#AnakKost

Masih mau ngancem orangtua?

Mei 30, 2017

Akhir-akhir ini, gue sering lihat berita yang mungkin kebetulan sejenis. Like, gue baca berita ada bapak-bapak yang beli HP dengan pecahan uang dua ribuan, karena anaknya nggak mau sekolah kalau nggak dibeliin android. Atau gue nonton 86 yang anak SD kelas 6, udah pacaran, main sampai tengah malam, dan kalau nggak dibolehin main, mengancam yang aneh-aneh. Berita-berita macam itu sebenarnya mungkin sering gue dengar dari dulu. Berita-berita semacamnya yang intinya banyak anak-anak yang meminta sesuatu ke orang tua tanpa sadar kemampuan orangtua mereka, banyak yang mengancam orangtua demi melakukan sesuatu yang salah. Hal-hal yang kadang bikin gue sedih dengarnya. Iya, nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini gue mendadak jadi sensi dengan lingkungan sampai gue menutup twitter dan facebook demi kesehatan gue.

Gue bukan anak paling baik sedunia, gue juga masih kuliah dan masih diberi uang bulanan tiap akhir bulan. Gue masih menyusahkan orangtua gue dari segi finansial, menang lomba atau fee proyek nulis pun nggak seberapa. Mungkin gue nggak pantas mengkritisi mereka, dan belum tentu gue lebih baik dari mereka. Gue mungkin perlu bersyukur karena gue tidak pernah meminta, orangtua gue yang ngasih duluan, kalau mereka nggak kirim-kirim gue uang bulanan, mungkin memang sedang tidak ada dan itulah pentingnya gue untuk menabung. Tapi, dari kecil, gue selalu diajarkan, kalau gue mau sesuatu, gue harus usaha, kalau kurang, baru mereka bantuin. HP pertama gue, waktu SMP, adalah hasil tabungan lebaran, menang lomba waktu SD, dan gue jualan stiker yang kemudian ditambahin bapak gue. Kamera gue yang sekarang, setengahnya adalah hasil jualan buku bekas hampir setahun dan setengahnya lagi dari ibu gue. Mungkin dia kasian karena gue kehilangan kamera gue dari SMA. Gitu juga dengan HP yang sekarang gue pakai, HP gue rusak, ibu gue memberi sejumlah uang yang kalau gue mau lebih dari itu, pakai uang sendiri. Tetapi, gue merasa, gue nggak begitu butuh hp yang cetar, hp gue cuma J1 mini. HP apalah itu kalau dibandingin temen-temen gue. Gue sadar, gue bukan orang kaya, dan gue merasa jahat kalau gue meminta sesuatu yang mahal.

Dear, gue bukan mau menasehati atau apa, siapalah gue ini. Gue hanya ingin berkata bahwa sadar, lu itu siapa, dan siapa orangtua lu. Sadar, sebatas mana kemampuan orangtua baru lu minta. Orangtua mana yang nggak mau anaknya senang, orangtua mana yang nggak mau memberikan apa yang diinginkan anaknya, tapi sadar, kemampuan orangtua lu itu semana. Jangan meminta apa yang mereka nggak mampu, lu tahu, orangtua lu akan sedih ketika dia nggak bisa ngasih apa yang lu inginkan bahkan tanpa lu marah-marah. Tanpa lu sadar, lu-lu pada yang minta motor atau mobil di usia muda dan ngancem aneh-aneh padahal orangtua lu nggak mampu, lu udah memberatkan pikiran mereka. Bahkan, gue pernah dengar, ada bapak yang kena serangan jantung dan meninggal karena anaknya minta motor mahal dan ngancem yang aneh-aneh. Lu mau orangtua lu meninggal hanya karena itu? Lu yang ngancem-ngancem, emang lu udah ngasih apa ke orangtua lu? Apa sekolah lu bagus? Apa lu membanggakan mereka? Apa lu bantuin mereka di rumah? Lu sadar itu? Lu sama aja kayak demo-demo di depan istana negara, minta macem-macem, padahal bayar pajak aja kagak.

Orang-orang pada akhirnya nggak melihat lu dari kendaraan apa yang lu pakai, Hp apa yang lu pakai, baju apa yang lu pakai. Kalau lu memang mampunya 20, jangan maksa 30. Kalau teman-teman lu memaksa lu untuk seperti mereka, pikirkan lagi pertemanan kalian. Pertemanan nggak sepicik itu. 

Sudahlah, selamat puasa. 
Maaf kalau gue ber-lu-lu. Gue nggak bermaksud menuduh orang, nuduh lu, dan gue memang sering ber-lu-gue dengan diri sendiri. Dan, gue merasa lebih lepas kalau gue ber-lu-lu.

#Imajinasi

Puisi-puisi abal gue di Wattpad

Mei 29, 2017

Honestly, gue bukan tukang baca buku puisi atau sejenisnya. Kadang susah buat gue untuk paham maksud dari puisi meski gue kadang baca-baca aja tanpa peduli banyak untuk menelaah lebih jauh. Itu juga yang sering terjadi saat gue nulis racauan yang mungkin bisa dikatakan sebagai puisi, meski gue merasa itu terlalu memalukan disebut puisi. Tetapi... kata teman gue, gue harus menghargai karya gue. Sebenarnya, gue bisa aja menulis puisi di blog ini, cuma dulu, gue sedang senang meracau karena entah kenapa, enak aja nulis di aplikasi wattpad di HP. Sekarang sih, gue udah bosan dan udah lama banget nggak nulis puisi lagi. Gue nulis racauan kalau gue lagi merasa ga baik-baik saja, atau justru waktu baik-baik saja. Sayangnya, sampai sekarang susah buat gue untuk nulis sesuatu yang bahagia, biar gue lagi senang, kadang gue nulis yang menyedihkan. Oke, jadi di bawah ini ada beberapa kumpulan puisi abal gue.
Yang pertama, ada Abu-abu. Gue gabisa ngasih judul, dan abu-abu itu, puisi pertama dan posting pertama di akun gue. Akun gue namanya PlutoPamit. Dulu gue iseng, gue pengin kasih nama Pluto aja, tapi harus 6 karakter, jadilah gue kasih nama PlutoP, dan gue ubah jadi Plutopamit kemudian.




Setelah itu, gue nulis Juni untuk Juli, itu, proyek iseng gue nulis selama Juni-Juli.



Dan terakhir, ada The Escapist, ini masih on going sih, cuma karena gue memutuskan untuk puasa Wattpad, dan gue udah bosen publish di Wattpad, kayak lebih enak nulis di blog atau di word aja gitu, jadi dia terabaikan.


Yasuda, selamat puasa, semoga postingan ini bermanfaat.

#JustWrite

Keluarga yang Terlempar ke Luar Angkasa (Cerpen)

Mei 25, 2017

Kegaduhan pagi ini dimulai dari teriakan Mbah Sastro, lelaki berusia tujuh puluhan, mantan dosen seni rupa yang memelihara selusin burung di halaman rumahnya. Lelaki bersarung kotak-kotak dengan kaus putih itu berteriak,”Mereka terbang! Hei, mereka terbang!”
Awalnya, tidak ada yang memperhatikan teriakan Mbah Sastro, pagi masih begitu sepi, sampai tukang kebun mereka, Kerik, turut melihat ke angkasa dan terpana. Kerik semula mengira Mbah Sastro menunjuk kawanan burung seharga jutaannya lepas dari sangkar, tetapi yang kemudian dilihatnya adalah tiga orang manusia bergandengan melayang-layang dan terpental-pental di langit. Tubuh mereka sesekali terlihat seperti melompat-lompat, sesekali terombang-ambing,mendadak berputar-putar seperti komedi putar, lalu secepat kilat tertarik ke atas hingga tak lagi terlihat.
Semuanya peristiwa tadi terekam dalam kamera ponsel pintar Kerik. Tangan kapalannya tergerak untuk mendokumentasikan kejadian itu karena berpikir video amatirnya bisa menjadi bukti sejarah seperti rekaman video-video amatir saat tsunami Aceh. Bagi Kerik, ia tidak mungkin memanjat tiang listrik dan meloncat dengan sprei yang diikat di pundak seperti Superman untuk menolong keluarga itu. Pun, istrinya, berkata bahwa ia membutuhkan Kerik yang apa adanya, maka ia tidak perlu menjadi Superhero, misalnya. Kerik memilih mendokumentasikan daripada sok jagoan.
“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Mbah Sastro, lebih seperti berbicara sendiri ketimbang berbincang dengan Kerik.
“Mereka terbang. Bu Ninik, Pak Akmal, dan anaknya Imora terbang,” jawab Kerik. Lalu menunjukkan video rekamannya. Video yang baru saja ia sebarkan di grup whatsapp ‘Perumahan Srikandi’. Video yang memancing setiap orang di perumahan keluar dari rumah mereka dengan keadaan apa adanya sambil memandang langit dengan sejuta tanya. Sebagian masih menggunakan daster, beberapa memilih berpiyama, dan sekumpulan bapak-bapak yang mengenakan kaus dalam putih dengan celana pendek atau sarung. Semuanya memegang ponsel, dan bisik-bisik mulai terdengar. Segerombol anak kecil tertawa berlarian tanpa peduli bahwa salah satu teman main mereka yang cengeng, Imora, baru saja terlempar dari bumi, mungkin ke luar angkasa. Hari itu, Minggu 30 April, televisi-televisi, juga portal berita online heboh dengan sebuah berita berjudul ,”Keluarga yang Terlempar Ke Luar Angkasa”

Banyak spekulasi yang muncul mengapa mereka terbang di angkasa dan hilang begitu saja.  Bu Laksmi agak gendeng, percaya bahwa mereka dipilih Tuhan untuk mendapatkan hidayah baru atas agama baru. Cucu Mbah Sastro, Bima dan Yudhistira, percaya bahwa Bu Nini dan Pak Akmal berencana bercinta di luar angkasa agar bisa kembali ke dunia dan menyenandungkan lagu Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa. Tante Gita, guru fisika di sebuah SMA percaya bahwa ada gaya gravitasi yang sangat kuat yang menarik mereka. Masih banyak lagi pendapat lain, mulai dari yang dapat diterima akal pikiran hingga terlalu imajinatif.
Semua pendapat itu seketika terbantahkan ketika polisi yang menggeledah rumah keluarga kecil itu menemukan secarik kertas berwarna merah muda dengan tulisan biru bertuliskan : Suara kalian begitu memuakkan, bernyanyilah, teriaklah, menarilah, enyahlah kalian ke luar angkasa! Bumsakdarkesembrotosengkasurutusingrotogozokosooo platu-platu.
Berhari-hari polisi melakukan penyelidikan, tetapi tidak juga menemukan jawaban. Rumah keluarga kecil itu kemudian ditempati saudara mereka. Tidak ada yang membicarakan terlemparnya keluarga itu sekarang.  Tetapi Kerik, patut berbangga. Ia menjadi komedian di layar kaca. Tingkahnya yang lucu saat diundang sebagai saksi mata di berbagai televisi mengundang gelak tawa dan ia pun pensiun dari tukang kebun. Sekarang, tiap malam, ia muncul di televisi bersama Sule. Memang tidak ada lagi yang membicarakannya, tetapi semua warga ingat. Termasuk Karla.
pinterest
Karla mengira itu hanyalah buku catatan biasa milik tetangganya, Naya. Maka, ia dengan santainya membaca buku catatan itu sambil mengunyah keripik singkong dan menonton Kerik di televisi. Naya sedang mandi dan mata Karla terus menelusuri kata demi kata di buku itu.
Saya benci tetangga saya.
Tidak ada alasan yang pasti mengapa saya membencinya selain sulutan emosi tiap kali mendengar suara-suara mereka yang masuk lewat lubang angin. Suara-suara sumbang dan cempreng yang menyulut emosi saya. Suara-suara yang tak pernah saya izinkan memasuki gendang telinga saya tetapi dengan mudahnya menggetarkan koklea dan otak menangkapnya dengan mudah, semudah ketidaksukaan saya.
Seperti cinta yang kadang tanpa alasan, seperti itulah ketidaksukaan saya pada suara-suara dari rumah sebelah. Tanpa alasan. Kekesalan yang tak diketahui mengapa saya begitu tidak suka dengan suara-suara yang mereka ucapkan. Seperti ketidaksukaan saya pada suara keran bocor yang meneteskan air perlahan-lahan, layaknya ketidaksukaan saya pada tempe busuk dan terong rebus.
Saya tinggal di perumahan yang padat penduduknya. Selain manusia, perumahan ini juga dihuni sapi-sapi, kambing-kambing, beberapa burung  dan ayam petelur. Tetapi, ini bukan peternakan. Ini hanya kompleks perumahan padat kelas menengah ke bawah di mana untuk menghemat, si juru gambar membuat tiap rumah berdampingan. Ini adalah hal yang paling saya sesalkan. Mengapa ayah saya membelikan rumah ini sebagai tanda kebebasan saya karena diterima kerja sebagai ... sebaiknya saya tidak terlalu mengumbar tentang pribadi saya.
Saya tidak pernah membenci tetangga tanpa sebab sebelumnya. Saat masih kecil, saya pernah tidak suka dengan ibu teman saya yang tiap saya bermain dengan anaknya, ia sibuk membicarakan ibu teman saya yang lain yang bersama pembantunya. Mereka duduk di meja makan, mengudap pisang sambil menceritakan hal yang sebaiknya tidak dibicarakan. Saya juga pernah membenci tetangga saya yang membuang sampah di halaman belakang rumah saya. Saya menyadari bahwa halaman kami memang luas, bahkan teramat luas sampai ayah dan kakak saya sering bermain bola di sana. Tetapi, bukan berarti sebuah tanah lapang bisa dengan seenaknya digunakan sebagai tempat membuang sampah. Saya kesal dan geram, belum lagi mereka tidak mengaku. Maka saya juga tidak mengaku saat menaburkan satu ember daun mangga yang banyak semutnya di depan rumah mereka. Masih ada cerita lainnya.
Ini adalah kasus baru, membenci tanpa tahu mengapa. Tidak suka hanya karena suara. Dan lebih anehnya, saya tidak pernah bertatap muka dengan mereka yang tinggal di belakang rumah saya. Ya, belakang dan bukan di kanan atau kiri. Kalau pernah bertemu juga, saya tidak tahu mereka yang mana.
Rumah yang ditempati tetangga yang saya benci adalah rumah seorang nenek renta pada awalnya. saya sering mendengar suaranya terbatuk-batuk atau memanggil pembantunya, entah mengeluh tehnya tidak panas atau sekadar merasa pegal-pegal. Suara nenek itu tidak pernah menganggu telinga saya, saya merasa baik-baik saja sampai nenek itu suaranya tidak lagi terdengar. Ia belum meninggal, hanya saja anaknya yang tertua membawa nenek itu untuk tinggal di rumah mereka sebagai baktinya. Saya tahu itu dari obrolan dua pembantu saat membeli sayur, kebetulan salah satunya adalah pembantu si nenek yang sekarang pun ikut pindah. Si nenek sangat menyayangi pembantunya.
Andai si nenek tidak pindah, mungkin cerita saya tidak akan menceritakan ini. Suatu hari, setelah berminggu-minggu rumah si nenek kosong dan saya hanya mendengar tokek tiap malam, terjadi kegaduhan di rumah itu. Suara-suara cempreng yang menyakitkan telinga saya dimulai. Tidak begitu ingat, tetapi suara yang pertama kali mengusik emosi saya adalah soal sikat gigi.
“Pokoknya, kirimkan sikat gigi Imora ke rumah baruku. Imora hanya mau sikat gigi itu, lagipula susah mencari sikat gigi seperti itu di sini. “
Yang saya lakukan pertama ketika mendengar suara wanita dengan aksen suatu-daerah-yang-tidak-ingin-saya-sebut adalah membuat kernyitan di dahi. Sebegitu pentingkah sebuah sikat gigi? Lebih lagi ucapan menyoal Imora-hanya-mau-sikat-gigi-itu membuat saya bergidik, membayangkan usia Imora yang sepertinya masih balita, sikat gigi seperti apa yang begitu hebatnya sampai harus dikirimkan dari rumah lama yang saya tahu ribuan kilometer dari kompleks ini, dan ... sudah berapa lama sikat gigi itu dipakai? Bukankah sikat gigi paling tidak diganti 2-3 bulan sekali? Membayangkannya saja sudah jijik.
 Seperti ungkapan sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, kebencian saya terhadap mereka membukit. Tentu saja karena anaknya yang mungkin tidak pernah berganti sikat gigi itu terus-terusan menjerit, ibunya balas memekik, dan bapaknya tertawa sumbang. Juga ungkapan cinta sang ibu terhadap anaknya yang berlebihan seperti: Oh, Cintaku, mau makan dengan tempe goreng hari ini? Astaga, kamu begitu cantik seperti Annabelle.
Sebentar, bukankah Annabelle menyeramkan?
Kebencian akan suara mereka membuat jantung saya berdetak tak karuan. Seperti semua emosi negatif berkumpul menjadi satu. Layaknya bom atom yang siap untuk diledakkan kapan saja tiap tersulut kebencian akan teriakan memanggil sang ibu dengan isakan dan kata marahnya. Saya tidak suka mendengar anak yang memarahi ibunya dan ibu yang merasa bersalah dimarahi anaknya bukan atas kesalahannya.
Pagi itu, bom atom itu meledak. Saya kirimkan selembar kertas beserta mantra yang bisa mendepak mereka dari bumi ini. Selembar kertas yang dibaca sang ibu dengan suara cemprengnya, yang mengantarkan mereka ke langit dan  mungkin tinggal di luar angkasa. Saya merasa...

“Tidak sopan! Membaca tulisan orang sembarangan!” teriak Naya, ia berlari dari toilet dan langsung melompati sofa. Mengambil buku hariannya dan melemparkan tatapan penuh hunusan pedang ke arah Karla.
“Kamu jahat, Naya. Suara keluarga itu memang memekakkan, dan tingkah mereka berlebihan, tetapi mereka tetangga kita.”
“Terserah, itu sudah lama terjadi. Aku harap kamu diam,” sahut Naya pelan tetapi sedikit penuh penekanan.
Karla tidak menjawab. Ia memutuskan keluar dari rumah Naya tanpa sepatah kata. Di depan rumah Naya, Karla mengirimkan pesan ke grup whatsapp kompleks perumahan mereka.
Naya yang menerbangkan keluarga Akmal.

Notifikasi ponsel Naya berbunyi detik itu juga. Sebaris pesan Karla di grup langsung terbaca. Matanya terhunus ke punggung Karla yang berjalan menjauhi rumahnya. Tangan Naya seketika menari di atas ponselnya.
Sesaat kemudian, langkah Karla terhenti. Ponselnya bergetar dan sebuah  pesan dari Naya ia terima. Perlahan ia membacanya. Bumsakdarkesembrotosengkasurutusingrotogozokosoooplatu platusutukumbro

Seketika tubuh Karla tertarik ke atas, kakinya terayun-ayun, tangannya melambai-lambai, dan teriakannya tersapu angin. Hari itu Karla terlempar ke ruang angkasa, tanpa seorang pun merekam peristiwa itu.


Surakarta, 1 Mei 2017

#JustWrite

When you a morning person but a night owl too

Mei 25, 2017

Gue sedang mengalami krisis konsentrasi, dan sedang berpikir keras untuk memodifikasi diri gue untuk lebih tertata jam kerjanya seperti dulu. I'm a morning person, actually. Gue bisa mengerjakan apa-apa dengan cepat dan tanpa distraksi kalau gue bangun paginya nggak tidur lagi, tetapi langsung bangun-cuci muka dan mengerjakan. Konsentrasi itu akan bertahan sampai jam sepuluh atau atau selanjutnya jam sebelas. Kemudian, memburuk dan akan bagus lagi selepas magrib sampai jam sepuluh, dan berubah jadi night owl yang bisa melek dan jumpalitan di jam satu-dua malam. Sayangnya, kuliah sekarang dimulai jam 10, dan berakhir kadang sudah jam empat gitu. Pulang kuliah gue udah capek, dan nggak maksimal pas abis magrib. Sisi malas gue berupa sudah subuh tidur lagi pun sulit dihentikan. Dampaknya, gue jadi begadang tapi nggak produktif. Gue memaksa otak gue, tetapi dia nggak bisa semaksimal ketika gue mengerjakan pagi atau tengah malam, lebih lagi distraksi. Ah, lelah gue dengan distraksi. Gue harus menjauhkan diri dari smartphone mungkin. Gue akan menggunakannya hanya untuk tethering ke laptop gue.

Gue udah mau tesis, ada tagihan ulangan-ulangan, dan tugas lain, gue mikir, untuk memodifikasi diri gue. Gue akan berusaha bangun pagi itu nggak tidur lagi dan tidak tidur larut malam. Mungkin, karena besok puasa, abis sahur, gue bisa ngerjain apa-apa dan nggak usah tidur lagi. Gue tahu rasanya sulit jadi morning person, yang otaknya bagus di pagi hari, tapi juga cemerlang di tengah malam. Gue harus istirahat di siang hari yang cukup kalau nggak kuliah untuk mengakomodasi itu semua. Sudah ah, sekian racap gue. Semoga mulai besok, gue bisa bangun pagi dan bersemangat menyelesaikan apa pun, dan... rajin ke perpus biar nggak ngantuk

#JustWrite

Maybe, God wants me

Mei 24, 2017

Maybe, God wants me to write all academic papers, not fiction. Journal articles, proceedings, and thesis that I have to finish soon. Maybe I was never born to be a good fiction writer, especially a novel. Maybe I should stop writing fiction now, until I graduate, or forever. But I might write again when I want to write, but not now.
Maybe God asked me to focus on just one thing now, like academic.It's better for me to make a thesis and finish it, and then i graduate. When i'm graduate, i can write fiction. Idk, am i must continue writing a fiction? Am i must continue make a novel? Idk. Maybe, i must stop it, but, who know what happen tomorrow.

#JustWrite

Ketika nama yang keluar di luar dugaan ...

Mei 22, 2017

Kalau ngomongin keberuntungan, gue merasa bahwa gue cenderung beruntung untuk hal-hal selain akademik, misalnya, waktu SMP tabungan tak seberapa gue mendapatkan hadiah televisi, gue suka iseng ikut giveaway buku dan mungkin sekitar tujuh atau lebih gue memenangkannya. Ah, ya, gue juga pernah dapat giveaway baju. Semuanya didapatkan dengan model iseng, menjawab iseng, dan tanpa ekspektasi. 

But... rasanya gue nggak pernah beruntung dalam hal memilih sesuatu saat kuliah. Mungkin bukan kata beruntung yang tepat, tapi, gue selalu mendapatkan apa yang tidak gue ajukan. Ketika gue mengajukan untuk PPL di SLB E, yang keluar di SLB Negeri. Ketika gue mengajukan dosen X dan Y, hanya satu nama yang benar-benar dari pilihan gue. Berdasarkan pengalaman itu, gue ga berekspektasi tinggi untuk dosen pembimbing tesis. Kasarannya, kalau perlu, gue kosongin sekalian itu nama dosen pembimbing gue, tapi tetap gue isi juga, dengan nama-nama yang gue inginkan tetapi, tidak menaruh harapan. Menaruh harapan hanya akan menyakitkan ketika yang terjadi tak seperti yang kita inginkan.

Tadi pagi pengumuman dosen pembimbing. Sebelum berangkat, gue udah bilang sama diri gue: Ci, siapa pun nama yang keluar nanti, lu terima ya. 
And you know what? Nggak ada satu pun nama yang gue tulis yang keluar. But i'm not sad. Tubuh gue mulai memberikan reaksi yang aneh, gue ketawa dan gemas sendiri. Gue kaget kenapa bisa jauh banget tetapi... gue menerimanya. Karena, mau sekuat apa pun, denial gue, nama dosbing tak akan berubah. Selama di kampus gue malah senyam-senyum dan terlihat bahagia, padahal gue sedang berusaha mendeskripsikan perasaan gue, sebenarnya otak dan hati gue tuh merasakan apa, dan sampai sekarang gue gak tahu. Tapi gue bersyukur gue gak dapat info ini pas gue lagi di zona nggak baik-baik saja, mungkin reaksi tubuh dan pikiran gue bisa berbeda. 

 Yang gue pikirkan sekarang, gue harus memulai dari mana.
Dari mana gue memulai tesis gue. Oke, gue punya judul, gue punya konsep, but... gue belum tahu gue harus mulai dari mana. Tetapi satu hal, gue akan memulai secepatnya. Gue akan berpikir keras untuk memodifikasi diri gue agar terbiasa mengerjakan sesuatu tanpa procrastination. Semoga gue bisa memulai dengan baik, bekerja dengan efektif dan efisien, juga... lulus awal tahun depan.

#JustWrite

Think before you click

Mei 15, 2017




Gue pernah berdiskusi dengan teman gue, mengenai, apakah masyarakat Indonesia ini kaget sama adanya sosial media. Gue lupa apa kesimpulan kami karena perbincangan perempuan biasanya mengular ke mana-mana, tapi kami sama-sama menyesalkan, kenapa orang dengan mudahnya berkata jahat di sosial media kepada orang yang kadang tidak begitu dikenalnya. Sering banget gue lihat di facebook, orang membagikan foto atau apa dan di bawahnya bertebaran komen-komen sok suci,komen menyumpahi, atau komen mengejek. Atau kalau kita lihat di IG, ada aja komen-komen jahat, terutama kalau dia adalah orang terkenal, misalnya kasus Ayu Tingting dan ratusan ribu hatersnya bersama akun-akun penjual pembesar, sayangnya enggak ada yang jual pembesar otak, peluas pola pikir, atau pembesar toleransi. Gitu juga di youtube, kayak ada anak kecil yang buat vlog dan dikomen dengan kata-kata yang enggak pantas. Sedih enggak sih ngelihatnya?
Gue tahu, misal fotonya memang jelek, tapi apa bagus kalau kita dengan mudahnya bilang: Dih, lu jelek banget sih, tikus guling!
Bisa bayangkan perasaan orang yang punya akun waktu baca komentar itu?  Apa kita ini makhluk tersuci, terkece, terbaik di dunia sampai boleh dengan mudanya ngomongin orang yang bahkan kadang enggak kita kenal? Enggak kan. Memang sih, enggak semua orang butuh dipuji, dan enggak baik bohong bilang bagus padahal itu jelek, tapi, kita bisa memilih untuk diam, kan? Diam memang enggak selamanya baik, tapi daripada komentar-komentar buruk kita memberikan efek buruk untuk orang lain, diam lebih baik. Oke, dia mungkin memang jelek, tapi sudah sampai situ saja. Enggak perlu bilang dan koar-koar kalau dia jelek, misalnya. Kita enggak pernah tahu ketahanan seseorang terhadap kritik dan ejekan, bisa aja dia sangat sensitif. Dan  bully, apa pun bentuknya, selalu memberikan dampak kepada korban. Bisa saja yang kita ejek gendut itu mati bunuh diri, bisa aja yang kita ejek tolol itu jadi depresi, bisa aja yang kita ejek tiang listrik itu jadi dendam sama kita dan bunuh kita, huft, kita enggak tahu.
Berada di dunia maya, kita memang bisa dengan mudahnya memakai akun yang bukan lu, akun bernama entah siapa, berfoto entah apa, tetapi bukan berarti kita ngomong sesukanya, terutama kalau omongan itu omongan-omongan yang enggak baik. Berada di dunia maya, kita mungkin bisa bertanya sesukanya, tetapi sadarilah siapa lu ketika lu bertanya. Gue pernah membaca tweet entah siapa yang kesal gara-gara ada yang nanya soal gajinya berapa di ask fm. Atau, kenal juga enggak, nanya-nanya kapan lulus
Gue tahu, siapalah gue dan siapalah yang membaca blog ini. Tetapi, gue ikut merasa sedih dengan adanya kasus cyberbullying yang merebak di sosial media. Gue tahu semua dimulai dari kita, kita enggak bisa memaksa orang untuk tidak melakukan cyberbullying, tapi kita bisa belajar menahan diri untuk tidak menyakiti orang-orang dengan kata-kata kita di sosial media.
So, seperti yang sering diomongin di iklan layanan masyarakat, Think before you click, stop cyberbullying.


Racauan ini begitu tidak tertata.

between the sun and the moon

Mei 14, 2017

Gue selalu berkata pada diri gue, Ci, enggak ada membanding-bandingkan diri lu dengan orang lain. Hidup lu, ya punya lu. Tiap orang punya lintasan yang berbeda-beda dan hidup bukan tentang siapa duluan, karena kalau hidup lomba lari, apa lu mau duluan mati? Sayangnya, as a normal people, gue sering melupakan wejangan sisi ‘baik’ gue. Beberapa waktu yang lalu, gue melihat blog seorang mahasiswa kriminologi, dan mulailah gue melakukan what if. Meskipun gue sudah ikhlas dengan keadaan gue-toh gue yang dulu memutuskan enggak berani daftar di sanatetapi gue kadang bertanya, gimana kalau gue jadi mahasiswa di sana. Apakah pemikiran gue akan lebih berkembang dibandingkan kuliah di sini?
 Lalu, gue melihat-lihat orang-orang seumur gue yang tentu aja enggak gue kenal. Mereka yang bisa dapat beasiswa di luar negeri, mereka yang di usia gue sudah dapat kerjaan yang bagus, mereka yang diusia gue jadi fotografer, mereka yang di usia bawah gue udah bisa publish novel mereka sedangkan gue entah ada di mana. Juga ssemua hal yang membuat gue menjadi makin kecil, yang membuat gue merasa gue semakin bodoh, yang membuat gue berpikir, remah-remah nasi basi kayak gue tuh, untuk apa ada di dunia. Juga segala pertanyaan menyoal eksistensi manusia di dunia, tujuan hidup, manusia dan sosial media, dan semua pemikiran abstrak yang kata teman gue, lebih baik gue kuliah filsafat saja.
Tiap gue merasa rendah, ibu gue sering marah dan bilang, lihat dong orang yang enggak mampu di jalan, misalnya. Tapi, dasar aja gue yang suka denial, gue akan bilang, masalah anak kuliah dengan masalah anak tidak bisa makan adalah dua masalah yang tidak apple to apple. Dan kayaknya, Tuhan mau menyadarkan gue. Jumat kemarin, gue berjalan ke perpus untuk pinjam buku, dan bertemulah gue dengan teman gue yang masih berjuang dengan skripsinya. Sesuatu yang membuat gue mikir, lu tuh beruntung Ci, udah lulus. Yang membuat gue sadar bahwa gue enggak boleh merasa kecil, juga enggak boleh merasa besar. Gue cukup gue. gue cukup mengkomparasi diri gue yang sekarang dengan yang dulu, apa semakin baik apa buruk. Bener juga quote yang gue baca di pinterest, theres no comparison between the sun and the moon. They shine when its their time. Meski gue enggak tahu, apakah gue akan bersinar atau justru meredup.


#JustWrite

Racau tentang Inklusi dan negeri ini

Mei 12, 2017

Dulu, kalau berbicara tentang inklusi, yang saya pikirkan adalah penempatan anak berkebutuhan khusus dan anak reguler di kelas yang sama. Pemikiran itu berkembang ketika dosen saya berkata bahwa kelas yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, bisa dikatakan inklusi, begitu pula dengan ras kulit hitam dan kulit putih. Seiring berjalannya waktu, ketika inklusi terus-menerus diperbincangkan saat kuliah, saya mendapat definisi yang lebih luas tentang inklusi. Inklusi adalah ketika semua anak menerima dan mendapatkan akses pendidikan yang sama serta sesuai kebutuhan mereka tanpa memandang kebutuhan khususnya, latar belakang agama, gender, budaya, status sosial, bahasa, dan kemampuannya. 

Mungkin, kita sering mendengar "Indonesia Menuju Inklusif" atau "Kota X Kota Inklusif" dan beragam slogan tentang inklusi. Slogan yang baik sebenarnya, lebih lagi  diharapkan dengan adanya pendidikan inklusif kesadaran terhadap anak berkebutuhan khusus meningkat, hak-hak mereka terpenuhi, dan mereka bisa mendapat pendidikan yang layak. Tetapi, ada hal yang mengganggu pikiran saya setahun belakangan ini. Hal-hal yang membuat saya agak muak dan mengait-ngaitkan dengan inklusi, dengan negara yang inklusif.

Setahun belakang, saya memutuskan untuk meminimalisir membuka sosial media semacam facebook, tidak membuka twitter di saat situasi politik memanas, dan berusaha tidak membaca komentar-komentar orang karena tidak tahan melihat betapa banyaknya ucapan-ucapan dan tindakan yang membawa-bawa isu SARA. Posting-posting yang menyebutkan etnis mereka paling hebat, agama mereka paling benar, agama x sampahlah, komentar-komentar yang terdengar jahat pada sebuah posting yang saya curiga cuma dibaca judulnya dan lainnya. Seperti ada yang salah. Ya, memang salah. 

Rasa-rasanya toleransi akan agama, suku, atau ras tertentu mengalami kemerosotan (atau hanya perasaan saya karena sekarang semua orang bisa dengan mudahnya bicara?). Saya sempat sebal dengan muncul kembali istilah pribumi-nonpribumi (yang mungkin dulu diciptakan untuk mengkocar-kacirkan Indonesiaistilah yang sebenarnya sudah dihapus di zaman Gusdur). Seperti lupa, kalau bangsa ini merdeka ketika pemudanya bersatu dan mengenyahkan suku-agama mereka. Seperti lupa kalau menteri-menteri pertama kita dari berbagai etnis dan agama. Seperti lupa pelajaran SD tentang Bhinneka Tunggal Ika dan sapu lidi sebagai contohnya. Indonesia nggak perlu penjajah lagi, terus-terusan intoleran dan sensitif dengan orang yang tidak sama dengan kamu, perlahan-lahan dia akan hancur dengan sendirinya.
Saya merasa sedih, seperti ada yang aneh. Ketika anak-anak di sekolah diajarkan untuk menerima perbedaan teman mereka yang berkebutuhan khusus dan berasal dari berbagai latar belakang, justru banyak orang dewasa yang mempermasalahkan perbedaan agama, suku, ras, gender, dsb. Saya pernah jadi anak-anak, saya pernah jadi murid, dan saya berada di kelas yang tidak dilabeli inklusi tetapi begitu inklusi. Ada 5 agama di kelas itu, ada berbagai suku di sana, dan saya merasakan bagaimana menyenangkannya berada di tengah keragaman. Bagaimana menyenangkannya dihargai dan menghargai. Hal-hal yang kemudian saya rindukan setiap saya melihat berita dan sosial media. 

Dear, saya tidak tahu sebenarnya saya ini sedang meracau apa. Saya hanya tidak ingin negara ini hancur karena warga negaranya sendiri tidak menghargai sesama. Saya hanya tidak mau, sebagian orang memperjuangkan inklusi untuk kaum difabel, tetapi sebagian lagi merusak inklusi dengan membawa-bawa perbedaan latar belakang keberagaman. Saya nggak mau, inklusi cuma jadi slogan untuk mereka yang difabel aja, tapi juga untuk semua. Karena bagi saya, inklusi berarti kita semua menerima keragaman yang ada, karena setiap manusia itu berbeda dan nggak ada yang sama. Negara yang inklusif adalah negara yang masyarakatnya bertoleransi tinggi, dan semoga Indonesia yang inklusif bukan cuma mimpi.

12/5/17

#JustWrite

Tidak Ada Ahli Kaktus

Mei 06, 2017



Gue sadar, gue mungkin tidak akan mendapatkannya. Gue mungkin perlu menutup harapan meski gue pun lambat laun mulai merasa itu bukan lagi bagian yang gue inginkan dalam list hal-hal yang harus gue lakukan sebelum 20, karena gue tidak 20 lagi sekarang. 

gambar pribadi
Mungkin gue sebenarnya seperti ahli memancing ikan yang terlalu keras berusaha menjadi pakar kaktus, yang berkali-kali merawat kaktus tapi selalu berakhir busuk, yang berkali-kali menyatukan dua kaktus tapi akhirnya gagal. Ketika gue sangat suka kaktus tapi kaktus juga membuat gue berdarah.

Popular Posts

My Instagram