Racau tentang Inklusi dan negeri ini

Mei 12, 2017

Dulu, kalau berbicara tentang inklusi, yang saya pikirkan adalah penempatan anak berkebutuhan khusus dan anak reguler di kelas yang sama. Pemikiran itu berkembang ketika dosen saya berkata bahwa kelas yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, bisa dikatakan inklusi, begitu pula dengan ras kulit hitam dan kulit putih. Seiring berjalannya waktu, ketika inklusi terus-menerus diperbincangkan saat kuliah, saya mendapat definisi yang lebih luas tentang inklusi. Inklusi adalah ketika semua anak menerima dan mendapatkan akses pendidikan yang sama serta sesuai kebutuhan mereka tanpa memandang kebutuhan khususnya, latar belakang agama, gender, budaya, status sosial, bahasa, dan kemampuannya. 

Mungkin, kita sering mendengar "Indonesia Menuju Inklusif" atau "Kota X Kota Inklusif" dan beragam slogan tentang inklusi. Slogan yang baik sebenarnya, lebih lagi  diharapkan dengan adanya pendidikan inklusif kesadaran terhadap anak berkebutuhan khusus meningkat, hak-hak mereka terpenuhi, dan mereka bisa mendapat pendidikan yang layak. Tetapi, ada hal yang mengganggu pikiran saya setahun belakangan ini. Hal-hal yang membuat saya agak muak dan mengait-ngaitkan dengan inklusi, dengan negara yang inklusif.

Setahun belakang, saya memutuskan untuk meminimalisir membuka sosial media semacam facebook, tidak membuka twitter di saat situasi politik memanas, dan berusaha tidak membaca komentar-komentar orang karena tidak tahan melihat betapa banyaknya ucapan-ucapan dan tindakan yang membawa-bawa isu SARA. Posting-posting yang menyebutkan etnis mereka paling hebat, agama mereka paling benar, agama x sampahlah, komentar-komentar yang terdengar jahat pada sebuah posting yang saya curiga cuma dibaca judulnya dan lainnya. Seperti ada yang salah. Ya, memang salah. 

Rasa-rasanya toleransi akan agama, suku, atau ras tertentu mengalami kemerosotan (atau hanya perasaan saya karena sekarang semua orang bisa dengan mudahnya bicara?). Saya sempat sebal dengan muncul kembali istilah pribumi-nonpribumi (yang mungkin dulu diciptakan untuk mengkocar-kacirkan Indonesiaistilah yang sebenarnya sudah dihapus di zaman Gusdur). Seperti lupa, kalau bangsa ini merdeka ketika pemudanya bersatu dan mengenyahkan suku-agama mereka. Seperti lupa kalau menteri-menteri pertama kita dari berbagai etnis dan agama. Seperti lupa pelajaran SD tentang Bhinneka Tunggal Ika dan sapu lidi sebagai contohnya. Indonesia nggak perlu penjajah lagi, terus-terusan intoleran dan sensitif dengan orang yang tidak sama dengan kamu, perlahan-lahan dia akan hancur dengan sendirinya.
Saya merasa sedih, seperti ada yang aneh. Ketika anak-anak di sekolah diajarkan untuk menerima perbedaan teman mereka yang berkebutuhan khusus dan berasal dari berbagai latar belakang, justru banyak orang dewasa yang mempermasalahkan perbedaan agama, suku, ras, gender, dsb. Saya pernah jadi anak-anak, saya pernah jadi murid, dan saya berada di kelas yang tidak dilabeli inklusi tetapi begitu inklusi. Ada 5 agama di kelas itu, ada berbagai suku di sana, dan saya merasakan bagaimana menyenangkannya berada di tengah keragaman. Bagaimana menyenangkannya dihargai dan menghargai. Hal-hal yang kemudian saya rindukan setiap saya melihat berita dan sosial media. 

Dear, saya tidak tahu sebenarnya saya ini sedang meracau apa. Saya hanya tidak ingin negara ini hancur karena warga negaranya sendiri tidak menghargai sesama. Saya hanya tidak mau, sebagian orang memperjuangkan inklusi untuk kaum difabel, tetapi sebagian lagi merusak inklusi dengan membawa-bawa perbedaan latar belakang keberagaman. Saya nggak mau, inklusi cuma jadi slogan untuk mereka yang difabel aja, tapi juga untuk semua. Karena bagi saya, inklusi berarti kita semua menerima keragaman yang ada, karena setiap manusia itu berbeda dan nggak ada yang sama. Negara yang inklusif adalah negara yang masyarakatnya bertoleransi tinggi, dan semoga Indonesia yang inklusif bukan cuma mimpi.

12/5/17

You Might Also Like

0 comments

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram