#JustWrite

Icus Si Kaktus

Juli 16, 2019


Hasil gambar untuk red cactus illustration

Icus adalah sebatang kaktus merah. Badannya bulat seperti bola. Seluruh tubuhnya dipenuhi duri-duri yang tajam.
Icus tinggal di taman kota. Tetangganya adalah pohon Tabebuya, bunga mawar, rerumputan, serta tanaman-tanaman lainnya.
Icus senang dengan matahari, dan ia benci hujan. Icus tidak membutuhkan air yang banyak. Jika terlalu sering tersiram air, Icus bisa kedinginan. Tubuhnya pun jadi lembek. Kalau sudah begini, ia bisa mati. Untungnya, Pak Boni, tukang kebun menyiram Icus 2 minggu sekali.
Sebenarnya, ia adalah kaktus merah yang cantik. Sayangnya, tidak ada sebatang tanaman pun yang mau berteman dengannya.
“Aku tidak mau dekat-dekat denganmu. Tubuhmu penuh duri. Daunku robek jika dekat denganmu,” kata Lilir, si bunga anyelir.
“Kenapa begitu? Rosea pun berduri sepertiku,” jawab Icus.
“Duri Rosea tak sebanyak kau, Icus. Ia pun cantik dan wangi,” jawab Lilir.
Icus tertunduk lesu. Ia benci duri-duri di tubuhnya. Duri-duri itu membuatnya tak punya teman. Tak ada seekor serangga pun yang datang dan hinggap di tubuhnya.
“Kau merugikan, Icus. Lihat, kupu-kupu itu! Mereka bergerombol menghisap madu milik Zinnia,” kata Lilir suatu hari. “Meski usianya pendek, Zinnia memberi lebah makan,” tambah Lilir. Mendengar itu, Icus semakin sedih.
Hari demi hari berlalu. Icus yang malang selalu sendirian. Tidak ada yang memerhatikannya selain Pak Boni. Hujan dan panas silih berganti. Sampai pada suatu waktu, musim kemarau datang.
“Kalian mungkin akan jarang kusiram, wahai tanaman. Kota kita kekeringan. Air begitu sulit didapatkan,” kata Pak Boni suatu sore. Musim kemarau yang panjang membuat sumur-sumur kekeringan. Kota menjadi panas dan gersang. Beberapa tumbuhan kering dan layu. Namun, tidak dengan Icus. Ia tetap sehat. Tubuhnya yang menyimpan air dan daunnya yang berupa duri membuatnya tetap segar di musim kemarau.
 Icus senang ia masih sehat, tetapi ia melihat teman-temannya menangis tersedu.
“Umurku mungkin tidak lama lagi. Daunku telah kering semua,” kata Rosea.
“Aku pun sudah lemas,” sahut Lilir.
“Kau beruntung, Cus. Duri-durimu ternyata membantumu bertahan hidup,” ujar Rosea lagi.
Icus terdiam, memandangi duri-duri di tubuhnya.
Hari berlalu, sudah berpuluh hari hujan tak turun. Pak Boni pun tak kunjung datang untuk menyiram taman. Satu per satu tanaman mati, menyisakan Icus dan Kakek Tabe, Si pohon tabebuya.
“Mereka semua mati,” kata Icus.
“Kau merasa sedih? Bukankah mereka pernah mengejekmu dulu?” tanya Kakek Tabe.
“Ya, tapi sudah kumaafkan. Aku tidak ingin sendirian,” kata Icus. Kakek Tabe mengangguk-angguk.
Suatu hari, seorang manusia berjalan-jalan di taman. Ia tampak sedih melihat semua tanaman mati. Namun, matanya berbinar ketika melihat Icus.
“Wah, kaktus ini masih hidup. Ia agak kurus. Mungkin aku bawa pulang saja daripada tidak terurus,” kata manusia itu.
Icus tidak bisa meronta ketika ia dimasukkan ke dalam tas si manusia. Ia melambai-lambaikan tangan pada Kakek Tabe.
Kini, di sinilah Icus tinggal. Di sebuah rak besi bercat putih di dalam sebuah pot kecil warna-warni. Si manusia menanamnya di pot dan ia letakkan bersama kaktus lain miliknya.
“Hai, aku Icus! Aku kaktus juga,” sapa Icus pada kaktus-kaktus lain. Semua kaktus merasa senang dengan kehadiran Icus. Ia pun merasa senang tinggal di sana. Meskipun, ia tetap merindukan Rosea, Lilir, dan Kakek Tabe.
***

Popular Posts

My Instagram