Telanjur

Mei 21, 2015



Saya sudah telanjur ada. Tanpa meminta, saya sudah ada. Maka tidak ada hak bagi saya untuk melenyapkan diri saya. Sebab adanya saya bukan kemauan saya maka ketiadaan saya seharusnya bukan saya yang meniadakannya. Saya hidup. Saya menjalani hidup. Saya ada di dunia. Begitu banyak hal yang membuat saya kecewa. Saya kecewa dengan saya sendiri. Tapi yang menyakitkan adalah ketika saya mengecewakan orang-orang yang menyayangi saya. Saya tahu mereka kecewa dengan saya. Sebab saya sendiri kecewa dengan saya.
Saya tidak mau meniadakan saya. Biar Tuhan yang meniadakan saya. Saya tidak mau hidup terlalu lama tapi saya tidak siap jika Tuhan memanggil saya sekarang. Saya ingin mempersiapkan kematian dengan sebaik-baiknya. Saya tahu benar kematian adalah awal dan bukan akhir. Jika setelah kematian tidak ada kehidupan lagi mungkin saya berani mati kemarin. Sayangnya saya percaya dengan Tuhan saya, saya percaya bahwa surga dan neraka itu ada. Meski saya tidak tahu pasti akan masuk ke manakah saya pada saat penghitungan itu tiba. Sebab saya jauh dari definisi makhluk berbakti versi Tuhan. Saya yakin bahwa yang mati hanyalah sistem tubuh kita namun nyawa kita, ruh kita tetap hidup.
Tidak ada yang bisa diubah. Ketika seseorang bertanya apa yang mau saya ubah dalam perjalanan hidup ini, saya akan jawab tidak ada. Karena yang saya inginkan adalah tidak pernah adanya saya. Dan itu tidak mungkin. Meski Tuhan bisa melakukan apapun, saya tidak yakin bahwa kenyataan saya tidak pernah ada di dunia ini akan ada.
Saya tahu saya pencemas. Segala hal tentang hidup saya takuti. Otak saya yang nakal. Mungkin sebaiknya saya berhenti bertanya atau membuat plan untuk masa depan, dan melupakan masa lalu. Mungkin saya harus fokus pada hari ini, pada hal yang saya harus kerjakan sekarang. sebab apa yang saya kerjakan sekarang menjadi sebab atas akibat yang terjadi besok. Bedebahlah dengan tujuan hidup, plan-plan hidup. Saya bukan planner. Jadi kenapa saya harus merencanakan hal-hal yang pada akhirnya membuat saya takut? Kenapa saya takut akan pekerjaan saya esok? Lebih baik saya fokus pada kuliah saya sekarang. Kenapa saya harus mempertanyakan diri saya yang takut akan hal yang teman saya sukai (pernikahan & anak) ,sedangkan belum tentu saya berumur panjang.
Saya merasa ada di jalan yang salah saat ini. Apa yang saya ambil sepertinya tidak benar-benar saya inginkan. Dan saya juga tidak tahu apa yang saya inginkan. Saya tidak tahu harus bagaimana dan saya tahu ini mengecewakan. Tapi  mungkin saya hanya sedikit bosan. Dan mungkin kebosanan ini bisa jadi pemicu yang baik agar saya bisa segera keluar dengan cara baik-baik dari sini. Saya tahu pasti saya ini pembosan.
Saya benci sistem dan terikat. Tapi seperti manusia normal lainnya, saya harus terikat pada sistem yang ada. Saat ini saya bagian dari sistem pendidikan di kampus saya. Saya harus mengikuti arus yang ada agar saya selamat sampai tujuan. Tapi sampai kapan saya terikat ? sampai kapan saya berada dalam sistem? Saya pikir sampai mati dan setelahnya saya adalah bagian dari sistem. Dan saya harus berhenti menyangkalnya.
Surga dan neraka adalah hal yang saya takuti. Saya takut Tuhan saya. Dan saya takut masuk neraka dan lebih takut lagi sayalah yang mendorong mama dan papa saya ke sana. Kenapa saya tidak terlahir sebagai rumput saja. Tidak masalah diinjak, tidak masalah dicabut, tidak masalah dijadikan tempat kucing mengeluarkan fesesnya. Tapi tidak ada surga bagi rumput tidak ada neraka pula. Saat dicabut dan mati, kehidupan selesai begitu saja. Tapi kembali lagi, mau berandai dan menyangkal sekuat apapun, saya sudah terlanjur ada dan terikat pada sistem Tuhan. Bahwa reinforcement dan punishment adalah teori dasar dari Tuhan yang diambil manusia, lalu diberi nama teori behavioristik. Begitulah surga dan neraka.
Saya tahu saya harus berhenti menyangkal. Semakin besar saya menyangkal semakin menyakitkan. Saya harus berhenti bertanya yang tidak-tidak. Saya harus berpikiran positif. Tapi itu semua tidak mudah. Kadang saya hidup dan berjalan tanpa beban, namun menjelang periode perempuan saya, kecemasan saya naik. Mungkin saya perlu makan banyak coklat, es krim, pisang, dan melakukan hal-hal yang meningkatkan 4 hormon bahagia. Dan saya tidak akan minum pil senyum seperti lelak tua di cerita yang pernah saya posting dahulu.
Kadang saya iri dengan anak autis. Mereka bisa hidup dalam dunia mereka dan orang memakluminya. Mereka mungkin tidak terikat dengan sistem sosial. Tapi saya tahu seharusnya saya bersyukur. Dan maafkan saya sudah berpikir yang tidak-tidak.
Jika maaf adalah penghapus. Maka saya akan terus meminta maaf pada Tuhan. Dan maafkan saya mama, maafkan saya papa. Maafkan saya semuanya.
Saya tahu hidup adalah proses belajar. Belajar sampai mati. Dan belajar disini tidak hanya tentang saya dan pelajaran akademik. Atau saya dan belajar menulis atau memotret. Tapi Tuhan ingin saya belajar berperang dengan diri saya sendiri. Dengan ketakutan yang saya ciptakan, kecemasan yang seharusnya saya buang. Dan belajar iklhas dengan segala yang Tuhan lakukan pada saya. Bisakah saya?
Saya pikir sampai disini saja. Dan saya tahu bahwa jawaban ,”saya baik-baik saja,” adalah sebuah dusta.



You Might Also Like

0 comments

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram