#JustWrite

Perihal Punggung Merana

Juli 28, 2024

Perihal Punggung Merana

Aku meyakini bahwa aku manusia karena aku punya punggung. Sebentar, tidak hanya manusia yang punya punggung. Manusia hanyalah salah satu makhluk bertulang belakang. Salah satu bukan berarti satu-satunya. Kuharap manusia tidak jumawa karena memiliki punggung. Sapi pun punya tulang belakang alias punya punggung juga. Namun, aku tidak tahu, apakah sapi mau disamakan dengan manusia atau tidak. Bisa jadi sapi merasa tidak sudi disejajarkan dengan manusia karena manusia tidak memiliki glandula mamae sebanyak mereka, dan kurang merdu saat menyenandungkan,"Mooooo!". Aku juga tidak tahu apakah sapi-sapi itu sebenarnya ikhlas jika manusia meminum susu mereka. Aku bahkan tidak pernah mendengar pendapat sapi mengenai apakah mereka setuju susu mereka diberi gula dan perasa stroberi.

Beranjak dari sapi, karena itu hanyalah contoh. Tidak seperti panggung, punggung ada di bagian belakang. Karena ada di bagian belakang, aku tak pernah memperlihatkan punggungku saat mengobrol atau membayar es krim di warung. Memunggungi lawan bicara sangatlah tidak sopan. Membayar es krim dengan posisi membelakangi kasir juga merepotkan. Bagaimana jika tanganku ikut menjadi korban karena harus berputar saat memberikan uang? Tentu tidak ada orang yang ingin menjadi korban di dunia ini. Namun, kadang-kadang ada pula yang sengaja menjadi tersangka. Tersangka berasal dari kata "sangka" dan dapat kita artikan sebagai orang yang diduga atau dicurigai. Mereka yang dicurigai belum tentu benar-benar melakukan. Jika sudah terbukti, tersangka akan menjadi terdakwa. Mereka akan mendapatkan dakwaan. Melirik kasus sakit punggung merana, ada beberapa tersangka, tetapi belum juga ditetapkan terdakwanya. Aku pun tak ingin sembarang menduga. Karena menetapkan tersangkat tak boleh coba-coba.

Sebelum kita mencari tersangka dan membuat putusan kasus punggung merana ini, aku perlu memperjelas sesuatu. Sebenarnya ini sudah jelas. Namun, perlu kujelaskan kalau-kalau ada yang lupa. Bahwa punggung  ada di bagian belakang. Kita tidak bisa melihat punggung kita sendiri. Padahal, punggung bertugas menopang tubuh. Seperti koki yang ada di dapur dan bertugas membuat makanan.

Tugas punggung amatlah berat. Hanya saja karena berada di belakang, punggung hampir tidak pernah terlihat. Punggung pun jarang diapresiasi, ia tak tahu apa itu afeksi. Jika tidak tahu apa itu afeksi, negara kita menciptakan KBBI. Pasti akan kita temukan apa itu afeksi di sana. Kembali soal punggung, dibandingkan diberi afeksi, ia lebih sering disiksa dan dipaksa bekerja. Ia dipaksa untuk terus menopang tubuh, tanpa kita tahu apakah sebenarnya punggung bersedia atau tidak. Sama halnya dengan kita dipaksa hidup, tanpa tahu apakah sebenarnya kita ingin ada atau tidak. Kadang-kadang perihal ini-apakah Tuhan pernah bertanya apa aku mau hidup- ingin aku tanyakan pada Tuhan. Namun, apakah bertanya kepada Tuhan harus menghadapi ketiadaan? Atau aku boleh bertanya kapan saja? Ah, nanti dulu urusan pertuhanan. Aku menyakini sila pertama Pancasila. Tenang saja.

Kembali soal punggung, yang jelas, tidak ada organ wicara di punggung sehingga ia tidak bisa menjerit. Padahal aku tahu, punggung ini menangis juga. Sayangnya, ketika terus-menerus dipakai duduk dan memikul beban yang berat, seperti beban negara atau beban masyarakat, punggung tak pernah buka suara. Berbeda dengan mulut yang 6 jam saja tak diisi, sudah mencari-cari makanan untuk menstimulasi. Punggung selalu diam. Namun, belakangan kusadari, punggung tidak sehening itu. Punggung hanya... sedikit pasif agresif? Si tulang belakang itu tidak berteriak-teriak seperti perut keroncongan. Punggung masih pendiam, tetapi dia melempar kode-kode yang menyakitkan. Tidakkah ini lebih menyengsarakan?

Punggung tidak memecahkan gelas biar ramai dan mengaduh sampai gaduh. Ia hanya membuat nyeri dari dalam, dan manusia yang mengaduh. “Aduh, sakit sekali,” atau,”Nyeri punggung membuatku tak bisa melakukan apa pun.”

Sejenak aku berpikir dan menemukan fakta bahwa punggung masih setia meskipun ia tahu siapa tersangka dan terdakwa yang membuatnya merana. Punggung masih berpura-pura tidak ada masalah, padahal aku yakin ia ingin berpisah dari tubuh yang menyakitinya. Siapa yang mau bertahan dengan kemelekatan yang menyakitkan seperti tulang punggung pada tubuh tidak tahu diri ini?

Aku harap punggung tidak begitu saja menerima takdirnya. Aku meyakini disakiti dan diajak kerja rodi bukan takdir.  Punggung kan bukan jantung yang ditugaskan berdegug sampai manusia berakhir. Punggung diciptakan untuk menopang tubuh, dan tidak selamanya tubuh berdiri atau duduk. Ada satu kegiatan bernama tidur, saat itulah seharusnya punggung libur. Namun, para tersangka ini seringkali meminta punggung lembur. Punggung hampir tidak pernah diberi hadiah. Orang-orang berkata, mengabdilah sepenuh hati, biar Tuhan yang mengapresiasi. Oh, mengabdi tentu sepenuh hati, tetapi bukan berarti hanya diberi setengah gaji.  Keikhlasan tidak seharusnya disalahgunakan, dan pengabdian bukan berarti diperas habis-habisan. Ah, beberapa kalimat terakhir mungkin tidak berkaitan dengan punggung secara langsung.  

Punggung selalu disandingkan dengan penderitaan. Tulang punggung keluarga,  begitu disebutnya. Jika dirimu pernah belajar Bahasa Indonesia, ada namanya kiasan, yang berarti bukan berarti makna sebenarnya. Ketika seseorang menulis, dia adalah tulang punggung keluarga, ini tidak bisa kita artikan sebagai dialah yang menjadi tulang untuk setiap orang di keluarganya. Setiap manusai memiliki tulang sendiri-sendiri. Kecuali jika kita ke Medan, ada tulang yang lain. Tulang punggung pada contoh itu bisa berarti, ia lah yang menanggung biaya hidup seluruh keluarganya. Oh, ini hanya contoh. Karena bisa jadi bagian membayar listrik bukan dirinya. Tidak semua orang ingin menjadi tulang punggung.

Punggung berbeda dengan lidah yang kerap dikaitkan dengan kenikmatan. Siapa yang mengecap kopi di pagi hari? Lidah. Siapa yang merasakan nikmatnya bumbu pecel? Tentu lidah. Namun, siapa yang merana akibat memikul semen demi memuaskan lidah dengan nasi padang? Punggung, siapa lagi. Kadang-kadang bahu, pinggang, dan pertulangan lainnya ikut menderita. Hal ini jadi membuatku bertanya, apa hidup setidak adil itu, bahkan pada tubuhmu? Ada bagian yang kerjanya menikmati jerih payah, dan ada pula bagian yang selalu bersusah payah.

Aku terdiam cukup lama hingga menyadari, punggung lebih sering merana dibandingkan lidah. Apakah ini berkaitan dengan lidah tidak bertulang? Sedangkan tulang punggung adalah tulang, dan bekerja sering disebut banting tulang. Mengapa tulang harus dibanting? Dan apakah menyiksa tulang untuk bekerja adalah hal yang penting? Lalu, untuk apa kita bekerja? Apa setiap manusia harus bekerja? Bagaimana jika kita hanya tidur-tiduran saja untuk menghormati punggung yang merana? Aku masih percaya Tuhan mengadakan aku untuk berpartisipasi mengelola bumi, bukan membanting-banting tulang dan punggung ini. Andai aku atlet beladiri, mungkin tujuan hidupku adalah membanting lawanku.

Beberapa orang pernah mengalami sakit punggung. Namun, tidak semua sakit punggung akibat kurang diapresiasi. Seperti tidak semua penyakit karena mental yang disakiti. Bisa jadi karena kerap diajak kerja rodi. Arti kerja rodi sudah mengalami pergeseran sejak zaman nenek terima raport hingga sekarang. Beberapa orang menyebut kerja rodi sebagai bekerja tanpa henti. Padahal ketika bekerja kita perlu sesekali berhenti.

Bekerja terus-menerus dan tak berhenti kabarnya bikin kita cepat mati. Apakah cepat mati adalah hal yang bagus? kurasa tiap orang memiliki pandangan berbeda. Pandanganku sendiri biarlah kusimpan di kepala untuk sementara. Sebab beberapa orang terkadang tidak menerima jika kepalamu berpikir berbeda. Padahal kita punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan kan tidak selalu warna kulit. bisa jadi berbentuk perbedaan pendapat. Seperti pendapat-pendapat menyoal mengapa punggung bisa merana, siapa saja terdakwa dan yang akan menjadi tersangka. Siapa saja bisa menjadi tersangka, tinggal dari mana sudut pandangnya. Kita juga perlu melihat di manakah sakit punggung ini terjadi. Sebab beberapa tempat mungkin menjadikanmu tersangka tanpa sebab, atau membebaskanmu karena sebab tertentu.

Setelah menimbang-nimbang, aku jadi berpikir, mencari tersangka punggung  merana saat ini kuranglah tepat. Jika punggungku merana sebab kursi, bagaimana aku menuntutnya? Aku tidak tahu siapa yang membuat kursi ini. Aku juga tidak bisa menyalahkan si pembuat karena kursi ini kurang ergonomis. Pembuat kursi kan tidak tahu ukuran tubuhku saat membuatnya. Lagipula, bisa jadi ini salahku saat memilih kursi.

Aku jika tidak mau menyalahkan otakku karena lupa mengingatkan diri untuk menegakkan punggung saat bekerja. Tugas otakku sudah banyak, kurasa ia akan burn out jika kusuruh sedikit-dikit mengingatkan punggung untuk membungkuk. Namun, ini juga bukan salah punggung itu sendiri. Pasti ada sebab mengapa ia membungkuk, dan ia bisa lelah juga. Lalu dari berbagai kemungkinan-kemungkinan lain, aku memutuskan untuk berhenti mencari tersangka punggung merana ini. Mengapa aku sibuk menghabiskan waktu mencari mengapa-ini-terjadi ketimbang memutuskan bagaimana-ini-kutangani?

Terkadang, terus-menerus bertanya mengapa hanya membuat kita makin merana. Maka aku berhenti untuk meracau tanpa jeda. Malam ini aku akan yoga, juga mengoleskan Natrium Diklofenak pada punggung merana ini. Aku juga akan menambah asupan vitamin B kompleks, vitamin D, dan kalsiumku. Juga membenarkan posisi tubuhku yang kerap miring ke kanan dan kiri. Begitulah punggungku meminta. Sebab sudah kukata padanya, serukan yang lantang jika kau lelah dan merana.

Aku masih meyakini bahwa aku manusia karena aku memiliki punggung. Juga semakin yakin aku benar-benar manusia karena punggungku merana. Sebab rasa sakit manusia ada batasnya. Karena itulah punggungku berkata,”Aku merana!”.


28.7.2024

Saat Ginting baru saja menang, dan Rinov-Pitha digeprek 3-21.

 

 

 

 

 

 

 


#JustWrite

Tentang Kepalaku

Mei 21, 2024

Kadang-kadang, aku merasa kepala ini menyulitkanku. Misalnya, tiba-tiba kepalaku terasa pusing. Pernah juga aku jadi terhuyung-huyung tanpa sebab. Kepalaku juga pernah mencengkeramku ketika aku belum minum kopi. Tidak lupa, kepala adalah sumber kecemasan nomor satu yang kumiliki. Kepalaku butuh tidur, tetapi ia juga yang kerap memaksaku terjaga. Misalnya untuk menjawab pertanyaan yang aku tidak tahu jawabannya. ,"Kenapa kamu masih ada di dunia?" atau "Bagaimana melanjutkan hidup yang tidak pernah kausuka?"

Belakangan kepalaku semakin berat. Bersamaan dengan kabut kelabu yang kian hari kian pekat. Padahal ini bulan biasanya kepalaku berdebat. Namun, jika kuingat, kepalaku memang tampak terlelap di awal tahun. Padahal, awal tahun beberapa waktu ke belakang, kepalaku biasanya membuat ulah dengan adukan hormon yang membuatku kosong setiap bangun tidur. Kepalaku yang nakal ini seringkali kelabu ketika aku selesai berhibernasi. Namun, mengapa kini kepalaku harus sekarat saat tugas-tugas kian menumpuk menjadi berat? 

Ketika lahir, bagian yang paling besar adalah kepala. Ketika usia menanjak, masalah selalu datang dari kepala. Tentunya aku menyayangi kepalaku. Tanpa kepala aku kan hanya seonggok tulang dengan daging yang teramat tipis. Mungkin karena saat tidur pun kepalaku tidak tidur, ia menjadi semena-mena terhadapku.

Aku menyesali kepalaku yang harus berada di ruang kelabu sekarang. Padahal aku hendak mengerjakan hal-hal yang menyenangkan. Ada banyak hal yang kusukai yang pasti membuatku jumpalitan jika saja kepalaku sedang tidak kusut tak karuan. Bahkan hal-hal menyenangkan pun tidak diberi jalan untuk membuat hatiku riang. Dasar kepalaku!

Siang ini aku mengadukan kepalaku. Kali-kali saja sindiran ini menyadarkannya. Ia mungkin bisa membersihkan gumpalan awan-awan kelabu tak diundang itu.Aku akan kembali saat kepalaku menjadi peri baik hati lagi.

#JustWrite

Pada suatu hari...

Mei 11, 2024

 Pada suatu hari, yang aku inginkan adalah mati muda. Kukata pada Tuhan, izinkan aku berakhir sebelum dua puluh empat. Namun, Tuhan tidak mendengarkanku. Mungkin ada yang harus kulakukan, pikirku begitu. Entah apa pun, kurasa kuhanya terus-menerus dihantam kehidupan yang tidak menyenangkan. Tuhan tidaklah jahat, tidak, tidak pernah Tuhanku jahat. 

Pada suatu pagi, aku lalu berharap lagi. Tuhan, izinkan aku bergabung di klub dua puluh tujuh. Namun, doaku sepertinya terlalu jauh. Biar aku berpeluh, biar aku mengeluh, aku masih ada. Meskipun aku tiada tahu artiku ada untuk apa, aku masih ada. Meskipun aku tak berdoa berumur panjang, Tuhan memanjangkannya. Lihat, Tuhan terlalu baik padamu. Lihat, dia memberi kesempatanmu untuk menjawab pertanyaan yang sampai kini belum terjawab itu.

Pada suatu waktu, aku masihlah takut menua. Aku tetaplah manusia yang tak ingin mencapai usia terlalu tinggi. Aku manusia yang menyadari aku bukanlah apa-apa, dan Tuhan memberiku waktu untuk bersiap menghadapNya. Sebab bekalku belum cukup, sebab aku terlalu buruk, mungkin begitu. Sebab yang kutahu, menghadap Tuhan adalah kepastian yang paling pasti yang aku tahu pasti terjadi.

Pada suatu hari yang tidak pernah terjadi, aku ingin berterima kasih sebab Tuhan membuatku ada. Walau aku tidak pernah bisa menjawab mengapa aku harus ada, mengapa aku harus terus ada, dan mengapa aku harus bertahan untuk tidak meniadakan diri.

Aku ada bukan karena aku, maka tiada boleh kumeniadakan diriku. Maka pada suatu hari, aku akan menghadapnya dengan senyuman. Kalau-kalau saat bertemu denganNya lah aku tahu mengapa aku ada dan harus ada di dunia, sesuatu yang kurasa... tidak pernah kuminta.

#JustWrite

Mungkin aku harus menulis di blog lagi

Juni 13, 2023

 Sudah lama aku tak membuka blog, dan aku berpikir bukankah menyenangkan jika aku kembali dan kembali perlahan-lahan menulis fiksi lagi? Belakangan aku menyadari bahwa salah satu hal yang membuatku dulu bisa konsisten menulis adalah karena hampir setiap hari aku menulis di blog. Tulisan-tulisan yang muram, sangat muram, dan sebagian sudah ku unpublished karena terlalu muram dan depresif. 

Entah, ada apa dengan tampilan blog sampai aku merasa sangat bebas menulis di sini, lebih terbuka, bahkan merasa sangat nyaman ketimbang menulis di Word atau Google doc, misalnya. Mengenai menulis tangan tak usah dibahas karena tulisanku jelek, menuju kehancuran, dan aku benci menulis tangan.

Belakangan aku berpikir, mungkin saja jika aku ingin kembali menulis fiksi, aku harus kembali menulis di blog seperti dahulu. Mungkin, ini ide yang menarik untuk melatih habit menulisku lagi. 


#JustWrite

Kelinci di Lubang Sampah

Februari 02, 2021

Jikalau dongeng selalu dimulai dengan kata-kata seperti 'pada suatu hari' maka anggap saja tiga kata itulah yang memulai cerita ini. Pada suatu hari seekor kelinci kecil berbulu kelabu melompat-lompat di sebuah taman. Matanya menjelajah rerumputan, melihat bunga warna-warni yang basah oleh tetesan embun.  Musim panas telah tiba, ia bermain di taman dengan riang gembira.

Semuanya terasa menyenangkan, sampai ia melihat lubang berdiameter sekitar 37 cm di pinggir taman, di bawah pohon mangga yang sedang berbunga. Separuh bagian lubang itu tertutup oleh besi tua berbentuk lingkaran yang penuh karat. Besi itu seharusnya menutup lubang rapat-rapat. Namun, siapa yang tahu kalau ada tangan usil yang menggeser besi karat itu untuk membuang "sesuatu". Kotak sampah mungkin terlalu jauh hingga lubang pun menjadi solusi. Manusia menciptakan kotak sampah, tetapi mereka pula yang malas menggunakannya. Ya, begitulah manusia, makhluk paling merasa benar sedunia.

sumber gambar

Kembali lagi soal kelinci itu, ia adalah seekor kelinci yang iseng. Kadang-kadang ia tidak berpikir panjang, mungkin karena telinganya tidak begitu panjang. Kadang-kadang ia memanjat pohon lalu menangis hingga pemadam kebakaran datang menolongnya. Aku basah kuyup karena melompat-lompat di bawah air mancur yang berada di tengah taman. Hari itu ia pun tidak menggunakan gumpalan jeli di kepalanya untuk berpikir. Sepertinya, setan impulsif sedang bersamanya tatkala ia masuk ke lubang itu. Lubang yang dalam dan gelap. Lubang yang menjadi penyesalan terbesar dalam sejarah 24 bulan hidupnya di dunia.

Lubang itu gelap, becek, sempit, dan seperti tak berujung. Kelinci itu tidak berani melompat setinggi biasanya. Ia mendadak menjadi siput, berjalan pelan, mengendap, dan memastikan tak ada apa pun yang melukai dirinya.

 Sampah memenuhi kanan dan kiri jalanan di dasar lubang. Bungkusan-bungkusan bergambar kacang, tumpukan baju, hingga tak lagi bergambar terlihat bergerak ke kiri dan kanan di dasar lubang. 

Mereka tampak hidup! 

Sayangnya, setiap badan kelinci itu terkena bungkusan yang melambai-lambai tertiup entah angin dari mana, badannya tergores. Kadang hanya goresan tidak berarti, tetapi sesekali darah mengalir dari tubuh si kelinci. Bulu kelabunya sudah tak lagi mengembang, perlahan ia menjadi kelinci menyedihkan.

Lubang itu tidak menyediakan makanan yang layak tentu saja. Apa yang bisa kau harapkan dari lubang sampah? Kelinci pun kadang menyesali, mengapa sudah tahu lubang sampah masih ia masuki? Mengapa ia terlalu iseng kala itu? Juga kenyataan bahwa mengapa yang ditanyakan tak akan mengubah kenyataan. Jikalau penasaran apa yang dimakan Si Kelinci, kadang-kadang ia menemukan apel nyaris busuk, sepotong wortel, atau sayuran layu. Mungkin, dari pembuangan sampah atau... entahlah. Kelinci tidak dapat berpikir apa-apa selain bagaimana cara keluar dari lubang keparat itu. Sekeras apa pun ia berteriak, pertolongan tak kunjung datang. Sekuat apapun ia mengeluh, se

Kian hari lubang itu semakin gelap. Semakin kelinci itu bergerak maju, semakin banyak keanehan menyengsarakan yang ia temui. Ada raja semut yang menggigit apa pun hingga tubuhnya tambun. Ada ratu semut yang mungkin saja terus berceloteh sambil mengeluarkan api yang membakar apa saja. Termasuk mengenai bulu kelinci itu. Kadangkala ada katak bertanduk hingga kecoa-kecoa yang tak pernah berhenti mempertontonkan aksi terbang berbagai gaya

Kelinci itu terus berjalan dan tidak kunjung menemukan pintu keluar. Badannya sudah kian kurus sebab tak terurus, bulunya rontok, matanya sendu, telinganya tak lagi tegak. Jauh di dalam hati Si Kelinci, sekalipun ia tak ingin berumur panjang, ia tak mau mati di dalam lubang keparat nan mengerikan. 

Hari ini Si Kelinci Abu tidak lagi berjalan. Ia  meringkuk di dekat tumpukan kulit pisang. Ia tak tahu apakah binatang juga boleh bertuhan. Atau Tuhan sudah tak anggap ia binatang, tetapi bagian dari sampah yang hidup di lubang pembuangan. Tanpa tahu apa salahnya, mungkin Tuhan sedang menghukumnya. Jika Tuhan suka menguji manusia dengan kesenangan dan kesedihan, Si Kelinci tidak mengerti mengapa ia tak pernah merasakan apa itu kesenangan sejak masuk ke dalam lubang. Mungkin Tuhan tidak ada bagi kelinci, hingga lupa memberikan kesenangan meski berada di kegelapan. Mungkin Tuhan juga lupa ada kelinci, sebab sampah-sampah ini menutupi. Namun, Si Kelinci masih yakin Tuhan baik hati termasuk pada kelinci. 

Kelinci itu terus berdoa, jika usaha tidak lagi bekerja, mungkin satu-satunya yang ia masih bisa lakukan hanyalah berdoa.

"Kalau aku tidak bisa keluar dari lubang ini segera, biarlah aku mati muda. Lubang ini begitu menyiksa. Bukankah Tuhan Yang Mulia tidak akan pernah kejam pada hamba-Nya?"


2.2.2021

Popular Posts

My Instagram