Keluarga yang Terlempar ke Luar Angkasa (Cerpen)
Mei 25, 2017
Awalnya,
tidak ada yang memperhatikan teriakan Mbah Sastro, pagi masih begitu sepi, sampai
tukang kebun mereka, Kerik, turut melihat ke angkasa dan terpana. Kerik semula
mengira Mbah Sastro menunjuk kawanan burung seharga jutaannya lepas dari
sangkar, tetapi yang kemudian dilihatnya adalah tiga orang manusia bergandengan
melayang-layang dan terpental-pental di langit. Tubuh mereka sesekali terlihat
seperti melompat-lompat, sesekali terombang-ambing,mendadak berputar-putar
seperti komedi putar, lalu secepat kilat tertarik ke atas hingga tak lagi
terlihat.
Semuanya
peristiwa tadi terekam dalam kamera ponsel pintar Kerik. Tangan kapalannya
tergerak untuk mendokumentasikan kejadian itu karena berpikir video amatirnya
bisa menjadi bukti sejarah seperti rekaman video-video amatir saat tsunami Aceh.
Bagi Kerik, ia tidak mungkin memanjat tiang listrik dan meloncat dengan sprei
yang diikat di pundak seperti Superman
untuk menolong keluarga itu. Pun, istrinya, berkata bahwa ia membutuhkan Kerik
yang apa adanya, maka ia tidak perlu menjadi Superhero, misalnya. Kerik memilih mendokumentasikan daripada sok
jagoan.
“Apa
yang baru saja terjadi?” tanya Mbah Sastro, lebih seperti berbicara sendiri
ketimbang berbincang dengan Kerik.
“Mereka
terbang. Bu Ninik, Pak Akmal, dan anaknya Imora terbang,” jawab Kerik. Lalu
menunjukkan video rekamannya. Video yang baru saja ia sebarkan di grup whatsapp ‘Perumahan Srikandi’. Video
yang memancing setiap orang di perumahan keluar dari rumah mereka dengan
keadaan apa adanya sambil memandang langit dengan sejuta tanya. Sebagian masih menggunakan
daster, beberapa memilih berpiyama, dan sekumpulan bapak-bapak yang mengenakan
kaus dalam putih dengan celana pendek atau sarung. Semuanya memegang ponsel,
dan bisik-bisik mulai terdengar. Segerombol anak kecil tertawa berlarian tanpa
peduli bahwa salah satu teman main mereka yang cengeng, Imora, baru saja
terlempar dari bumi, mungkin ke luar angkasa. Hari itu, Minggu 30 April, televisi-televisi,
juga portal berita online heboh dengan sebuah berita berjudul ,”Keluarga yang
Terlempar Ke Luar Angkasa”
Banyak
spekulasi yang muncul mengapa mereka terbang di angkasa dan hilang begitu
saja. Bu Laksmi agak gendeng, percaya
bahwa mereka dipilih Tuhan untuk mendapatkan hidayah baru atas agama baru. Cucu
Mbah Sastro, Bima dan Yudhistira, percaya bahwa Bu Nini dan Pak Akmal berencana
bercinta di luar angkasa agar bisa kembali ke dunia dan menyenandungkan lagu Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di
Luar Angkasa. Tante Gita, guru fisika di sebuah SMA percaya bahwa ada gaya
gravitasi yang sangat kuat yang menarik mereka. Masih banyak lagi pendapat lain,
mulai dari yang dapat diterima akal pikiran hingga terlalu imajinatif.
Semua
pendapat itu seketika terbantahkan ketika polisi yang menggeledah rumah
keluarga kecil itu menemukan secarik kertas berwarna merah muda dengan tulisan
biru bertuliskan : Suara kalian begitu
memuakkan, bernyanyilah, teriaklah, menarilah, enyahlah kalian ke luar angkasa!
Bumsakdarkesembrotosengkasurutusingrotogozokosooo platu-platu.
Berhari-hari
polisi melakukan penyelidikan, tetapi tidak juga menemukan jawaban. Rumah
keluarga kecil itu kemudian ditempati saudara mereka. Tidak ada yang
membicarakan terlemparnya keluarga itu sekarang. Tetapi Kerik, patut berbangga. Ia menjadi
komedian di layar kaca. Tingkahnya yang lucu saat diundang sebagai saksi mata
di berbagai televisi mengundang gelak tawa dan ia pun pensiun dari tukang
kebun. Sekarang, tiap malam, ia muncul di televisi bersama Sule. Memang tidak
ada lagi yang membicarakannya, tetapi semua warga ingat. Termasuk Karla.
