Pikiran yang meracau malam ini

Oktober 13, 2014

Sebenarnya malam ini saya sedang membuka-buka PPT zaman SMA. Bukan sok kerajinan atau rindu IPA, tapi pelajaran anatomi otak memaksa saya membuka-buka file masa lalu. Termasuk sebuah buku campuran biologi dan kimia yang memang saya bawa dari rumah. Saya juga membukanya karena PPT kelompok yang maju tentang hormon,indra dan saraf ,filenya gagal terus didownload.
Saya sedang membuat main map, karena saya biasanya lebih bisa belajar sambil menulis dan berkicau mengikuti musik yang di putar. Sistem regulasi, yang di bagi 3 itu sudah saya buat main map bagian sistem saraf dan hormon, lalu ketika membuka sistem indera, dan membuka buku itu, mendadak pikiran saya terdistraksi hingga akhirnya saya bukan blog untuk menulis.

Saya teringat bagaimana hubungan kimia dan saya. Hubungan kami bukan hubungan yang baik. Ketika SMP, saya nggak ada masalah dengan kimia,mungkin karena SMP baru perkenalan, say hi. Tapi nggak ketika kelas 10. Otak saya nggak menerima kimia, menolak malah. Saya juga nggak ngerti. Saya suka fisika kelas 10 dan matematika saya belum hancur saat itu. Ya, sejak kelas 11 saya merasa kemampuan saya menurun dan terjun bebas di kelas 12.
Sepanjang saya SMA, saya akan sedih kalau fisika atau matematika saya buruk, tapi saya nggak ada rasa apapun ketika kimia saya jelek. Saya menerimanya. Saya nggak ngerti kenapa saya begitu, setidakmengerti saya dengan pendapat teman saya kimia lebih gampang dari fisika. Meski saya pernah ada di nilai-nilai teratas fisika, nilai rata-rata hingga nilai bontot, saya lebih suka fisika. Dan meski fisika-lah yang paling terjun bebas ketika kelas 12.

 Saya kecewa dengan saya sendiri ketika hasil UN fisika saya busuk, 6 sekian. Tapi saya nggak bahagia-bahagia amat dengan angka delapan di nilai kimia. Saya dapat nilai 8 mungkin karena saya lihat soal-soal UN banyak teorinya untuk kimia. Maka saya fokus ke teori, ketika UN yang saya kerjakan cuma hitungan sederhana, lainnya intuisi saya bicara. Bagi saya yang penting adalah lulus ketika itu.

Sekarang, saya tahu kenapa saya begitu pada kimia. Maaf untuk semua kimiawan,apoteker dkk. Karena saya nggak tahu untuk apa kimia itu. Dan kalaupun saya tahu, saya masih nggak bisa mengasosiasikan hubungan menghitung atom-atom itu dengan kehidupan. Itulah awal dari semuanya, pertama kali kita belajar atom kan dikelas 10? Saya masih nggak bisa jawab untuk apa menghitung bagian paling terkecil dari yang terkecil yang nggak keliatan. Yang imajiner. Saya nggak ngerti itu hingga saya secara nggak sadar menjadi tak mengacuhkan kimia, dan otak saya mungkin menipu saya untuk menolak segala yang masuk tentang kimia.
Karena matematika masih lebih real. Menghitung luas lapangan atau diameter bola ada gunanya. Meski trigonomerti nggak dipakai untuk beli cabai. Sekurang-kurang kerjaannya saya ngitung kecepatan pensil jatuh, pensilnya ada.

Yah. Sudahlah. Saya nggak akan ketemu lagi kok sama kimia. Kalaupun di PLB ada pelajaran IPA, hampir semuanya biologi, dan pelajaran statistika yang membuat saya kadang stres menghadapi saya sendiri nggak suka nggak teliti. Salahlah kalau bilang golongan darah A itu teliti.

Sudah malam. setidaknya pikiran saya keluar.

You Might Also Like

0 comments

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram