#JustWrite

Membaca dengan cermat, yuk!

Oktober 20, 2017

Beberapa hari yang lalu, ada sebuah kejadian kecil yang membuat gue mikir ke mana-mana. Soal sosial media, tentang manusia, tentang berpendapat, dan betapa pentingnya membaca dengan cermat. Soal membaca dengan cermat, beberapa waktu lalu gue pernah mengirim pesan ke teman gue yang berbunyi : aku tunggu di depan ATM kampus.  Tetapi, hal lucu yang terjadi adalah, temanku itu pergi ke ATM yang terletak di depan kampus, bukan ke ATM kampus. 
Hal itu kemudian terjadi lalu beberapa hari lalu. Seseorang yang membaca puisi gue tiba-tiba berkomentar yang bawa-bawa ketuhanan, yang secara nggak langsung menasehati gue dan bikin gue mengerutkan dahi di suatu pagi yang dingin.
Berikut puisi gue (ini memang sangat abal dan jelek)
dan mari cermati apa yang dikomentari
 Sebenarnya, gue orang yang bodo amat dengan apa yang mau diomongin orang. Pun bagi gue, bertuhan adalah masalah pribadi gue, hubungan antara gue dengan Tuhan gue. Ada orang-orang yang memilih tak bertuhan, menurut agama gue mungkin salah, tapi kita juga gak boleh memaksa orang untuk beragama kan? Tapi bukan itu yang jadi masalah, anggap saja si komentator sedang berbaik hati berlelah-lelah komentar dengan tujuan mulia. Yang menjadi masalah dan kemudian menjadi hal yang gue tertawakan bersama teman gue adalah kenyataan bahwa si-komentator ini salah baca. Mungkin dia membaca sekilas, sehingga setannya Tuhan terbaca Tuhannya setan. Dari situ gue mendapat bahwa PENTING BANGET MEMBACA DENGAN CERMAT DAN MENULIS DENGAN TEPAT. Pelajaran buat gue juga, biar semakin teliti kalau menulis dan lebih cermat ketika membaca.
Membaca dengan cermat, gue rasa itu yang masih belum begitu membudaya di sekitar kita. Gue sering melihat kasus-kasus di mana orang hanya baca judul dan langsung berkomentar judging dan menghakimi. Padahal, sekarang banyak artikel yang judulnya dibuat mengundang, pas dibaca, nggak ada hubungannya antara judul dan isinya. Artikel-artikel yang kata seseorang mending nggak usah dibuka karena isinya pasti racun.
Selain membaca dengan cermat, hal yang penting menurut gue adalah berpikir sebelum komentar. Seringkali gue ingin berkomentar tapi urung gue lakukan. Biasanya, gue akan berpikir, penting nggak sih komentar gue, ada sesuatu yang baik nggak sih di sana, nyakitin orang nggak sih, dan sebagainya. Yang akhirnya, gue mungkin jadi jarang sekali berkomentar. Mungkin karena gue juga mikir, yaudahlah ya, gue cerna atau diskusikan di real life sama temen gue aja. Mengingat, gue sering banget liat orang berkomentar di sosmed seringkali berujung pertengkaran. Kenal juga kagak.  Gue juga masih belajar untuk nggak jadi manusia bersumbu pendek. Belajar untuk nggak memaksakan orang berpandangan hidup sama kayak gue, dan mungkin ada untungnya jadi orang yang agak cuek dengan manusia di luar sana.
Sekian. Semoga kita bisa semakin cermat dan bijak ketika baca dan berkomentar



#JustWrite

Maaf, Kalau Sewaktu-waktu Saya Menjadi Yang Diundang dan Yang Tak Datang

Oktober 05, 2017



i thought that i should go to another planet until my hair turn to grey. Just wanna save my life from every kind of ‘human party’.

Semakin besar, saya jadi tahu kalau saya punya sedikit-banyak social anxiety. Mungkin karena saya memang introvert, tes-tes psikologi populer mengatakan demikian, MBTI saya INFJ—meski saya pernah mendapatkan INTJ.
Social anxiety itu yang menyebabkan saya enggak suka mengangkat telepon dan sebisa mungkin menghindari perbincangan di telepon. Saya enggak pernah tahu apa yang harus saya katakan ketika ditelepon selain menjawab singkat-singkat, saya selalu merasa bingung harus berkata apa, tetapi saya selalu mencoba mengangkat telepon dari ojek onlinesaya pikir itu bentuk saya menerapi diri sendiri.

Setelah berpikir, saya jadi menemukan bahwa saya bukan tidak suka keramaian. Yang saya tidak suka adalah berada di sebuah keramaian di mana saya mau tidak mau harus in touch atau berhubungan dengan orang-orang di sana, penuh basa-basi. Saya suka ke pasar, mall, berpergian sendiriatau bersama orang dekatke tempat-tempat yang sebenarnya ramai, tetapi entah kenapa saya baik-baik saja. Ketika saya ke pasar, saya cukup bertanya harga, tawar-menawar, dan selesai. Tidak ada basa-basi atau semacamnya. Sehingga saya tidak suka pesta, saya tidak suka perayaan seremonial dan semacamnya.
Saya memang pernah merayakan ulang tahun saat umur empat atau lima tahun dahulu, tetapi entah mengapa saat itu saya merasa baik-baik saja. Mungkin karena semua yang datang teman saya yang saya kenal baik.
Saya ingat, ketika umur saya enam atau lima, saya menghadiri pesta pernikahan Om saya di Jogja dengan ayah saya. Saya melihat begitu banyak manusia, dan saya takut. Saya menangis kala itu. Orang-orang berkata saya ngambek, mengejek saya, padahal saya merasa tidak nyaman dengan kerumunan manusia. Saya juga ingat, di umur segitu, saya lari dari pesta ulang tahun teman saya, karena saya merasa tidak nyaman dengan wajah-wajah asing. Dan ... saya memilih tidur ketika di rumah saya dilangsungkan acaraa sunatan adik saya.
Anxiety itu belum hilang. Saya berpikir dia malah makin menjadi. Ketika saya tidak suka dengan acara bertajuk ‘buka bersama’ ‘arisan keluarga’ dan semua acara di mana manusia berkumpul dengan alasan silaturahmi. Saya tahu saya salah, tetapi dan tetapi.
Waktu bergerak dan saya akan mulai menjumpai hal yang saya takutkan. Mungkin, ini pula salah satu sebab saya tidak menyukai dunia orang dewasa.
Pesta dan segala seremonial kehidupan manusia. 
Cepat atau lambat, teman-teman saya akan menikah, beranak pinak, dan berpesta pora. Saya bahagia akan itu, tetapi saya belum bisa bahagia dan menyamankan diri saya dengan keramaian pesta itu. Saya masih ingin bersembunyi di bawah kaki meja, saya masih ingin lari toilet atau pergi jauh dari hingar-bingar pesta.
Dengan jahatnya kadang saya berpikir untuk segera pindah dari kota tempat saya belajar ini. Pun tidak tinggal di kota asal saya.
Saya tahu, anxiety ini bukan alasan pembenaran jika suatu waktu saya memutuskan mendekam di kamar daripada mengudap makanan di pesta dan tertawa-tawa. Saya mungkin akan datang jika saya merasa baik-baik saja, tetapi bisa jadi yang datang hanyalah sekotak kado atau semacamnya.
Maaf, kalau sewaktu-waktu saya menjadi yang diundang dan yang tak datang. Atau... saya pun tak masalah jika kalian mencoret nama saya dari daftar undangan. 


Popular Posts

My Instagram