Saya benci tetangga saya.
Tidak ada alasan yang pasti mengapa saya membencinya
selain sulutan emosi tiap kali mendengar suara-suara mereka yang masuk lewat
lubang angin. Suara-suara sumbang dan cempreng yang menyulut emosi saya.
Suara-suara yang tak pernah saya izinkan memasuki gendang telinga saya tetapi
dengan mudahnya menggetarkan koklea dan otak menangkapnya dengan mudah, semudah
ketidaksukaan saya.
Seperti cinta yang kadang tanpa alasan, seperti itulah
ketidaksukaan saya pada suara-suara dari rumah sebelah. Tanpa alasan. Kekesalan
yang tak diketahui mengapa saya begitu tidak suka dengan suara-suara yang
mereka ucapkan. Seperti ketidaksukaan saya pada suara keran bocor yang
meneteskan air perlahan-lahan, layaknya ketidaksukaan saya pada tempe busuk dan
terong rebus.
Saya tinggal di perumahan yang padat penduduknya.
Selain manusia, perumahan ini juga dihuni sapi-sapi, kambing-kambing, beberapa
burung dan ayam petelur. Tetapi, ini
bukan peternakan. Ini hanya kompleks perumahan padat kelas menengah ke bawah di
mana untuk menghemat, si juru gambar membuat tiap rumah berdampingan. Ini
adalah hal yang paling saya sesalkan. Mengapa ayah saya membelikan rumah ini
sebagai tanda kebebasan saya karena diterima kerja sebagai ... sebaiknya saya
tidak terlalu mengumbar tentang pribadi saya.
Saya tidak pernah membenci tetangga tanpa sebab
sebelumnya. Saat masih kecil, saya pernah tidak suka dengan ibu teman saya yang
tiap saya bermain dengan anaknya, ia sibuk membicarakan ibu teman saya yang
lain yang bersama pembantunya. Mereka duduk di meja makan, mengudap pisang
sambil menceritakan hal yang sebaiknya tidak dibicarakan. Saya juga pernah
membenci tetangga saya yang membuang sampah di halaman belakang rumah saya.
Saya menyadari bahwa halaman kami memang luas, bahkan teramat luas sampai ayah
dan kakak saya sering bermain bola di sana. Tetapi, bukan berarti sebuah tanah
lapang bisa dengan seenaknya digunakan sebagai tempat membuang sampah. Saya
kesal dan geram, belum lagi mereka tidak mengaku. Maka saya juga tidak mengaku
saat menaburkan satu ember daun mangga yang banyak semutnya di depan rumah
mereka. Masih ada cerita lainnya.
Ini adalah kasus baru, membenci tanpa tahu mengapa.
Tidak suka hanya karena suara. Dan lebih anehnya, saya tidak pernah bertatap
muka dengan mereka yang tinggal di belakang rumah saya. Ya, belakang dan bukan
di kanan atau kiri. Kalau pernah bertemu juga, saya tidak tahu mereka yang
mana.
Rumah yang ditempati tetangga yang saya benci adalah
rumah seorang nenek renta pada awalnya. saya sering mendengar suaranya
terbatuk-batuk atau memanggil pembantunya, entah mengeluh tehnya tidak panas
atau sekadar merasa pegal-pegal. Suara nenek itu tidak pernah menganggu telinga
saya, saya merasa baik-baik saja sampai nenek itu suaranya tidak lagi
terdengar. Ia belum meninggal, hanya saja anaknya yang tertua membawa nenek itu
untuk tinggal di rumah mereka sebagai baktinya. Saya tahu itu dari obrolan dua
pembantu saat membeli sayur, kebetulan salah satunya adalah pembantu si nenek
yang sekarang pun ikut pindah. Si nenek sangat menyayangi pembantunya.
Andai si nenek tidak pindah, mungkin cerita saya tidak
akan menceritakan ini. Suatu hari, setelah berminggu-minggu rumah si nenek
kosong dan saya hanya mendengar tokek tiap malam, terjadi kegaduhan di rumah
itu. Suara-suara cempreng yang menyakitkan telinga saya dimulai. Tidak begitu
ingat, tetapi suara yang pertama kali mengusik emosi saya adalah soal sikat
gigi.
“Pokoknya, kirimkan sikat gigi Imora ke rumah baruku. Imora
hanya mau sikat gigi itu, lagipula susah mencari sikat gigi seperti itu di
sini. “
Yang saya lakukan pertama ketika mendengar suara
wanita dengan aksen suatu-daerah-yang-tidak-ingin-saya-sebut adalah membuat
kernyitan di dahi. Sebegitu pentingkah sebuah sikat gigi? Lebih lagi ucapan
menyoal Imora-hanya-mau-sikat-gigi-itu membuat saya bergidik, membayangkan usia
Imora yang sepertinya masih balita, sikat gigi seperti apa yang begitu hebatnya
sampai harus dikirimkan dari rumah lama yang saya tahu ribuan kilometer dari
kompleks ini, dan ... sudah berapa lama sikat gigi itu dipakai? Bukankah sikat
gigi paling tidak diganti 2-3 bulan sekali? Membayangkannya saja sudah jijik.
Seperti
ungkapan sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, kebencian saya terhadap mereka
membukit. Tentu saja karena anaknya yang mungkin tidak pernah berganti sikat
gigi itu terus-terusan menjerit, ibunya balas memekik, dan bapaknya tertawa
sumbang. Juga ungkapan cinta sang ibu terhadap anaknya yang berlebihan seperti:
Oh, Cintaku, mau makan dengan tempe goreng hari ini? Astaga, kamu begitu cantik
seperti Annabelle.
Sebentar, bukankah Annabelle
menyeramkan?
Kebencian akan suara mereka membuat
jantung saya berdetak tak karuan. Seperti semua emosi negatif berkumpul menjadi
satu. Layaknya bom atom yang siap untuk diledakkan kapan saja tiap tersulut
kebencian akan teriakan memanggil sang ibu dengan isakan dan kata marahnya.
Saya tidak suka mendengar anak yang memarahi ibunya dan ibu yang merasa
bersalah dimarahi anaknya bukan atas kesalahannya.
Pagi itu, bom atom itu meledak. Saya kirimkan
selembar kertas beserta mantra yang bisa mendepak mereka dari bumi ini. Selembar
kertas yang dibaca sang ibu dengan suara cemprengnya, yang mengantarkan mereka
ke langit dan mungkin tinggal di luar
angkasa. Saya merasa...
“Tidak sopan! Membaca
tulisan orang sembarangan!” teriak Naya, ia berlari dari toilet dan langsung
melompati sofa. Mengambil buku hariannya dan melemparkan tatapan penuh hunusan
pedang ke arah Karla.
“Kamu jahat, Naya. Suara
keluarga itu memang memekakkan, dan tingkah mereka berlebihan, tetapi mereka
tetangga kita.”
“Terserah, itu sudah lama
terjadi. Aku harap kamu diam,” sahut Naya pelan tetapi sedikit penuh penekanan.
Karla tidak menjawab. Ia
memutuskan keluar dari rumah Naya tanpa sepatah kata. Di depan rumah Naya,
Karla mengirimkan pesan ke grup whatsapp kompleks perumahan mereka.
Naya yang menerbangkan keluarga Akmal.
Notifikasi ponsel Naya
berbunyi detik itu juga. Sebaris pesan Karla di grup langsung terbaca. Matanya
terhunus ke punggung Karla yang berjalan menjauhi rumahnya. Tangan Naya
seketika menari di atas ponselnya.
Sesaat kemudian, langkah Karla
terhenti. Ponselnya bergetar dan sebuah pesan dari Naya ia terima. Perlahan ia
membacanya. Bumsakdarkesembrotosengkasurutusingrotogozokosoooplatu
platusutukumbro
Seketika
tubuh Karla tertarik ke atas, kakinya terayun-ayun, tangannya melambai-lambai,
dan teriakannya tersapu angin. Hari itu Karla terlempar ke ruang angkasa, tanpa
seorang pun merekam peristiwa itu.
Surakarta, 1 Mei 2017
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!