WALAAA!

Mei 03, 2015



Adalah hal yang membahagiakan bagi gue ketika mengenal Laura, jatuh cinta, dan dia mengangguk ketika gue mengajukan diri sebagai pacarnya. Dan adalah kebodohan besar di awal-awal masa percintaan ketika gue melakukan apapun yang Laura inginkan. Cinta mungkin enggak buta tapi cinta membutakan. Jatuh cinta pada Laura adalah seperti seorang low vision yang kacamatanya di lempar ke sungai, terbawa arus dan hancur diinjak kerbau yang sedang berkubang.
Gue mungkin merasa jumawa dan tersenyum paling lebar sedunia ketika orang-orang memuji Laura. Gue masih ingat tiap kata yang dilontarkan 3 sahabat gue.
“Gila ya, lo kok bisa sih dapat cewek secantik dia?” kata Andre
“Lo melet ya? Ngaku lo?” tuduh Omar
“Kita lihat sampai kapan lo bertahan dengan Laura, boys,” sahut Edo sambil menepuk bahu gue kala itu.
Tapi itu dulu. Zaman purba lima bulan yang lalu gue memang merasa jadi lelaki paling bahagia dan beruntung bisa mendapatkan Laura. Siapa yang enggak kenal Laura di kampus ini? Dia cantik, hidungnya mancung dengan bibir mungil merah jambu dan rambut bob yang pas di wajah hatinya. Tubuhnya semampai dan jenis perempuan yang membuat cewek lain iri setengah mampus karena apapun baju yang Laura pakai, baju itu akan mendekapnya sempurna.  Laura dikenal semua orang, Laura anak orang terpandang dan ... gue yang berhasil mendapatkan hatinya.
Iya, gue. Walananta Kareno Dinata. Yang diyakini semua orang bahwa gue bukan a cup of tea-nya Laura. Mengingat mantan-mantannya Laura adalah yang tinggi tapi enggak kerempeng kayak gue, yang sekali senyum bikin para perempuan meleleh, yang diteriakin namanya di lapangan. Dan gue, Walananta cuma penghuni perpustakaan yang enggak sengaja naksir Laura dan dia naksir gue balik.
Awalnya, gue pikir ini hal biasa. Ketika Laura menelpon gue di siang bolong dan mengabarkan ia datang bulan.
“Terus kenapa kalau kamu lagi datang bulan?” tanya gue tolol.
“Yah, beliin aku pembalut dong Walaaaa! Pokoknya dalam waktu 15 menit kamu harus udah datang bawa pembalut ya!” titah Laura. Dan gue yang lagi nongkrong di kantin langsung berlari ke parkiran, ngebut ke toko terdekat, dan membuang malu jauh-jauh demi seplastik pembalut.
Gue datang bersama plastik hitam berisi pembalut dan mata gue menangkat Laura yang berdiri di dekat toilet. Gue kira dia akan menghadiahi ucapan terima kasih, sedikit cium pipi kanan dan kiri mungkin. Sayangnya...
“Aduh, Walaaa... gue cuma mau pakai merek Daydreaming yang 29 cm dan bersayap!”
Duh, mana tahu gue merek pembalut, berapa panjangnya dan ada sayap atau enggak. Dan demi cinta, gue menuju swalayan untuk mencari pembalut Daydreaming  29 cm dan punya sayap. Apakah setelah pakai itu Laura bisa terbang ke langit ke tujuh lalu turun jadi bidadari, gue enggak tahu.
Gue pikir, setiap Laura menelpon gue dan berteriak memanggil nama gue, dilanjutkan perintah-perintah kecil itu adalah bukti bahwa dia mempercayakan apapun pada gue. Dia memercayakan membeli pembalut, susu, kopi, atau sekadar tisu ke gue. Tapi lama-lama gue merasa gue menjadi seperti kacung. Gue mencoba menolak beberapa kali tiap dia menyuruh gue melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting yang bisa dia lakukan sendiri. Gue kira mengangkat jemuran, berangkat kuliah, menjilid makalah, bisa dilakukan sendiri tanpa gue. Well Laura, kami, kaum lelaki memang suka dengan perempuan yang sedikit manja sebab kami merasa dibutuhkan. Tapi Laura, kalau manjanya keterlaluan kayak lo, lama-lama gue enggak tahan.
Gue enggak tahan dimarah-marah di depan umum ketika gue salah pesan makanan.
Gue enggak tahan perut gue dicubit dan sedikit dipelintir ketika gue salah milih tempat duduk di bioskop.
Gue benci lihat dia yang nangis cuma gara-gara gue bilang Taylor Swift cantik. Dia iri dengan Taylor Swift dan dia memaksa gue bilang dia, Laura Sun Freya, adalah perempuan tercantik di dunia ini.
Gue kehilangan waktu untuk diri sendiri. Kenapa? Waktu gue habis untuk beli sabun, lalu balik lagi beli sampo, anterin dia ke salon, jadi komentator baju yang dia pakai, sampai mendengar betapa dia pengin jadi Cinderella atau Putri Tidur.
Lo memang harusnya jadi Putri Tidur, Laura sayang. Tidurlah selama-lamanya. Oke, stop gue jahat.
Sebagai penghuni perpustakaan, gue gemar membaca apapun. Termasuk buku-buku psikologi. Tibalah hari dimana gue mengambil buku yang gue lupa judulnya, yang jelas buku itu bicara tentang mentah health, tentang psikologi abnormal. Gue percaya bahwa mungkin tidak ada manusia normal di dunia ini yang ada manusia berkecenderungan tidak normal. Sebab, orang jenius saja masuk ke kategori anak berkebutuhan khusus. Dan mencuci tangan tiga kali sebelum makan seperti yang dilakukan Omar, mengindikasikan dia mengidap obsesif kompulsif. Dan Laura, mungkin kesehatan mentalnya tidak benar-benar sehat.
Laura lahir dari keluarga kaya raya dengan fasilitas lengkap. Gue tahu Laura pasti terkaget-kaget tinggal sendirian di kost meski kost Laura adalah kost elit. Dimana bayar kost sebulan baginya adalah setahun bagi gue. Laura tidak punya saudara dan gue tahu mami papinya amat memanjakannya. Dia enggak pernah berusaha lebih selain merengek, nangis, ngambek, atau merajuk untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia merasa bahagia kalau semua orang melihat ke arahnya. Entah siap role mode gadis itu tapi gue yakin ini bisa jadi karena dia cinta mati dengan princess, Cinderella, Sleeping Beauty, Aurora, Ariel dan entah siapa lagi. Dan ini mungkin penyebabnya, mengapa gue mencurigai Laura terserang Princess Syndrome.
Dan hari ini, gue akan melawan Laura. Dimulai dengan menyalahkan pesanan. Gue memang sengaja cari gara-gara.
“Ih, kenapa nasi pecel sih Walaaa? Aku kan udah bilang tadi pesen  gado-gado. Kamu bisa bedain kan gado-gado sama nasi pecel itu gimana?” suara Laura terdengar, keras dan melengking. Setiap orang yang ada di food court memandangi kami. Oh bukan kami, memandangi Laura. Dan seperti ratu, Laura membalas tiap tatapan yang ada dengan wajah judesnya. Laura suka itu, Laura suka ketika setiap orang memandang ke arahnya. Meski gue harus dijadikan tumbal.
“Aku enggak denger. Udahlah, makan aja. Enggak jauh beda sama-sama sambel kacang,” balasku datar. Lalu melotot dan memandang gue  dengan mata yang dipenuhi bara api. Permainan ini akan kita mulai kan, sayang?
“AKU ENGGAK MAU WALAAA! PESENIN GADO-GADO ATAU AKU ENGGAK MAU MAKAN!” teriaknya.
“Yaudah kalau enggak mau makan toh kamu yang sakit,” jawab gue  sambil mengambil piring yang dicampakan Laura. Gue memasukkan nasi dan sayur ke mulut dengan cepat. Dan secepat gue menelan secepat itu pula bayi di depan gue meledak. Bayi bernama Laura itu meledakkan tangisnya, pelan awalnya. Namun pengabaian yang gue lakukan membuatnya makin kencang menangis. Gue yakin dia enggak pernah nangis sekencang sekarang sebab orang-orang di sekitarnya selalu luluh tiap mendengar isakan pelannya. Hahaha, gue sudah seperti ayah yang memodifikasi perilaku anaknya ya? Apa nama istilahnya, extinction? Ah, peduli apa. Lagipula gue bukan anak psikologi, kan?
Gue terus makan hingga gue merasa rambut gue basah dan sebuah es batu bercokol di kepala gue yang kata Laura mirip sarang burung. Gue mengambil es batu dan melemparnya sembarang. Laura masih menangis dan menatap gue garang. Jadi lo mau permainan ini gimana, Laura? Lihat semua orang memperhatikan kita. Lo suka itu kan, sayang?
“WALA JAHAT! WALA ENGGAK SAYANG SAMA LAURA!” teriaknya.
“Oke, kita putus,” sahut gue sambil tersenyum. Mungkin ego gue masih ingin bermain-main tapi gue sudah enggak sabar mengatakan itu.
“Wala... Laura kan masih cinta sama kamu,” di tengah isakan Laura bicara, terdengar seperti sebuah gumam. Gue mengambil ransel dan berjalan meninggalkan meja kami. Makanan sudah dibayar sebelum kami makan, gue enggak punya utang.
Laura mengejar gue, si cantik itu memanggil-manggil nama gue sekarang. Tapi gue enggak boleh kalah. Gue bukan enggak sayang lagi dengan Laura, gue hanya ingin memberi sedikit pembelajaran mungkin.
“WALA! BERHENTI ENGGAK?” teriaknya. Gue berbalik dan menatap Laura. Gadis rapuh yang tukang nyuruh-nyuruh seakan dia anak raja.
“Kenapa?”
“Kenapa harus putus?” tanyanya.
“Karena aku sayang sama Laura.”
What’s?”
“Adanya Wala cuma buat kamu makin manja dan berlaku seenaknya, tuan putri. Aku suka perempuan yang mandiri. Yang bisa keluar rumah sebentar untuk beli sabun, yang enggak nyalah-nyalahin orang dan sadar kalau di atas langit masih ada langit. “
“Aku mau berubah,” sahut Laura pelan. Gue menatap Laura, mengelus rambutnya yang bob itu.
“Berubahlah jadi perempuan yang lebih baik. Demi dirimu sendiri,” kata gue pelan. Laura terdiam.
*
Adalah hal yang membahagiakan bagi gue sekarang bisa duduk di samping Laura Sun Freya yang memangku seorang bayi lelaki kami. Iya, dia Laura yang itu. Si perempuan mandiri dan peduli dengan orang di sekitarnya. Bukan si tukang teriak,”Wala... SABUN GUE HABIS! BELIIN DONG GUE TUNGGU 5 MENIT LO HARUS ADA DI PINTU KOST GUE!”

You Might Also Like

2 comments

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram