#FotoBercerita

Apa yang terjadi selama 2017 ini? [Ocehan mengorek ingatan]

Desember 31, 2017

Apa yang terjadi setahun ke belakang?

Kalau ditanya apa yang terjadi di tahun 2017, gue merasa agak-agak lupa. Seperti tidak ada sesuatu yang 'nendang' banget. Entah gue yang lupa, merasa semua hal adalah biasa aja, atau kurang bersyukur. Yang jelas kumerasa bersyukur masih bertahan hidup di dunia dengan segala gilanya dunia dan kecemasan-yang-selalu-menyebalkan. Akhir 2016 lalu, kutak membuat resolusi. Gue tidak begitu suka daftar resolusi karena berharap membuatku tertekan lebih kuat (di mana tanpa resolusi saja kusudah merasa cemas dan tertekan).
Sambil menulis posting ini, kuberencana berkontemplasi dan mencoba mengingat apa yang terjadi satu tahun ke belakang. Tidak ada tujuan khusus, blog memang tempatku berbincang dengan diri sendiri, dan kalau-kalau setelah menulis ini kubisa lebih bersyukur. 
Januari
Pergantian tahun dari Desember 2016 ke Januari 2017 dibuka dengan mengerjakan tugas (entah tugas apa) lalu sejenak 'ngacir' bersama Ajeng ke Solo Car Free Night. Awal tahun baru, gue mengecat rambut gue jadi hijau aquamarine. Gue suka banget warnanya, hanya saja gue tak bisa posting foto rambut itu disini wkwk.
Januari adalah pertama kalinya gue presentasi seminar internasional (prosiding) di Malang bersama Ajeng, Mbak Ulfa, dan Mbak Esty.
Dua hari setelah prosiding, tanggal 23 Januari pula gue pulang ke rumah meski nggak lama. Karena ada prosiding itulah gue menunda kepulangan, dari pada bolak-balik dan menghabiskan uang transport. 
Februari
Tidak ada yang menarik di Februari. Pertengahan Februari kukembali ke Solo. Ah, gue lupa. Di Februari, gue dan Pinyot iseng ikut lomba infografis learning disabilities dari UPH. Gue nyari konten dan buat infografiknya, Pinyot yang gambar. Alhamdulilah dapat juara pertama 😄 dan uang jajan.


Maret
Maret berjalan seperti biasa. Kuliah, pulang, baca novel, mengerjakan tugas, dan semacam itu. Akan tetapi, pertengahan Maret, kumengunjungi Museum Sangiran bersama Nau. 

Sebenarnya, ada hal cukup penting di bulan ini. Gue menerbitkan buku pertama bersama teman dekat. Sayangnya, gue tidak terlalu merasa senang ketika buku itu terbit. Ada perasaan 'ini bukan gue' yang membuat tidak nyaman dan merasa bersalah yang terus mengganggu ketika menulis dan saat buku itu selesai. Sehingga gue memutuskan menggunakan nama pena di buku itu. Menerbitkan buku adalah satu-satunya hal yang gue inginkan sebelum mati (setidaknya begitu pikiran naif gue waktu SMA). Akan tetapi, ketika buku itu terbit, gue merasa kosong. Seperti perasaan ketika lu mengingikan sesuatu, lu mendapatkan tetapi bukan itu yang lu harapkan. Kayak lu pengin banget sepatu A, lu beli online, sampai rumah sepatunya agak beda warnanya.
Tapi gue nggak menyesal. At least, gue dapat pelajaran untuk nggak impulsif menerima tawaran. Setidaknya gue dan teman gue pernah menulis dan menerbitkan buku bersama.

April
Next, April. April dikisruhi dengan tugas dan tugas. Gue memutuskan untuk melanjutkan nulis 45 Months, yang idenya lahir di Desember 2016 tapi baru gue tulis April.
Cover awal 45 months waktu gue publish di Wattpad dan Storial


Mei
Sama, Mei masih direcoki oleh tugas kuliah dan pengumuman dosen pembimbing tesis yang membuat gue jadi jumpalitan karena nama yang gue masukkan gaada yang keluar dan yang muncul di luar dugaan. Mei juga dimulai dengan puasa. Kalau puasa sebelumnya gue total di rumah, atau gue pernah puasa di kost sebentar lalu di tempat KKN, sekarang hampir 80% puasa gue di rumah. Menu sahur gue, nggak jauh dari oat, kentang rebus, kentang goreng, roti tawar dan telur.
salah satu foto menu sahur gue


Juni
Gue betul-betul puasa di kost sampai ditanyain Pak Kost kapan pulang karena ada dosen yang undar-undur jadwal. Gue bolak-balik tuker tanggal tiket kereta dan itu bikin gue agak puyeng. Tapi akhirnya gue pulang naik kereta H-3 lebaran. Untungnya karena naik kereta, gue kagak kena macet. Dan mungkin ini naik kereta Krakatau terakhir gue karena sekarang dihapus.
kapal yang ramai akibat mudik lebaran


Juli
Di kompleks candi Muaro Jambi.
Belasan Juli gue ke Palembang dan Jambi sama keluarga. Adek gue, Obith, kebetulan diterima di Unsri dan harus ngurus segala keribetan sebagai mahasiswa baru. Karenanya, Pap memutuskan untuk cuti dan kita pergi ke Palembang belasan Juli. Dari Palembang ke Jambi, nengok Kakek gue yang sakit, jalan-jalan cuma sehari dan balik lagi ke Palembang. Yang gue inget adalah gue dicakar kucing di sebuah SPBU waktu mau kasih kucing makanan. Waktu gue nyuci darah, dan dipencet-pencet Mam, gue mual dan ngerasa nyeri. Lalu terjadilah black-out pertama gue (dan semoga terakhir).

Agustus
Agustus adalah bulan kehilangan. Tiga ekor kucing jantan gue meninggal. Gue pernah nulis itu di sini . Gue sedih, mereka kesayangan gue.

Awal Agustus juga gue balik ke Solo. Agustus adalah waktu pertama gue mengajukan judul tesis ke dosen yang untungnya diterima.Selanjutnya diisi dengan kegiatan ngerjain Bab 1 tesis, konsul, dan revisian. Dan akhir Agustus pula gue pulang ke rumah untuk lebaran Idul Adha. Agustus memang meletus.



September

 Awal September adalah Idul Adha dan gue senang karena ini Idul Adha bareng keluarga setelah sejak 2012 gue selalu Idul Adha di Solo, sendiri.September diisi dengan melanjutkan ngerjain Bab II  dan menyelesaikan draft 45 months. Berdasarkan catatan, gue menamatkan 45 Months di 9 September. Selanjutnya, hidup gue kembali diisi dengan urusan kuliah.

Oktober
Yang gue ingat dari Oktober adalah, gue seminar proposal tesis di 12 Oktober. 

November
November adalah bulan hectic. Dimulai dari nguras surat izin penelitian yang agak drama (surat di TU hilang padahal sudah ditunggu seminggu jadi buat lagi, bolak-balik ke kantor pemerintahan untuk urus izin dan ngabisin saldo Go-Jek). Lanjut uji coba instrumen di sekolah, ngebut untuk ikut prosiding tanggal 25 November (karena sebelumnya belum niat ikut tapi di h-7 pengumpulan abstraks berniat ikut) , dan penelitian awal di 3 sekolah selama 3 hari dengan terengah-engah karena minggu besoknya anak SD udah ujian. Gue juga mulai mengedit naskah 45 Months.

Akhir November gue memutuskan pulang. Tetapi perjalanan pulang gue gak mulus kayak biasanya. Gue batal pulang hari Senin karena hujan mengguyur Solo tanpa henti 24 jam. Juga keribetan menitipkan kucing gue. Gue akhirnya pulang Rabu sore dengan bus. Di mana malamnya, bus gue yang sedang berhenti di tol, ditabrak truk yang supirnya ngantuk dari belakang. Tetapi nggak apa-apa. Gue naik ke bus lain yang jalan di belakang bus gue (masih satu perusahaan). 
Kapal yang gue naiki
Sayangnya, gue pulang (29-30/11) ketika siklon Dahlia datang. Perjalanan Merak-Bakauheni yang cuma 2 jam, mendadak jadi 5 jam. Siklon Dahlia bikin kapal laut terombang-ambing, miring-miring kayak di film Titanic, gue udah ngeliatin pelampung aja takut ada apa-apa. Kapal yang segitu besar dan miring-miring bikin gue mual dan muntah, gitu juga teman sebus gue yang bolak-balik toilet untuk melakukan hal sama.
November emang roller coaster.


Desember

Desember gue di rumah. Gue mengolah data awal penelitian. Gue membaca novel. Gue nulis artikel jurnal (dan ditolak). Gue main dengan kucing, dan gue merasa kurang produktif.  Mungkin karena Desember keluarga gue juga pada libur, dan gue kurang suka ngerjain ketika rumah ramai atau adik gue mondar-mandir. Rasanya beda banget dengan produktivitas gue waktu pulang pas Idul Adha dan ngerjain Bab II bareng nulis 45. Mungkin karena tulisan fiksi yang gue  tulis pun berjalan kayak siput dan busuk.
Tapi ada hal menyenangkan di Desember, tanggal 21 Desember lalu, sebuah pesan di email masuk dari seorang editor. Naskah 24 yang gue kirimkan diterima untuk diterbitkan.  Naskah 24 pernah gue kirimkan ke sebuah penerbit awal tahun 2017, tetapi tidak ada kabar hingga gue kirimkan ke penerbit lain di Juni 2017.
Membuat gue senang, cemas, dan deg-degan.


Ternyata, banyak hal yang terjadi. Hanya 2017 mungkin saja adalah tahun proses. Tahun memulai ngerjain tesis, tahun menulis naskah 45 Months dan mengeditnya, dan mendapat kabar naskah 24 (yang sebenarnya selesai di November 2016) diterima. Gue perlu bersyukur karena gue sudah menjalani. Entah berapa persen dalam satu tahun gue merasa cemas, takut, selalu ingin segera 'pergi' dan kabur. Perasaan yang masih sering hinggap tanpa diundang.

Gue juga senang karena tahun ini gue bisa baca agak banyak buku. Gue cuma menargetkan 30 buku  di Goodreads tetapi ternyata bisa baca 132 buku. Satu-satunya target gue tahun 2017 (kalau bisa dibilang resolusi/target) hanyalah mengisi goals. Tentu saja ini berkat Scoop Premium (baik gratisan atau patungan), iJak, iPusnas, dan secondhand books.


Gue tidak membuat wishlist khusus untuk 2018. Gue hanya berharap bisa hidup dengan tenang dan minim cemas, lebih produktif, lebih banyak membaca, menulis, dan menonton film. Juga, apa yang gue tulis, baik akademik maupun novel fiksi, bisa terbit dengan lancar. Gue ingin segera lulus biar meminimalkan pengeluaran keluarga gue. Itu saja.

Saya takut.

Desember 16, 2017

Saya takut.
Saya takut nggak bisa lulus tepat waktu. Awalnya, saya optimis, tetapi memudar ketika sebuah peraturan berganti. Ketika dulu saya sudah tenang karena salah satu syarat lulus sudah terpenuhi tercapai, tetapi karena aturan baru, apa yang sudah saya penuhi terlihat sia-sia.
Saya takut tidak bisa lulus 4 semester karena saya nggak mau memberatkan orangtua dengan UKT yang tidak sedikit. Lebih lagi, saya sudah tidak betah tinggal di kota tempat saya kuliah. Tidak salah kotanya seperti yang saya katakan dulu, salah saya yang pembosan.

Saya takut membuang-buang waktu saya ketika memutuskan berlibur ke rumah meskipun membawa tumpukan skala sikap dan angket instrumen. Saya takut mengulur waktu kelulusan.
Kadang, saya ingin mengerjakan dengan santai. Seperti yang direncanakan dulu kalau saya nggak mau menekan diri saya sendiri.  Tapi, saya juga gak bisa mengontrol pihak-pihak di luar diri saya dalam kasus macam ini.
Ada hal lain yang saya takutkan jika saya tak segera lulus. Saya takut saya makin cemas, saya takut kecemasan menguasai saya dan saya takut kecemasan itu yang membunuh saya nantinya. Saya ingin segera lulus, dan yang bisa saya lakukan hanya berusaha dan berdoa. Juga menekan segala kecemasan.

#JustWrite

Memanusiakan manusia? (Racauan Malam)

Desember 06, 2017

Memanusiakan manusia.

Lupa, kapan pertama mendengar kata-kata itu. Mungkin saat sekolah dahulu, atau ketika membaca buku-buku kuliah menyoal pendidikan atau konsep humanistik.Kala itu, gue hanya berpikiran dalam konteks pendidikan saja, bahwa pendidikan 'memanusiakan manusia' adalah pendidikan yang sesuai dengan kemampuan seorang manusia, memberikan layanan pendidikan agar manusia bisa jadi lebih baik dan mandiri. Sederhananya bergitu.
Namun, beberapa hari ini, memanusiakan manusia seakan mulai menggelayuti ruang pikiran. Sebabnyalah gue mengoceh di sini malam-malam, berniat mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang mungkin pada akhirnya kacau dan tidak sistematis.
Gue sering mengamati sosial media. Lalu kesal sendiri, sok-sok menganalisa, bertanya-tanya sendiri, dan pusing-pusing sendiri. Tetapi dari situ gue dapat gambaran arti memanusiakan manusia, setidaknya versi sudut pandang gue sekarang.
Gue cukup aktif di sosial media, tetapi hanya sebatas ngoceh sendiri di twitter, sesekali membuka Facebook hanya untuk ngepoin grup adopsi kucing, dan unggah foto di instagram sesekali. Selain itu, gue pasif. Gue hanya berkomentar di akun teman, itu pun jarang sekali. Ada banyak hal yang gue amati, hal-hal yang terjadi di dunia maya, dan mengapa sebuah kata memanusiakan manusia muncul. 
Karena banyak manusia yang mendadak menjadi Tuhan di sosial media dan seenak hati menghakimi orang dan merasa dirinya terbenar dan teralim, karena banyak pula yang  sejahat dementor, atau lupa kalau sebenarnya ia manusia  tapi ngikutin tingkah bukan manusia. Gue tidak mau menyalahkan siapapun, karena mungkin gue juga pernah nggak sadar seperti itu. Misal, gue mungkin pernah bergumam dan berbicara soal moral atau agama di kepala ketika melihat suatu postingan meskipun gue tidak pernah berkomentar langsung.

Gue jadi berpikir, bahwa benar, pendidikan adalah alat untuk memanusiakan manusia. Pendidikan di sini nggak harus kita belajar di sekolah, bisa dari baca, lingkungan, tontonan, ceramah, materi seminar dsb. Pendidikan berguna buat memberi landasan ke seorang manusia, kalau ia adalah manusia, dan bagaimana manusia seharusnya bersikap dan berperilaku. Gue jadi mikir, manusia memang butuh bekal ‘how to’ bermasyarakat di dunia maya dengan baik.
Gue berusaha untuk menanamkan di kepala bahwa manusia bukan Tuhan, jadi kita nggak pantas mengkafir-kafirkan orang. Kita nggak pantes mendiskriminasi orang, nge-bully orang atau berkata kasar ke orang yang mungkin lagi salah. Kita juga bukan polisi moral yang bisa menilang orang karena udah ada malaikat yang mencatat pelanggaran-pelanggaran berkehidupan. Orang bisa aja berlaku melanggar norma, tetapi gue tidak punya hak untuk berkata-kata kasar, keji, sadis nan bengis padanya. Jujur, gue suka sedih lihat ada suatu kejadian, di mana seseorang melakukan kesalahan tetapi dikomentarin penuh makian. Gue pun mungkin pernah keceplosan mengomentari di dalam kepala. Gue mikir, kalau orang salah, terus tambah dipojokkan, gue rasa, keinginan untuk menjadi baik itu malah berkurang.
Jadi ngelantur.
Memanusiakan manusia juga berarti menganggap manusia sebagai individu, makhluk hidup, dan seorang manusia (?).
Balik lagi, kita enggak baik mendewakan manusia. Kita enggak baik menganggap manusia begitu buruknya seperti setan. Gue suka lihat, kelompok atau orang yang terobsesi dengan manusia dan mendewakan mereka.

 Gue selalu berpikir bahwa perilaku baru dibentuk pertama kali dengan menanamkan kesadaran. Kesadaran bisa bertambah dengan adanya pengetahuan dan pengalaman. Kesadaran untuk bisa sopan dan berperilaku baik di sosial media (karena gue habis mengamati sosmed) bisa tumbuh kalau kita tahu, kenapa harus sopan, gimana caranya sopan di sosmed, dan punya gambaran apa dampak negatif kalau kita berperilaku seenaknya dan keluar dari jalur 'manusia'.
Gue menyadari kalau kita terlahir sebagai manusia, tetapi hal yang penting adalah apakah kita sudah menghargai diri kita dengan berperilaku selayaknya manusia yang sopan dan menghargai manusia lain atau tidak. Itu catatan buat gue sekarang.

Setelah selesai, tidak tahu apa yang kuracaukan >.<

#JustWrite

Membaca dengan cermat, yuk!

Oktober 20, 2017

Beberapa hari yang lalu, ada sebuah kejadian kecil yang membuat gue mikir ke mana-mana. Soal sosial media, tentang manusia, tentang berpendapat, dan betapa pentingnya membaca dengan cermat. Soal membaca dengan cermat, beberapa waktu lalu gue pernah mengirim pesan ke teman gue yang berbunyi : aku tunggu di depan ATM kampus.  Tetapi, hal lucu yang terjadi adalah, temanku itu pergi ke ATM yang terletak di depan kampus, bukan ke ATM kampus. 
Hal itu kemudian terjadi lalu beberapa hari lalu. Seseorang yang membaca puisi gue tiba-tiba berkomentar yang bawa-bawa ketuhanan, yang secara nggak langsung menasehati gue dan bikin gue mengerutkan dahi di suatu pagi yang dingin.
Berikut puisi gue (ini memang sangat abal dan jelek)
dan mari cermati apa yang dikomentari
 Sebenarnya, gue orang yang bodo amat dengan apa yang mau diomongin orang. Pun bagi gue, bertuhan adalah masalah pribadi gue, hubungan antara gue dengan Tuhan gue. Ada orang-orang yang memilih tak bertuhan, menurut agama gue mungkin salah, tapi kita juga gak boleh memaksa orang untuk beragama kan? Tapi bukan itu yang jadi masalah, anggap saja si komentator sedang berbaik hati berlelah-lelah komentar dengan tujuan mulia. Yang menjadi masalah dan kemudian menjadi hal yang gue tertawakan bersama teman gue adalah kenyataan bahwa si-komentator ini salah baca. Mungkin dia membaca sekilas, sehingga setannya Tuhan terbaca Tuhannya setan. Dari situ gue mendapat bahwa PENTING BANGET MEMBACA DENGAN CERMAT DAN MENULIS DENGAN TEPAT. Pelajaran buat gue juga, biar semakin teliti kalau menulis dan lebih cermat ketika membaca.
Membaca dengan cermat, gue rasa itu yang masih belum begitu membudaya di sekitar kita. Gue sering melihat kasus-kasus di mana orang hanya baca judul dan langsung berkomentar judging dan menghakimi. Padahal, sekarang banyak artikel yang judulnya dibuat mengundang, pas dibaca, nggak ada hubungannya antara judul dan isinya. Artikel-artikel yang kata seseorang mending nggak usah dibuka karena isinya pasti racun.
Selain membaca dengan cermat, hal yang penting menurut gue adalah berpikir sebelum komentar. Seringkali gue ingin berkomentar tapi urung gue lakukan. Biasanya, gue akan berpikir, penting nggak sih komentar gue, ada sesuatu yang baik nggak sih di sana, nyakitin orang nggak sih, dan sebagainya. Yang akhirnya, gue mungkin jadi jarang sekali berkomentar. Mungkin karena gue juga mikir, yaudahlah ya, gue cerna atau diskusikan di real life sama temen gue aja. Mengingat, gue sering banget liat orang berkomentar di sosmed seringkali berujung pertengkaran. Kenal juga kagak.  Gue juga masih belajar untuk nggak jadi manusia bersumbu pendek. Belajar untuk nggak memaksakan orang berpandangan hidup sama kayak gue, dan mungkin ada untungnya jadi orang yang agak cuek dengan manusia di luar sana.
Sekian. Semoga kita bisa semakin cermat dan bijak ketika baca dan berkomentar



#JustWrite

Maaf, Kalau Sewaktu-waktu Saya Menjadi Yang Diundang dan Yang Tak Datang

Oktober 05, 2017



i thought that i should go to another planet until my hair turn to grey. Just wanna save my life from every kind of ‘human party’.

Semakin besar, saya jadi tahu kalau saya punya sedikit-banyak social anxiety. Mungkin karena saya memang introvert, tes-tes psikologi populer mengatakan demikian, MBTI saya INFJ—meski saya pernah mendapatkan INTJ.
Social anxiety itu yang menyebabkan saya enggak suka mengangkat telepon dan sebisa mungkin menghindari perbincangan di telepon. Saya enggak pernah tahu apa yang harus saya katakan ketika ditelepon selain menjawab singkat-singkat, saya selalu merasa bingung harus berkata apa, tetapi saya selalu mencoba mengangkat telepon dari ojek onlinesaya pikir itu bentuk saya menerapi diri sendiri.

Setelah berpikir, saya jadi menemukan bahwa saya bukan tidak suka keramaian. Yang saya tidak suka adalah berada di sebuah keramaian di mana saya mau tidak mau harus in touch atau berhubungan dengan orang-orang di sana, penuh basa-basi. Saya suka ke pasar, mall, berpergian sendiriatau bersama orang dekatke tempat-tempat yang sebenarnya ramai, tetapi entah kenapa saya baik-baik saja. Ketika saya ke pasar, saya cukup bertanya harga, tawar-menawar, dan selesai. Tidak ada basa-basi atau semacamnya. Sehingga saya tidak suka pesta, saya tidak suka perayaan seremonial dan semacamnya.
Saya memang pernah merayakan ulang tahun saat umur empat atau lima tahun dahulu, tetapi entah mengapa saat itu saya merasa baik-baik saja. Mungkin karena semua yang datang teman saya yang saya kenal baik.
Saya ingat, ketika umur saya enam atau lima, saya menghadiri pesta pernikahan Om saya di Jogja dengan ayah saya. Saya melihat begitu banyak manusia, dan saya takut. Saya menangis kala itu. Orang-orang berkata saya ngambek, mengejek saya, padahal saya merasa tidak nyaman dengan kerumunan manusia. Saya juga ingat, di umur segitu, saya lari dari pesta ulang tahun teman saya, karena saya merasa tidak nyaman dengan wajah-wajah asing. Dan ... saya memilih tidur ketika di rumah saya dilangsungkan acaraa sunatan adik saya.
Anxiety itu belum hilang. Saya berpikir dia malah makin menjadi. Ketika saya tidak suka dengan acara bertajuk ‘buka bersama’ ‘arisan keluarga’ dan semua acara di mana manusia berkumpul dengan alasan silaturahmi. Saya tahu saya salah, tetapi dan tetapi.
Waktu bergerak dan saya akan mulai menjumpai hal yang saya takutkan. Mungkin, ini pula salah satu sebab saya tidak menyukai dunia orang dewasa.
Pesta dan segala seremonial kehidupan manusia. 
Cepat atau lambat, teman-teman saya akan menikah, beranak pinak, dan berpesta pora. Saya bahagia akan itu, tetapi saya belum bisa bahagia dan menyamankan diri saya dengan keramaian pesta itu. Saya masih ingin bersembunyi di bawah kaki meja, saya masih ingin lari toilet atau pergi jauh dari hingar-bingar pesta.
Dengan jahatnya kadang saya berpikir untuk segera pindah dari kota tempat saya belajar ini. Pun tidak tinggal di kota asal saya.
Saya tahu, anxiety ini bukan alasan pembenaran jika suatu waktu saya memutuskan mendekam di kamar daripada mengudap makanan di pesta dan tertawa-tawa. Saya mungkin akan datang jika saya merasa baik-baik saja, tetapi bisa jadi yang datang hanyalah sekotak kado atau semacamnya.
Maaf, kalau sewaktu-waktu saya menjadi yang diundang dan yang tak datang. Atau... saya pun tak masalah jika kalian mencoret nama saya dari daftar undangan. 


#JustWrite

Pamit (Flashfiction)

September 29, 2017

Pagi itu kamu datang. Matahari belum tinggi ketika kamu mengetuk pintu. Mengganggu saja.
Pagi itu kamu datang dengan rapi, terlalu rapi untuk sebuah kedatangan di pagi yang terlalu dini. Kemeja flanel biru tua yang dimasukkan ke jeans biru belel. Sepatu yang tertali rapi. Bahkan tercium wangi sampo dari rambutmu yang mungkin baru kering.
Aku menguap, menatapmu dengan malas. Kugaruk-garuk rambutku sambil memandang sebal ke arahmu.
"Saya belum masak dan ini masih subuh. Ngapain pagi-pagi ke sini?"
Kamu cuma tersenyum. Matamu sejenak beralih ke kaktus-kaktus kecil yang tersusun rapi di depan kamar kost. Sudah jelas, kaktus memang lebih menarik dariku. Seonggok manusia tidak terlalu berguna dan mungkin baiknya dicabut nyawanya waktu masih muda.
"Saya nggak akan minta masakan kamu lagi, kok. Saya juga nggak akan ganggu kamu pagi-pagi. Saya juga nggak akan minta tethering dari kamu lagi. Nggak, saya nggak akan."
Aku mengerutkan dahiku, sekerut-kerutnya. "Oh, sudah lulus rupanya?" tanyaku. Bukankah dia pernah bilang teman kuliahnya ada yang sudah beranak pinak dan (mungkin) berbahagia? 
"Nggak. Saya mau pergi aja. Hidup itu pilihan, kan?  Daripada memandang tugas akhir yang tak kunjung selesai, saya mungkin lebih baik pergi."
"Kamu mau pamit?" tanya saya. Ada nada-nada tidak terkontrol waktu aku mengatakan itu. Seperti suara bergetar yang lahir dari keengganan ditinggalkan.
Kamu mengangguk. "Terima kasih. Selamat tinggal," sahutmu. Mengulurkan jemarimu yang panjang-panjang itu. 
"Sampai jumpa," jawabku. 
Kamu mengangguk dan tersenyum sebelum berbalik dan menyisakan mataku yang terus memandang punggungmu sampai kamu tak terlihat lagi dan aku berbalik menuju kamar.
***
  "Saya nggak akan minta masakan kamu lagi, kok. Saya juga nggak akan ganggu kamu pagi-pagi. Saya juga nggak akan minta tethering dari kamu lagi. Nggak, saya nggak akan."  
Aku seharusnya senang kan dengan kata-kata itu? Nyatanya tidak. Aku merasa sedikit menjadi manusia yang berguna ketika bisa memberimu sedikit makananku, membantumu, berbagi kuotaku. Lalu, ketika kamu pergi, aku kembali merasa tidak berguna lagi. Seharusnya, kukatakan selamat tinggal juga sebagai jawaban atas ucapan pamitmu. Karena kamu nyatanya benar-benar meninggalkanku. Sejak pagi di mana motormu menerobos palang kereta dan tergilas bersamanya. 
Satu pertanyaanku, "Apa kamu menyengaja? Pamit pagi-pagi untuk pergi tak kembali? Lalu kamu rencanakan ini sedemikian rupa? Sebab ratusan kali aku mendengar kamu berkata, 'Kalau aku mati muda' atau 'Aku ingin menghilang saja'. Sampai jumpa, sampai jumpa di kehidupan selanjutnya!"

Surakarta, 29.9.2017

#JustWrite

Pintu terbuka tapi tertutup

September 23, 2017

picture by me
Minggu lalu gue ke festival payung bersama seorang teman, Mbak Ulfa namanya. Pulang dari festival payung, kita memilih berjalan ke gang-gang di kampung batik Kauman sebelum akhirnya ke halte BST terdekat. Gue senang melihat-lihat pintu di sini. Melihat jendela-jendelanya, dan warna rumahnya yang pastel-pastel gemay.


Banyak rumah dengan pintu-pintu yang terbuka tetapi ada satu pintu lagi yang tertutup, kayak foto pertama.  Dan biasalah, gue jadi berpikir tentang filosofi pintu terbuka tertutup.
Filosofi dari pintu terbuka tapi tertutup menurut gue adalah ketika lu bisa tetap terbuka dengan orang, tapi lu tetap punya privasi sendiri.

Menurut gue, menjadi terbuka itu sulit. Mungkin gue hanya akan terbuka dengan cara gak langsung kayak menulis blog atau hanya dengan orang-orang terdekat aja. Gue suka merasa kayak semua hal itu privasi tetapi di sisi lain gue merasa perlu bercerita tidak ke manusia sekadar untuk meminimalisir stres gue. 
Menjadi tetap terbuka di sini juga berarti jadi orang yang bisa dibilang ramah dengan orang lain. terutama orang baru Dan hal itu masih susah buat gue. Gue masih sering gak nyaman ketemu orang baru, gue masih susah untuk berbasa basi. 
Tetapi di zaman sekarang, zaman di mana semua hal yang terjadi di diri lu bisa lu ceritakan, lu videokan, sehingga gue merasa banyak orang begitu mudah terbuka akan kehidupannya dengan orang lain. Beberapa hal yang dibagikan memang kadang bermanfaat, tetapi banyak juga yang nggak. Atau... malah terbukanya kebablasan, yaitu saat dia membuka dan memperlihatkan semua yang terjadi pada dirinya kepada khalayak ramai terlalu jauh dan terlalu dalam sampai  mungkin nggak punya privasi lagi. 
Banyak hal yang sebenarnya ingin gue katakan, tetapi, menjadi rumah dengan pintu berlapis seperti ini, rasanya boleh juga. 

#JustWrite

Kamu tidak akan pernah menjadi selamanya

September 10, 2017



Kamu tidak akan pernah menjadi selamanya di dunia yang kian fana
Pun selamanya gegap gempita di kehidupan yang kian kelabu
atau justru selalu muram di dunia yang kadang merah, biru, kuning, jingga, merah muda

kamu tidak akan selamanya menjadi yang terpuruk
tidak akan selamanya menjadi yang tertinggi
tidak akan selamanya menjadi tersayang
tidak akan selamanya menjadi yang terbuang
kamu tidak akan selamanya di tengah segala yang hanya sementara.

10.9.2017

#JustWrite

Betah

September 10, 2017


be·tah a 1 tahan mengalami suatu penderitaan (keadaan yg tidak menyenangkan); tabah; 2 merasa senang (berdiam atau tinggal di suatu tempat): mereka sudah -- tinggal di sini dan tidak ingin kembali ke kampungnya; 3 kl sembuh: -- dr gering;


Dulu, tiap ditanya apa gue betah tinggal di tempat gue merantau untuk sekolah, gue mengangguk. Karena memang begitu. Tapi dari dulu, gue selalu berpikir untuk nggak melanjutkan kehidupan gue di sini, gue ingin tempat baru, dan entah di mana itu. Lalu sekarang, saat gue bahkan belum lulus, gue sudah merasa ingin pindah. Seperti curhatan gue sebelumnya, bukan salah kotanya, salah gue. 
Gue mulai jenuh dan bosan. Ditambah terkadang rasa ketidakbetahan gue akan hidup muncul. Gue memang tidak lagi mempertanyakan tentang kehidupan seperti beberapa tahun lalu karena gue tahu, itu cuma buat gue merusak diri gue sendiri, otak gue, dan pikiran gue. Sayangnya, gue kembali merasa tidak betah untuk hidup. Sayangnya, gue ingin perjalanan hidup gue segera berakhir. Tapi, gue masih takut untuk mati, gue masih takut karena sadar apa yang gue punya mungkin nggak bisa membawa gue untuk tenang di dunia akhir nanti. Masih banyak hal yang menyenangkan yang ingin gue lakukan, tetapi kehidupan kadang terasa membosankan.
Gue tahu, Tuhan tuh nyiptain manusia untuk mengelola bumi, berbuat baik. Tuhan nggak pernah nyuruh gue untuk ini-itu, menekan gue untuk jadi sesuatu, tapi gue sadar kalau lingkungan dan situasi yang secara gak langsung menekan kita untuk menjadi sesuatu, dan tanpa sadar gue menekan diri gue sendiri. Gue gak berharap muluk-muluk buat hidup gue, gue cuma ingin mandiri dan bekerja dengan menyenangkan. Tapi kalau gue pikir lagi, mandiri dan bekerja dengan menyenangkan nggak sesederhana tulisannya. Apa definisi mandiri dan apa definisi bekerja menyenangkan itu relatif. 
Dulu, gue selalu berharap untuk bisa pergi dari dunia sebelum gue umur 25 atau 27. Sekarang, ketika gue memasuki 23 tahun, gue merasa takut apa yang gue harapkan terjadi, tetapi di satu sisi gue pun sudah tidak nyaman ada di dunia ini. Gue sering merasa bahwa adanya gue di dunia ini adalah kesalahan. Gue nggak guna-guna amat di dunia ini. Mungkin ketiadaan gue juga nggak berpengaruh besar selain ke keluarga gue. 
Gue mulai tidak betah lagi di dunia ini, dan sejujurnya, gue gak mau itu terjadi.

#AnakKost

Solo, izinkan untuk segera hengkang

September 04, 2017

Setelah sejak Agustus 2012 gue tinggal di Solo, gue merasa bosan, jenuh, dan ketidakbetahan sejak Agustus 2017. Tidak ada yang salah dari sebuah kota yang tentu lebih maju dari tempat gue tinggal. Tidak ada yang salah dari kota yang menurut gue cukup ramah, murah, dan nyaman. Yang salah adalah gue, gue yang mudah bosan.
Biasanya, gue ga pernah berniat pulang waktu lebaran haji karena memang nggak sempat. Tapi sekarang, gue menyengaja pulang, membawa. sebuah buku tebal untuk melanjutkan bab dua tesis yang tak selesai-selesai. Belum juga sebulan dan gue merasa tidak betah. Rasanya berat sekali untuk kembali ke Solo, padahal liburan juga tak terlalu lama, gue beberapa kali liburan hampir dua bulan karena dirapel dengan libur lebaran.
Gue belum tahu akan ke mana gue setelah lulus, siapa yang akan menerima gue sebagai pekerja atau apa yang akan gue lakukan. Tetapi gue jadi merasa ingin segera lulus, gue jadi merasa ingin segera menyelesaikan tesis gue sebelum gue makin jenuh. Tetapi gue nggak mau juga kehidupan gue sekarang sampai gue lulus besok terganggu karena ketidakbetahan ini. Gue harus kembali membiasakan diri untuk menyamankan diri gue di sana. Gue belum bekerja, dan gue pikir gue bisa menyegerakan kelulusan dengan fokus nulis tesis dan nulis fiksi/novel gue.
Gue tahu kalau gue pasti akan merindukan kota ini ketika gue sudah entah di mana. Gue pasti akan kangen dengan lapak buku bekas gladak, kain-kain di klewer, PGS, Beteng, dan kampus gue tentu saja.
Tetapi untuk saat ini, gue merasa jenuh, bosan, ingin segera mengepak barang dan pindah untuk selama-lamanya. Bukan salah kotanya, salah gue yang pembosan. Maka Solo, izinkan gue untuk segera hengkang.

#JustWrite

Komi, Boydine, Jerry, selamat bermain di surga bersama-sama.

Agustus 18, 2017

Kokomi meninggal seminggu lalu. Pagi tadi, Boydine pun berpulang. 
Agustus, dan tiga ekor kucing gue meninggal. 
Gue nggak tahu bagaimana mendeskripsikan rasanya. 
Apalagi, gue kadang lebih empati sama binatang daripada sama manusia. Gue cenderung memikirkan perasaan kucing gue yang habis keguguran daripada ada berita di TV soal artis keguguran. Itu bukan mau gue, tapi secara alami aja, gue mikirnya begitu.
Gue tahu Jerry meninggal karena sakit. Komi juga. Kalau Komi sakit batuk pilek dan ingusan, Komi dicurigai FIP karena perutnya membuncit sedang muka dan kakinya gak ikut gendut. Ditambah kata Mama gue, dia ngeluarin cairan kuning dari perutnya sehari sebelum meninggal. Komi meninggal lagi tidur, sehari sebelumnya dia memang terlihat hampir sekarat. Tapi sore dan besoknya sehat dan mau makan. Mungkin dia mau membahagiakan keluarga gue dengan meninggal dalam keadaan yang gak mengenaskan.
Gue kaget waktu tahu Boydine meninggal. Dia memang ikut batuk waktu Jerry batuk, tapi terus sembuh. Badannya memang ga setambun dulu, tapi dia mau makan dan minum madu. Ibu gue cerita, beberapa hari lalu dia diare tapi udah sembuh. Jadi, nggak nyangka aja dia tahu-tahu ditemukan sudah terbujur kaku.
Gue nggak tahu harus ngomong apa, mau nggak mau gue memang harus mengikhlaskan mereka. Satu hal yang membuat gue sedih adalah mereka semua meninggal waktu gue udah balik ke Solo. Gue merasa sedih gak bisa ikut mengurusi mereka waktu sakit.
Emang benar, Tuhan mungkin lebih baik mengambil mereka daripada melihat mereka menderita. Gue memang harus ikhlasin mereka. Mungkin tugas mereka sebagai hewan peliharaan gue sudah selesai. Dan tugas gue sebagai pemelihara mereka pun sudah usai. 
Selamat jalan, Kokomi, Boydine tambunan, dan Jerry Moi.
Berbahagialah bermain bersama-sama.
Kalau hari akhir benar-benar ada, semoga kita bisa bertemu lagi.



#AnakKost

Baru Datang Sudah Ingin Pulang

Agustus 05, 2017

Benar sekali, baru Sabtu pagi kemarin saya diantar Papa ke Merak dan naik bus ke Solo siangnya. Baruuuu... banget. Sayangnya, entah kenapa saya jadi ingin segera pulang lagi. Entah karena Mama saya bilang kalau bisa lebaran haji pulang (dan saya emang udah rencana dari zaman puasa untuk pulang pas Idul Adha) atau saya merasa libur masih kurang, mengingat di rumah cuma sebulan (dan mengingat biasanya hampir 2 bulan kalau libur semester).
Pinterest.com
Biasanya, saya akan bayar kuliah dari rumah pakai autodebet. Biasanya, saya akan krsan online dan nitip teman untuk tanda tangan krs. Tapi ini... bahkan saat pembayaran belum dimulai saya udah di sini. Yah, salah saya juga sih cepat-cepat, tapi kan ini pilihan. 

Tapi entah kenapa, saya merasa nggak sabar untuk segera akhir bulan. Rasanya kalau di rumah, waktu berjalan cepat sekali. Kalau di sini... semua bergantung apakah hari itu saya sibuk apa nggak.  
Mungkin saya memang harus pulang untuk berlebaran, karena dari tahun 2012, saya cuma pulang untuk lebaran idul fitri aja. Mungkin saya pulang sebentar saja, kalau lebaran hari Jumat, mungkin saya pulang Selasa atau Rabunya dan kembali ke Solo Seninnya. 
 Saya nggak tahu, mungkin saya akan pulang saat akan lebaran haji, dan kembali lagi ke Solo dan baru pulang saat saya sudah selesai sidang tesis. Mungkin saya harus kembali seperti skripsi dulu, berkomitmen untuk 'Pantang Pulang Sebelum Sidang' mulai September ini. Kalau nggak gitu, saya nanti nggak semangat. Bisa jadi saya malah akan pulang terus yang bisa-bisa menghambat kelulusan. Saya mau kuliah cepat selesai karena saya tahu, kuliah itu mahal. Dan selama Agustus ini, saya harus mengusahakan proposal saya selesai segera agar bisa ujian proposal.
Ya, saya memang ingin pulang dan dekat dengan keluarga dan kucing-kucing saya. Tapi saya tahu, saya punya tanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang saya mulai untuk mereka.  Semoga tugas akhir saya bisa lancar. Amin

#JustWrite

Dear Jerry Kitten, I alwys remember you

Agustus 02, 2017

Namanya Jerry, kucing kecil warna cokelat tua kehitaman (nggak jelas warnanya apa) yang dikasih sama teman ibu gue. Jerry ini kucing hasil hubungan kucing anggora sama kucing kampung biasa, hasilnya, Jerry lebih kelihatan kayak kucing kampung. Cuma, dia lebih cepat besar, badannya panjang, buntutnya panjang dan bengkok, manja banget dan suka mijit kalau minta makan.


Jerry udah diasuh Ibu gue mungkin sekitar bulan April waktu usianya dua bulanan. Kucingnya lincah, lucu, manja, tapi kayak nggak pernah ngeong. Sayangnya, dia agak malas makan. Mau makanan kucing kering, basah, atau ikan goreng, pasti cuma sedikit. Makannya cuma kalau dia ngerasa perlu aja.
Gue pertama ketemu Jerry waktu pulang puasa kemarin. Masih sehat dan lincah. Tapi waktu keluarg gue pergi ke Jambi, pulangnya dia mulai bersin-bersin dan flu. Untungnya biar sedikit, dia tetap mau makan. Karena dia mulai ingusan, jadilah selain dikasih obat flu kucing, Jerry juga dijemur dan diuap pakai air panas biar saluran napasnya lancar. Jerry lama-lama mulai sehat, cuma napsu makannya menurun dan jadi nggak mau makan. Kayaknya, dia sariawan.
Waktu gue ke Solo kemarin, Jerry masih nggak mau makan, cuma minum, minum vitamin dan madu. Batuknya udah mulai sembuh, cuma kayaknya sariawannya makin menjadi sampai nggak mau buka mulut.
Ibu gue udah nyoba untuk terus ngasih madu karena dia nggak mau makan. Dikasih makanan pakai suntikan yang gaada jarumnya pun dilepeh sampai nyakar ibu gue. Badannya udah tinggal tulang dan dia meninggal subuh tadi waktu adik gue mau sahur.

Gue kira, Jerry akan sembuh. Gue akan liat dia makin besar waktu pulang besok. Liat dia main, loncat-loncat mau nangkap burung dalam sangkar, kejar-kejaran sama Komi. Gue kira pas gue mau ke Solo kemarin, dia bakal sehat dan gak drop karena ingusnya udah bersih. Tapi ternyata, dia ninggalin gue, adik gue, keluarga gue, dan kucing lain. Gue sempat mimpi ketemu banyak kucing sebelum bangun dan dapat wa kalau Jerry mati.
Gue masih ingat, waktu pagi gue mau ke Solo, dia ngikutin gue, mengeong, padahal dia jarang begitu. Dia bahkan ikut masuk ke kamar mandi dan berdiri-diri di bak air panas. Jerry terus ngikutin gue sampai gue bersihin ingusnya, matanya, dan badannya pakai tisu. Dia tetap nggak mau makan meski gue tahu dia mengeong karena lapar.

Sayang, di dekat rumah gue nggak ada dokter hewan.  Gue merasa sedih karena nggak bisa merawat dia sampai sembuh, karena mungkin harusnya dia diinfus biar tetap ada tenaga. Gue merasa sedih karena gue dekat dengan dia selama libur. Gue sadar,mungkin memang menurut Tuhan, dia lebih baik meninggal daripada tersiksa sama sakitnya. Ngeliat kucing yang masih kecil mati mungkin memang lebih sedih daripada kelinci gue yang memang sudah sangat tua kemarin, rasanya karena kelinci gue memang sudah tua,juga meninggal dengan tenang, gue merasa lebih lega melepasnya.

Adek gue bilang, waktu mau ngubur Jerry, ada seekor kucing kecil kampung warna hitam putih yang deketin dia dan minta makan. Sekarang kucing itu di rumah dan ngikutin adek gue terus. Mungkin dia tahu, adek gue sedih. 
Dear Jerry Moi, I stiil love you, always remember you. Tenang di surga. 

#AnakKost

Kembali Keluar Zona Aman (Racauan Ketika Tesis akan Dimulai)

