. Saya mendadak menjadi Mian yang selalu berdoa Ayah
masih hidup. Hingga sepuluh hari kemudian, Wak Uji dan Kang Emil menemukan
patahan perahu Ayah, sepotong papan berwarna merah dengan nama Mian yang di cat
putih. Saya menangis ketika itu, menjerit-jerit, memeluk papan itu dengan erat.
Semua berkata ,"Sabar ya Mian,". Mereka berkata begitu mudah, seakan
berkata,"Selamat Ulang tahun Mian,". Hati saya runtuh kala itu. Sampai
sekarang, saya selalu merindukan Ayah dan nyanyian karangannya sendiri.
Akulah si Pelaut Pemberani
Penangkap ikan di lautan
Tenggiri,tuna, tongkol, dan simba
Masuk dalam jaring-jaringku
Akulah Si Pelaut pemberani
Tak takut badai, tak takut ombak
Sebab kerjaku untuk hidup orang banyak
Yang jelas, hidup kami yang awalnya sederhana berubah
menjadi merana dan sengsara semenjak Ayah tak ada. Kakakku Mina yang saat itu kelas 1 SMA putus sekolah, ia pun pergi
ke Jakarta.Kak Mina menjadi pembantu rumah tangga di sana. Saya yang masih SD
tetap bersekolah, hanya dua adik kembar saya, Amin dan Iman terpaksa keluar dari
taman kanak-kanak. Ibu tidak sanggup membiayai kami. Saya berubah menjadi anak
yang pendiam kala itu. Saya mencari berbagai pekerjaan untuk bisa membantu itu.
Saya yang sekecil itu dipaksa dewasa, sebab sayalah anak lelaki pertama. Ibu tak pernah meminta anak tujuh tahunnya ini bekerja, tapi Ayah pernah berkata,"Mian, kamu lelaki.Kamu yang bertanggung jawab pada keluarga ini kalau Ayah mati."
Saya
mencari kepiting untuk dijual, mengambil kelapa di pesisir pantai, keliling
kampung sambil membawa bakwan,pisang goreng, dan tempe goreng buatan Ibu.
Hingga saya ikut Bang Itom ke Pelabuhan Bakauheni, kau tahu apa yang saya
lakukan? Berenang di dekat kapal dan menangkap koin-koin yang
dilempar orang dari atas kapal. Mereka tampak bahagia melihat saya menangkap koin koin itu dengan mulut, dan saya bahagia mendapat uang tambahan.
Waktu berjalan, saya lulus SD dengan hasil cemerlang. Teman-teman saya melanjutkan sekolah ke SMP, tapi tidak untuk saya. Saya berhenti sebab saya tahu diri. Si kembar sudah SD dan saya harus membantu Ibu. Uang Kak Mina tidak sebanyak dulu semenjak ia menikah dengan Sopir Taksi di Jakarta sana. Saya tidak ingin melaut seperti Ayah, saya takut hilang dan keluarga saya merana. Maka saya berjualan pop mie dan kopi di Pelabuhan Bakauheni.
Dan kehidupan yang sebenarnya dimulai. Preman yang memalak saya seenaknya, jam tidur yang sudah kacau tambah berantakan, dan dagangan yang saya tinggalkan di depan mushola dicuri adalah fakta bahwa hidup terlalu busuk untuk saya. Lebih lagi Ibu malah menikah dengan lelaki sialan, duda tanpa anak yang lebih muda dari Ibu. Yang jelas Ibu pindah entah ke mana bersama si kembar.Dibutakan cinta Ibu hanya berkata," Kamu mau ikut Ibu atau tidak?" dan ketika saya hanya terdiam Ibu malah berkata,"Kamu tidak mau meninggalkan rumah kita ini ya? Kamu mau dekat dengan lautan dan mengenang Ayah? Kalau begitu jaga dirimu ya?"
Ibu macam apa itu? Saya hanya menangis dalam diam ketika Ibu membawa Iman dan Amin ke Colt Diesel pria brengsek itu. Di usia lima belas, saya sudah menjadi sebatang kara karena Ibu meninggalkan saya.
Saya tidak tahu kenapa Tuhan memperlakukan ini semua pada saya. Apakah Tuhan yakin saya manusia kuat hingga berbagai cobaan Dia hantamkan pada saya. Hidup di pelabuhan yang keras membuat hati saya membatu. Sudah lagi, Marina, perempuan yang saya cintai lebih memilih lelaki pilihan orangtuanya. Lelaki kecil, hitam dan keriting yang jadi PNS di kantor bupati. Kadang harta bisa membutakan, bukan? Di usia 20 saya patah hati.
Saya sendirian. Tak ada orangtua, dan keluarga dari Ayah maupun Ibu tidak menyukai saya sebab mereka dahulu kawin lari. Tak ada cinta, Marina yang membuat saya makin merana. Dan kalau begini, untuk siapa saya hidup? Untuk siapa? Tidak ada. Tidak ada yang saya perjuangkan pula dalam hidup yang terlalu dramatis ini. Atau saya yang mendramatisir? Entahlah.
Maka saya sudah di tepi tebing ini, tebing di tepian pelabuhan. Jika saya terjunkan diri dan mati, mungkin sudah waktunya. Mungkin memang hidup harus saya akhiri sendiri. Jika saya masih hidup setelah ini, akan saya cari jawaban, mengapa hidup saya belum berakhir...
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!