Lempar #flashfiction
Februari 03, 2016
Saya merasa terengah-engah. Kopi yang ketiga sudah tinggal ampasnya. Tentu ini kopi asli, bukan kopi mainan yang terlalu banyak aksesorisnya. Ini kopi asli yang bijinya saya giling sendiri. Dan saya bubuhkan 123 butir gula. Kira-kira sebanyak itu. Ah, mengapa malah membicarakan kopi. Mari pindahkan sorot kamera ke sebelah kiri. Ya, itu, dia. Ya, dia yang berdiri di depan pintu sambil membawa nampan kopi. Sejak tadi dia hanya terpaku. Tidak, dia menjerit tiap kali saya melemparkan kursi, sendok, pensil, piring, gelas, baju kotor, dan segala hal yang saya rasa enak untuk dilempar. Dia asisten rumah tangga. Lebih tepatnya pembantu di apartemen saya yang tidak terlalu besar ini. Bukan saya yang mau ada pembantu, ini ulah paduka ratu yang melahirkan saya delapan belas tahun lalu.
Dia bertanya mengapa saya melakukan itu. Dan saya jawab dengan tatapan tajam, menghunjam, yang kalau dia pintar dia akan mengartikannya sebagai perintah diam. Sayangnya dia tidak sepintar yang saya kira. Dia malah ikut-ikut menjatuhkan nampannya. Dia dengan mudahnya menghancurkan mug kesayangan saya. Benda yang saya yakini tidak akan saya lempar dalam situasi seperti saat ini. Saya menjerit. Dia berteriak. Saya memekik. Dia tertawa. Loh, kok jadi begini? Seharusnya dia tidak tertawa. Tapi kemudian dia berbalik. Masuk ke ruangan kecil dengan kasur lipat dan lemari kecil, tempat dimana ia biasa tidur.
Saya terduduk di sofa yang sudah tertumpah kopi, penuh baju kotor, dan pecahan piring. Lalu otak saya mengelana. Mengapa bisa seberantakan ini sedang saya punya asisten rumah tangga. Maka saya berjalan ke ruangan kecil itu. Mengetukkan pintu sambil berseru memanggil namanya yang saya rahasiakan. Pintu tidak kunjung di buka. Terkunci lagi. Dengan kuda-kuda, saya tendang terjang pintu itu. Berkali-kali. Hingga saya lelah sendiri.
Saya berjalan ke lemari es dan meminum yogurt. Hanya ada itu. Mungkin saya perlu ke swalayan nanti. Memenuhi kulkas dengan berbagai panganan yang mau membahagiakan saya. Setelah merasa segar, saya dobrak pintu itu. Dan berhasil. Saya menari-nari merayakan kehebatan saya mendobrak pintu.
Kini saya menatap sesosok perempuan yang terduduk di kasurnya. Tubuhnya berserah pada tembok. Matanya tertutup rapat. Dan spreinya yang putih berganti motif menjadi polkadot dengan cipratan-cipratan darah segar. Di tangannya ada sebilah pisau dan garpu. Ya Tuhan. Ada apa ini? Dia bunuh diri? Mati? Kenapa lucu sekali.
Ya ampun ini apa yaaa. Gak tau ah ini nulis apaan >.<
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!