coffee, my mom and me
Mei 18, 2014Like mother like daughter.
Yeah, seringkali saya dengar kalimat itu. Atau kalau dalam bahasa Indonesia, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.
My mom is coffeholic. Baginya,kopi mungkin adalah nasi. Dia memilih nggak makan daripada nggak minum kopi. Pusing kalo nggak minum kopi. Okey,mungkin dia kecanduan.
Dan saya nggak tahu kenapa saya suka kopi. Meski saya tidak kecanduan,tepatnya saya membatasi untuk tidak kecanduan.
Ketika di SMP,SMA, saya hanya minum kopi sesekali. Tepatnya nyolong-nyolong kopi mama yang ditaro di meja. Kerjaan saya dan Obith,adik saya adalah berjalan, menemukan segelas kopi yang didinginkan di meja dan meneguk sedikit hingga banyak lalu berlalu. Mama selalu membuatkan teh atau susu untuk sarapan. Tentu saja bukan kopi untuk kami.
Awal kuliah, saya hanya minum susu. Ketika itu mata saya langsung melek ketika minum susu. Padahal seharusnya susu membuat ngantuk. Sesekali saya minum teh, dan juga minum kopi sanchet seperti Goodday or Nescafe. Semua masih biasa saja.
Liburan, dan saya membawa kopi Lampung yang biasa diminum di rumah. Saya mencampur Torabika dengan kopi hitam,saya mencampur susu,kopi dan oatmeal hingga saya membuat kopi hitam. Meski tidak terlalu sering.
Liburan lagi, dan saya membawa sebungkus besar kopi AA bawaan Papa dan Mama dari Jambi, kopi terenak menurut lidah saya. -Saya sedang tidak iklan- Awalnya kopi itu hanya menjadi campuran oatmeal,tapi akhirnya saya meminumnya. Kopi AA membuat saya jatuh cinta dengan kopi hitam. Dengan kopi itu saya belajar membuat kopi paling enak menurut lidah saya. Saya tidak langsung mendapat kopi dengan takaran yang pas, semua berproses,ada waktu-waktu dimana kopinya terlalu pahit atau terlalu manis. Hingga saya menemukan takaran yang akhirnya saya pakai selalu. Sejak itu, saya jarang meminum kopi instan.
Liburan again. Dan saat itulah saya sering ngopi bareng Mama. Mam bilang kopi saya terlalu pahit. Dan ya,kopi Mam sangat manis. Mam mengejek kopi saya yang pahit itu,tidak masalah kita bicara selera.
Semester 4 dan saya pulang membawa 4 bungkus kecil kopi AA. Berharap 1 bungkus kopi untuk sebulan. Saya kembali ke Solo awal Januari. Tapi,yang terjadi adalah di Bulan Maret kopi itu sudah habis. Entah apa yang terjadi, tapi sesekali saya pegal-pegal kalau tidak ngopi.
Ketika kopi hitam saya habis,saya pernah sekaligus minum 2 sanchet kopi instan. Ketika setelah beberapa hari tidak minum kopi dan saya rasa kopi instan sebungkus masuk begitu saja.
Saya membeli kopi hitam bergambar singa, tapi sampai sekarang kopi itu masih ada. Terlalu asam.
Saya membeli kopi tubruk angkringan,tapi sepertinya terlalu banyak campuran hingga seperti ampas.
Saya membeli kopi instan random, dan itulah yang saya minum karena kopi AA tidak dijual di Jawa.
Tapi saya tidak terlalu suka kopi instan, sebagian dari mereka terlalu asam,terlalu manis, dan berlabel white coffee.Kecanduan saya mungkin berkurang,karena kafein kopi instan tidak sekece kopi hitam.
Saya baik-baik saja meminum kopi hitam, namun kopi berlabel white coffee yang katanya sehat untuk lambung malah membuat saya mules. Aneh.
Saya ingin pulang dan kembali bertemu kopi hitam, dan meminumnya bersama mama. Sederhana saja *)
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!