Kini dan Pencitraan
April 06, 2016
Saya sulit memfokuskan diri saat menulis ini. Mungkin ini akan melebar ke sana dan ke mari nggak jelas juntrungannya.
gambar ditemukan di Pinterest |
Saya membaca sebuah buku, selayaknya buku yang diterbitkan tentulah memiliki judul. Buku ini saya pinjam di iJakarta. Tentu sebab saya tidak memiliki cukup uang untuk membelinya di toko buku dan sejenak memfoto buku tersebut dan mengunggahnya di sosial media saya.
Buku itu berjudul Soe Hok-Gie ... Sekali Lagi. Ditulis ramai-ramai. Saya tidak bermaksud mengulas buku itu sebab belum selesai. Saya membaca sebaris kalimat yang ditulis Gie di catatan hariannya. Omong-omong saya belum membaca CSD. Gie bilang di Indonesia ini hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau idealis. Saya setuju, kemudian saya ingin menambahkan pencitraan di sana. Ya, semoga saja Gie tidak murka.
Ini memang tidak ada kaitannya dengan Gie, ini hanyalah opini yang tercetus begitu saja yang sayangnya mungkin tidak terlalu memiliki benang merah dengan pendapat Gie.
Kini. Sekarang. Saat ini. Adalah sebuah masa di mana citra dibentuk dan dibuat dengan sesuatu yang kemudian sering disebut dengan sosial media. Tidak hanya sosial media sesungguhnya. Namun, agar saya yang gemar meracau ke mana-mana ini dapat fokus maka yang saya akan soroti adalah sosial media.
Jika Sukab berkata pada Alina dunia sudah kebanyakan kata-kata, saya mungkin akan berkata pada Sukab bahwa kini dunia sudah terlalu banyak pencitraan. Entah citra itu murni atau dusta. Entah dibuat sedemikian rupa atau penuh ketidaksengajaan sedang melakukan sehingga dianggap pencitraan. Entah dipandang sebagai sesuatu yang normal-normal saja, atau dipandang sinis. Saya berusaha menempatkan diri senetral mungkin di sini. Sebab kemungkinan besar saya pun mungkin pernah atau akan melakukan pencitraan itu.
Sebab ini pencitraan di sosial media, dan sosial media itu banyak, saya sebaiknya perlu mempersempit menjadi facebook, twitter, instagram, Path, BBM, Line, Goodreads ? Ya, cukup itu saja. Sebab yang saya sering jumpai di sana.
Zaman sosial media adalah zaman di kala setiap dari kita gemar membagi apa yang sedang terjadi, pernah terjadi, atau diimpikan terjadi. Zaman di mana gemar membagi apa yang dirasakan, pernah dirasakan dan penuh kebebasan beropini. Mungkin ini bagus. Di mana, sebuah peristiwa seperti bom dapat cepat diketahui melalui sebuah tweet. Sebuah informasi kemacetan diketahui setelah foto pohon tumbang di jalanan diunggah dan menjadi profil picture BBM. Sebuah restoran diketahui khalayak akibat seorang seleb instagram memotretnya dan mendewakan makanan itu—kemudian bisa jadi pengunjung kecewa sebab seleb itu dibayar untuk makan lima kali di sana demi sebuah foto dan dusta enak—ini tentu hanya sebuah ilustrasi yang bisa saja terjadi. Atau... kita jadi tahu akan buku bagus akibat seseorang memotret buku yang baru saja dibelinya lalu memuji setengah jiwa —meski maksud si tukang upload adalah dengan mention penulis ia akan disapa balik.
Yang saya beberkan barusan hanya sekelumit jika dipandang positif dan memang perilakunya mengarah pada hal positif meski dari sudut pandang sinisme hal tersebut bisa saja dianggap negatif. Dari pengamatan saya sebagai manusia yang hidup di zaman berlabel kekinian,
saya menemukan bahwasanya banyak manusia yang menulis status dengan dusta secara sengaja demi membentuk citra diri yang ia harapkan.
saya menemukan bahwasanya banyak manusia yang menulis status dengan dusta secara sengaja demi membentuk citra diri yang ia harapkan.
Mari membuat ilustrasi.
Tenang saja, yang saya paparkan di bawah ini murni ilustrasi. Jikalau memang ada kejadian nyata atau mirip anggaplah ini seperti tulisan sebelum menonton ftv yang dari menit ke-5 ending sudah ditebak tanpa perlu indera keenam.
Sebut saja Dul Majid membuat status di facebook, mengaku berbelanja di pasar padahal ia sedang tiduran. Katakanlah Sumarni mengunggah foto diri berlatar birunya lautan dan berkata sedang jalan-jalan padahal sedang duduk di tangga dapur setelah dimarahi bundanya karena jalan-jalan terus. Lalu Alfonso Check in di Path bahwa ia sedang menonton film Interstellar bersama Dijah padahal mereka sedang rujakan di depan rumah Dijah. Dan Alfonso setelah film itu muncul di bajakan dan menontonnya ia tertidur di menit-menit awal.
Ada pula, Sarinah menggunggah fotonya yang sedang pingsan di instagram—entah ini dia benar-benar pingsan atau tidak, siapa yang memfotonya tidak paham— dilengkapi kata-kata ia sedang sakit demi mendapatkan simpati rekan-rekannya yang mulai tidak peduli padanya. Konon membuat diri seolah sakit—padahal tidak — diberi nama Munchausen Syndrome. Karmin memilih read pada buku Sepotong Senja Untuk Pacarku di Goodreads, diberikan bintang lima, dikomentarin karya terbaik Seno namun ketika ditanya siapa Sukab ia balik bertanya, “Memang siapa Sukab?”
Dan masih banyak lagi sebenarnya yang terlalu malas untuk diilustrasikan sebab mungkin baru esok akan selesai. Itu baru sebuah dusta.
Bagaimana dengan... uhm, dengan sengaja melakukan demi pencitraan?
Yang kali ini adalah benar-benar dilakukan. Namun, maksudnya sudah tidak murni lagi. Baiklah, murni berbagi. Namun, ada maksud tersembunyi. Ada udang dibalik bakwan. Bakwan udang memang enak. Enak sekali bakwan udang.
Tersebutlah di kampus Usro ada pemilihan ketua BEM. Kemudian Usro duduk di lobi, mengudap jagung rebus. Segerombol manusia yang Usro curigai mahasiswa tingkat dini berjalan gerudukan. Sayup-sayup Usro mendengar ocehan mereka. Kasarannya mereka mau memilih ketua BEM, pilih siapa saja dengan capcipcup, nanti kan tangan mahasiswa dini itu bertinta, lalu foto jemari di-upload di instagram bahwa mereka peduli dengan kampus dan bersemangat berdemokrasi. Padahal mereka sebenarnya tidak memerdulikan hal itu.
Lima menit kemudian, Usro membuka instagramnya.
Sebut saja Saminah —yang ternyata di-follow dan ternyata adik tingkat Usro— merupakan salah satu mahasiswa dini yang tadi ribut-ribut memilih ketua BEM demi jari bertinta, mendapatkan like, dikomentari banyak orang, dan dianggap mahasiswa berbudi pekerti luhur. Padahal Usro tahu bahwa Saminah dan kawan-kawannya adalah kaum yang apatis dan tidak peduli dengan kampusnya namun ingin terlihat idealis nan terpuji. Saminah berada di antara pendapat Gie, apatis dan idealis. Saya sebut Saminah pencitraan. Tenang, ini ilustrasi yang bisa saja ada di kampus atau lingkungan masyarakat dan hanya akal-akalan saya saja.
Ada lagi Kura. Demi dianggap sebagai lelaki alim, calon menantu idaman maka ia gemar membuat status berbau agamis. Share dan retweet akun-akun dakwah padahal ya tidak dibaca isinya apa. Bahkan sampai memberitakan pada khalayak ia habis berbuka puasa di kala tidak bulan puasa.
Mungkin ada juga Marpuah. Dia ke perpus dan difoto ‘seolah’ candid oleh rekannya bersama tumpukan buku yang judulnya saja bikin pusing hanya demi citra diri pintar, idealis, dan berwawasan luas. Ia berharap mendapat pujian dan jumawa setengah dewa.
Ah, rasanya ilustrasi di atas sudah cukuplah untuk menceritakan apa yang saya maksud dengan sengaja melakukan dengan membentuk citra rupawan. Jika saja kamu berniat menambahkan saya terbuka di kolom komentar.
Tapi, ada pula yang sebenarnya tidak melakukan pencitraan namun terlihat sebagai pencitraan. Beberapa manusia yang punya paham sinisme—mungkin saya kadang suka demikian— mungkin menganggap beberapa hal adalah pencitraan dengan menggunakan dugaan dan insting atau kerennya sih intuisi.
Lucunya, beberapa orang dengan sengaja melakukan pencitraan untuk ‘menampar’ kaum tukang pencitraan. Beberapa membuat status atau foto sejenis yang sebenarnya penuh sarkasme, sinisme, satire dan semacamnya.Yang sayangnya hanya beberapa yang sadar. Contoh berkatalah ia Check in di Bali lalu memasag foto di kamar. Sebegitu pentingkah check in ? Bukankah agak bahaya ya? Ah sudahlah. Nanti saya malah makin ke mana-mana.
Sebuah perbincangan tadi siang saya lakukan dengan teman saya. Kami sepakat bahwa tanpa melakukan pencitraan, citra diri kita sebenarnya telah terbentuk dengan sendirinya. Hanya saja beberapa orang mengharapkan dirinya terlihat begini, terlihat begitu dan sebagainya.Tanpa perlu banyak comel, orang sudah bisa menilai kita. Entah penilaian ini benar atau tidak. Benar di sini dalam artian bahwa yang mereka ungkapkan sesuai dengan diri dan jiwa kita. Sebab orang gemar dan mudah sekali menebak. Maka itulah orang dengan mudah melakukan pencitraan.
Kekinian memang tidak selalu sepaket dengan pencitraan. Selfish, narsis, memang tidak selalu berkaitan dengan pencitraan. Namun saya berpendapat sedikit banyak ada keterkaitan di antaranya. Banyak ketulusan yang menjadi salah makna. Banyak ketulusan yang tidak dihargai dan dicampakkan demi citra entahlah itu apa. Banyak biaya yang orang korbankan demi membentuk citra. Banyak yang mati sia-sia demi membangun citra namun ada saja rencana. Tuhan BANYAAAAK. Arhdsfksdhfkd!
Banyak hal yang pada akhirnya membuat orang yang sebenarnya normal jadi abnormal ketika mereka tidak mengikuti arus kekinian.
Oke saya paham, bahwa dalam Hierarki Maslow yang bagian atas itu tuh... adalah penghargaan dan aktualisasi diri. Maka... mungkin ini wajar jika Onah mendahulukan memotret makanan di restoran mahal sampai naik-naik ke atas meja dan nyaris terjungkal demi mendapatkan foto udang goreng renyah. WAJAR SAJA. Sebab kebutuhan aktualisasi diri dan penghargaan itu berada di atas kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dan enyah saja lapar sebab kebutuhan makanan itu kebutuhan terendah manusia. Jadi, bagi Onah makan udang goreng dingin itu tak apa, yang penting di beri 'hati' di instagram sampai sejuta —Onah bukan pengkritik makanan btw, dia tukang tambal ban—, tidak apa dia terjungkal kepalanya memar. Tidak apa. Yang penting dia dianggap sanggup makan di restoran mahal di dianggap memiliki citra diri sebagai kaum yang bisa makan enak meski di baliknya dia ngutang sama Toil.
Baiklah, saya sudah lelah menulis ini. Saya tidak bermaksud menyudutkan siapapun sebab saya pun tidak begitu banyak kenal dengan manusia-manusia. Saya sadar zaman kini memang begitu dimana saya ngoceh gini pun kali aja dianggap membentuk citra atau apalah saya tak paham. Saya paham saya pun mungkin pernah tidak sengaja melakukan pencitraan (dimana saya paham benar bahwa tidak usah ngapa-ngapa saja orang sudah berasumsi macam-macam).Ini tulisan memang terkesan sebagai tulisan yang belum selesai sebab saya lupa saya itu sebenernya tadi mau nulis apa. Dan... nama-nama yang saya sebutkan di atas merupakan nama asal comot. Jadi kepadan Rojali, Dijah, Marpuah, dkk saya memohon ampun.
Surakarta, 6 April 2016
2 comments
Uhm haghag khas abang sekali tulisan ini. Kumemang akui itu, kusuka teori "apatis, idealis dan pencitraan". Terlalu banyak manusia fake di sini-kujuga pasti pernah berdusta pun berbohong-melakukan sesuatu demi seraup "penghargaan". Abang benar, ingin dihargai adalah sifat alami manusia. Jadi, pantas saja banyak orang melakukan apa saja demi rasa tak tampak itu.
BalasHapusAbang, kubaru saja ingin bilang kalau kurindu tulisan abang, haghag, untungnya tak abang publish di wattpad.
Khasnya aku emang yang gimana? ((Abang)) tak lihatkah profil pict aku perempuan? =.=
HapusJangan ragu untuk berkomentar, kawan!