Antitesis
April 27, 2016
Antitesis.
an·ti·te·sis
/antitésis/ n 1 pertentangan yg benar-benar.
Ya.
Kadang saya tak ingin berumur panjang. Mungkin, jika boleh memilih saya hanya
ingin sampai ujung 20-an saja. 28,29 begitu. Entahlah. Saya tidak punya
bayangan akan berumur panjang. Tidak ada. Pun seperti tidak mau. Tetapi, di
malam-malam ketika saya sleep apnea
atau sleep paralyzed, atau keduanya,
saya ketakutan. Ketika saya sesak napas dan tidak bisa bangun, lalu otak saya
ketakutan dan merapal memanggil Tuhan. Ketika suatu hari saat tidur dan saya
‘ketindihan’, dada saya sesak, jantung saya bertalu lebih kencang, saya merasa
seperti berhenti sesaat—ini hanya perasaan saja— dan takut mati saat itu juga. Saya
berpikir,bagaimana kalau saya mati di kamar kost? Teman kost saya tidak tahu
kalau saya sudah ‘pergi’ dan mengira saya pulang, atau memang sedang tidak mood
meracau.
Saya tidak mau berumur panjang
tapi takut menghadapi kematian.
Selain
Tuhan, tidak ada hal yang saya percaya di dunia selain kematian. Sebagaimana
saya sudah hidup pasti saya akan mati. Sebagaimana ada mula yang akan diakhiri.
Saya
tahu hidup adalah soal keberanian. Waktu SD, keberanian adalah ketika saya
mengangkat tangan ketika ditanya siapa yang mau disuntik lebih dulu. Atau sejak
kuliah mungkin keberanian saya adalah pergi ke sana ke mari sendiri. Termasuk
ketika kereta sampai pelabuhan dini hari dan sepi. Tapi sejak 19 tahun,
keberanian bagi saya adalah berani menghadapi hidup. Menghadapi ketakutan yang
sebenarnya saya yang menciptakan. Bahwa saya tidak punya musuh selain sosok
yang ada tiap saya berkaca. Yang menciptakan pertanyaan aneh. Yang membuat saya
takut. Yang menenangkan saja juga pada akhirnya.Saya tidak mengerti mengapa
saya terlalu memikirkan keberadaan saya di sini. Memikirkan Tuhan maunya saya ngapain, gimana, dan dijebloskan di
mana.
Saya
enggak tahu usia saya sampai angka berapa. Entah saya akan pergi lebih cepat
dari keinginan saya atau justru lebih lama. Terserah Tuhan. Mungkin saya harus
memantaskan diri menghadapi kematian. Saya kira memantaskan diri untuk bertemu
Tuhan adalah suatu hal yang bisa membuat saya tidak takut dengan hidup. Jika
saya lahir lebih cepat dari seharusnya, tidak menutup kemungkinan saya pergi
lebih cepat dari manusia pada umumnya kan?
Saya
belum juga berani.
Saya
masih takut mati dan segala konsekuensi perbuatan saya ketika hidup. Dan takut
hidup yang berimbas pada hidup setelah mati.
Ah,
malam makin pekat.
Sekian.
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!