Juli 29, 2017


Gue baru saja tiba di Solo kemarin pagi, setelah terus-terusan menunda keberangkatan ke sini dengan berbagai alasan. Kayak, mau buat ATM baru, kereta yang biasa dinaiki gak ada lagi trayeknya, dan sebagainya. Sebenarnya, gue di rumah nggak lama-lama amat, pulang tanggal 22 Juni dan ke sini tanggal 28 Juli. Karena sebenarnya pun, masuk kuliah itu tanggal awal September di kalender. Tapi namanya rumah, kalau nggak ingat gue harus mulai menyicil memulai tesis, mungkin gue baliknya abis lebaran haji sekalian.
Pinterest.com
Bagi gue, terutama setelah kuliah di Solo, rumah itu tempat pelarian, tempat gue merasa aman damai dan terbebas dari kecemasan. Rumah itu zona aman gue, dan tiap terlalu lama berada di zona aman, gue harus kembali menyesuaikan diri untuk bisa terbiasa lagi.
Gue ngerasa, gue ga memaksa untuk segera ke Solo kemarin. Rasanya, gue ingin lama di rumah sebelum balik ke Solo untuk menyiapkan diri bergulat dengan tesis. Sekarang, gue nggak tahu apa gue benar-benar siap, tapi gue juga sadar kalau lebih baik gue memulai daripada menunggu siap. Gue nggak tahu gimana pembimbing gue nanti, kesibukan mereka, dan masalah-masalah lain, jadi gue pikir lebih baik gue memulai sekarang.
Gue selalu berusaha meyakini, apa yang dimulai pasti akan diakhiri, karena umur manusia pun begitu. Belajar dari skripsi gue yang pada akhirnya selesai, gue mikir kalau tesis gue pun akan selesai.Yang gue butuhkan adalah konsisten, ketekunan, kesabaran, dan rajin berdoa, hal-hal yang gampang ditulis tapi kadang susah dikerjain. Dan sebenarnya, makin hari gue makin sadar kalau kadang masalah yang ada itu lebih ke masalah gue sendiri, gue suka cemas yang berakhir nunda tugas, padahal waktu gue kerjain yang akhirnya bisa (walau kadang nggak kayak yang gue harapkan).
 Gue sadar kalo hidup bukan lomba lari, yang gue tahu, kalau gue mau lari ke finish, yah gue harus fokus sama lintasan gue. Lintasan tiap orang berbeda jadi nggak baik untuk banding-bandingin.
Gue sadar sekarang, kenapa rumah adalah zona aman gue setelah gue kuliah. Karena waktu pulang ke rumah, gue benar-benar pulang, berlibur, mendekam di rumah dan menikmati hari-hari bersama keluarga dan kucing gue. Di rumah gue nggak mikirin mau makan apa hari ini karena selalu ada makanan, gak mikirin betapa tingginya cucian kotor karena ada mesin cuci, nggak mikirin tugas-tugas kuliah karena lagi libur, dan semua itu berimbas ke menurunnya kecemasan gue kalau di rumah. emang sih, gue masih mikir dan takut soal masa depan di rumah, tapi nggak seseram pas gue jauh dari rumah.
Pada akhirnya, gue emang harus ketemu tesis lagi dan memulai dramanya yang gue harap berjalan lancar sehingga gue cepat lulus. Bukan apa sih, uang kuliah dan biaya hidup kan mahal, jadi gue harus segera lulus untuk ngeringanin orangtua gue. Kalau ditanya mau jadi apa setelah lulus, gue ada pikiran, tapi gue nggak tahu apa takdir gue ke sana atau gak. Papa nyuruh gue untuk lebih realistis dalam hidup, dan mungkin pada akhirnya gue harus bekerja, nggak kuliah terus, dan yakin aja Tuhan akan kasih gue pekerjaan yang baik dan menyenangkan nanti.
Gue memutuskan untuk rehat dari wattpad dulu sampai sidang tesis atau paling ga, sampai gue udah mau selesai. Mengingat waktu gue skripsian kemarin, agak terjadi kelambanan akibat gue malah nulis puisi dan 24. Ya, walaupun sekarang gue nggak bisa lagi meracau kayak dulu, atau racau-racau itu memang akan keluar waktu gue rada stres dan semacamnya. 

By the way, gue masih bingung apakah gue pulang atau tidak lebaran ini. Gue pengen pulang dan berlebaran karena gue nggak pernah lebaran haji dari 2012.  Gue mikir, seminggu di rumah udah cukup, asal gue bisa lebaran. Lagipula, katanya nggak ada lagi kuliah. Cuma, gue malas aja naik bus. Tapi, kereta yang gue naikin udah nggak ada. Deu, gue makin pusing dan tulisan ini makin ngalor ngidul. Jadi sekianlah

#JustWrite

Batu Berair

Juni 11, 2017

Batu itu sudah mencair, kalau pun tidak, ia mungkin menjadi agar-agar. Tahukah, kamu? Sebongkah batu itu memang menyimpan beberapa ml air di dalamnya. Dahulu kata, batu itu akan semakin keras ketika sebuah palu menghantamnya, melindungi air yang tersimpan di tengahnya. Itu dulu, sebelum matahari menghanguskan batu menjadi kehitaman dan batu itu menjadi sesuatu yang begitu rentan. Jangankan palu, tertiup angin saja batu itu bisa terbelah menjadi dua, mengalirkan tetes-tetes air di dalamnya. Kadang, tak ada angin tak ada hujan, batu itu membelah sendiri, mengalirkan air yang ia simpan. Batu itu tidak sekuat dahulu, hanya saja, palu tak sesering dipukulkan seperti sebelumnya, dan batu itu bisa menutup kembali ketika warnanya yang hitam berubah menjadi kemerahan tiap matahari pergi. Ini tentang batu, dan hanya tentang batu.

#AnakKost

Masih mau ngancem orangtua?

Mei 30, 2017

Akhir-akhir ini, gue sering lihat berita yang mungkin kebetulan sejenis. Like, gue baca berita ada bapak-bapak yang beli HP dengan pecahan uang dua ribuan, karena anaknya nggak mau sekolah kalau nggak dibeliin android. Atau gue nonton 86 yang anak SD kelas 6, udah pacaran, main sampai tengah malam, dan kalau nggak dibolehin main, mengancam yang aneh-aneh. Berita-berita macam itu sebenarnya mungkin sering gue dengar dari dulu. Berita-berita semacamnya yang intinya banyak anak-anak yang meminta sesuatu ke orang tua tanpa sadar kemampuan orangtua mereka, banyak yang mengancam orangtua demi melakukan sesuatu yang salah. Hal-hal yang kadang bikin gue sedih dengarnya. Iya, nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini gue mendadak jadi sensi dengan lingkungan sampai gue menutup twitter dan facebook demi kesehatan gue.

Gue bukan anak paling baik sedunia, gue juga masih kuliah dan masih diberi uang bulanan tiap akhir bulan. Gue masih menyusahkan orangtua gue dari segi finansial, menang lomba atau fee proyek nulis pun nggak seberapa. Mungkin gue nggak pantas mengkritisi mereka, dan belum tentu gue lebih baik dari mereka. Gue mungkin perlu bersyukur karena gue tidak pernah meminta, orangtua gue yang ngasih duluan, kalau mereka nggak kirim-kirim gue uang bulanan, mungkin memang sedang tidak ada dan itulah pentingnya gue untuk menabung. Tapi, dari kecil, gue selalu diajarkan, kalau gue mau sesuatu, gue harus usaha, kalau kurang, baru mereka bantuin. HP pertama gue, waktu SMP, adalah hasil tabungan lebaran, menang lomba waktu SD, dan gue jualan stiker yang kemudian ditambahin bapak gue. Kamera gue yang sekarang, setengahnya adalah hasil jualan buku bekas hampir setahun dan setengahnya lagi dari ibu gue. Mungkin dia kasian karena gue kehilangan kamera gue dari SMA. Gitu juga dengan HP yang sekarang gue pakai, HP gue rusak, ibu gue memberi sejumlah uang yang kalau gue mau lebih dari itu, pakai uang sendiri. Tetapi, gue merasa, gue nggak begitu butuh hp yang cetar, hp gue cuma J1 mini. HP apalah itu kalau dibandingin temen-temen gue. Gue sadar, gue bukan orang kaya, dan gue merasa jahat kalau gue meminta sesuatu yang mahal.

Dear, gue bukan mau menasehati atau apa, siapalah gue ini. Gue hanya ingin berkata bahwa sadar, lu itu siapa, dan siapa orangtua lu. Sadar, sebatas mana kemampuan orangtua baru lu minta. Orangtua mana yang nggak mau anaknya senang, orangtua mana yang nggak mau memberikan apa yang diinginkan anaknya, tapi sadar, kemampuan orangtua lu itu semana. Jangan meminta apa yang mereka nggak mampu, lu tahu, orangtua lu akan sedih ketika dia nggak bisa ngasih apa yang lu inginkan bahkan tanpa lu marah-marah. Tanpa lu sadar, lu-lu pada yang minta motor atau mobil di usia muda dan ngancem aneh-aneh padahal orangtua lu nggak mampu, lu udah memberatkan pikiran mereka. Bahkan, gue pernah dengar, ada bapak yang kena serangan jantung dan meninggal karena anaknya minta motor mahal dan ngancem yang aneh-aneh. Lu mau orangtua lu meninggal hanya karena itu? Lu yang ngancem-ngancem, emang lu udah ngasih apa ke orangtua lu? Apa sekolah lu bagus? Apa lu membanggakan mereka? Apa lu bantuin mereka di rumah? Lu sadar itu? Lu sama aja kayak demo-demo di depan istana negara, minta macem-macem, padahal bayar pajak aja kagak.

Orang-orang pada akhirnya nggak melihat lu dari kendaraan apa yang lu pakai, Hp apa yang lu pakai, baju apa yang lu pakai. Kalau lu memang mampunya 20, jangan maksa 30. Kalau teman-teman lu memaksa lu untuk seperti mereka, pikirkan lagi pertemanan kalian. Pertemanan nggak sepicik itu. 

Sudahlah, selamat puasa. 
Maaf kalau gue ber-lu-lu. Gue nggak bermaksud menuduh orang, nuduh lu, dan gue memang sering ber-lu-gue dengan diri sendiri. Dan, gue merasa lebih lepas kalau gue ber-lu-lu.

#Imajinasi

Puisi-puisi abal gue di Wattpad

Mei 29, 2017

Honestly, gue bukan tukang baca buku puisi atau sejenisnya. Kadang susah buat gue untuk paham maksud dari puisi meski gue kadang baca-baca aja tanpa peduli banyak untuk menelaah lebih jauh. Itu juga yang sering terjadi saat gue nulis racauan yang mungkin bisa dikatakan sebagai puisi, meski gue merasa itu terlalu memalukan disebut puisi. Tetapi... kata teman gue, gue harus menghargai karya gue. Sebenarnya, gue bisa aja menulis puisi di blog ini, cuma dulu, gue sedang senang meracau karena entah kenapa, enak aja nulis di aplikasi wattpad di HP. Sekarang sih, gue udah bosan dan udah lama banget nggak nulis puisi lagi. Gue nulis racauan kalau gue lagi merasa ga baik-baik saja, atau justru waktu baik-baik saja. Sayangnya, sampai sekarang susah buat gue untuk nulis sesuatu yang bahagia, biar gue lagi senang, kadang gue nulis yang menyedihkan. Oke, jadi di bawah ini ada beberapa kumpulan puisi abal gue.
Yang pertama, ada Abu-abu. Gue gabisa ngasih judul, dan abu-abu itu, puisi pertama dan posting pertama di akun gue. Akun gue namanya PlutoPamit. Dulu gue iseng, gue pengin kasih nama Pluto aja, tapi harus 6 karakter, jadilah gue kasih nama PlutoP, dan gue ubah jadi Plutopamit kemudian.




Setelah itu, gue nulis Juni untuk Juli, itu, proyek iseng gue nulis selama Juni-Juli.



Dan terakhir, ada The Escapist, ini masih on going sih, cuma karena gue memutuskan untuk puasa Wattpad, dan gue udah bosen publish di Wattpad, kayak lebih enak nulis di blog atau di word aja gitu, jadi dia terabaikan.


Yasuda, selamat puasa, semoga postingan ini bermanfaat.

#JustWrite

Keluarga yang Terlempar ke Luar Angkasa (Cerpen)

Mei 25, 2017

Kegaduhan pagi ini dimulai dari teriakan Mbah Sastro, lelaki berusia tujuh puluhan, mantan dosen seni rupa yang memelihara selusin burung di halaman rumahnya. Lelaki bersarung kotak-kotak dengan kaus putih itu berteriak,”Mereka terbang! Hei, mereka terbang!”
Awalnya, tidak ada yang memperhatikan teriakan Mbah Sastro, pagi masih begitu sepi, sampai tukang kebun mereka, Kerik, turut melihat ke angkasa dan terpana. Kerik semula mengira Mbah Sastro menunjuk kawanan burung seharga jutaannya lepas dari sangkar, tetapi yang kemudian dilihatnya adalah tiga orang manusia bergandengan melayang-layang dan terpental-pental di langit. Tubuh mereka sesekali terlihat seperti melompat-lompat, sesekali terombang-ambing,mendadak berputar-putar seperti komedi putar, lalu secepat kilat tertarik ke atas hingga tak lagi terlihat.
Semuanya peristiwa tadi terekam dalam kamera ponsel pintar Kerik. Tangan kapalannya tergerak untuk mendokumentasikan kejadian itu karena berpikir video amatirnya bisa menjadi bukti sejarah seperti rekaman video-video amatir saat tsunami Aceh. Bagi Kerik, ia tidak mungkin memanjat tiang listrik dan meloncat dengan sprei yang diikat di pundak seperti Superman untuk menolong keluarga itu. Pun, istrinya, berkata bahwa ia membutuhkan Kerik yang apa adanya, maka ia tidak perlu menjadi Superhero, misalnya. Kerik memilih mendokumentasikan daripada sok jagoan.
“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Mbah Sastro, lebih seperti berbicara sendiri ketimbang berbincang dengan Kerik.
“Mereka terbang. Bu Ninik, Pak Akmal, dan anaknya Imora terbang,” jawab Kerik. Lalu menunjukkan video rekamannya. Video yang baru saja ia sebarkan di grup whatsapp ‘Perumahan Srikandi’. Video yang memancing setiap orang di perumahan keluar dari rumah mereka dengan keadaan apa adanya sambil memandang langit dengan sejuta tanya. Sebagian masih menggunakan daster, beberapa memilih berpiyama, dan sekumpulan bapak-bapak yang mengenakan kaus dalam putih dengan celana pendek atau sarung. Semuanya memegang ponsel, dan bisik-bisik mulai terdengar. Segerombol anak kecil tertawa berlarian tanpa peduli bahwa salah satu teman main mereka yang cengeng, Imora, baru saja terlempar dari bumi, mungkin ke luar angkasa. Hari itu, Minggu 30 April, televisi-televisi, juga portal berita online heboh dengan sebuah berita berjudul ,”Keluarga yang Terlempar Ke Luar Angkasa”

Banyak spekulasi yang muncul mengapa mereka terbang di angkasa dan hilang begitu saja.  Bu Laksmi agak gendeng, percaya bahwa mereka dipilih Tuhan untuk mendapatkan hidayah baru atas agama baru. Cucu Mbah Sastro, Bima dan Yudhistira, percaya bahwa Bu Nini dan Pak Akmal berencana bercinta di luar angkasa agar bisa kembali ke dunia dan menyenandungkan lagu Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa. Tante Gita, guru fisika di sebuah SMA percaya bahwa ada gaya gravitasi yang sangat kuat yang menarik mereka. Masih banyak lagi pendapat lain, mulai dari yang dapat diterima akal pikiran hingga terlalu imajinatif.
Semua pendapat itu seketika terbantahkan ketika polisi yang menggeledah rumah keluarga kecil itu menemukan secarik kertas berwarna merah muda dengan tulisan biru bertuliskan : Suara kalian begitu memuakkan, bernyanyilah, teriaklah, menarilah, enyahlah kalian ke luar angkasa! Bumsakdarkesembrotosengkasurutusingrotogozokosooo platu-platu.
Berhari-hari polisi melakukan penyelidikan, tetapi tidak juga menemukan jawaban. Rumah keluarga kecil itu kemudian ditempati saudara mereka. Tidak ada yang membicarakan terlemparnya keluarga itu sekarang.  Tetapi Kerik, patut berbangga. Ia menjadi komedian di layar kaca. Tingkahnya yang lucu saat diundang sebagai saksi mata di berbagai televisi mengundang gelak tawa dan ia pun pensiun dari tukang kebun. Sekarang, tiap malam, ia muncul di televisi bersama Sule. Memang tidak ada lagi yang membicarakannya, tetapi semua warga ingat. Termasuk Karla.
pinterest
Karla mengira itu hanyalah buku catatan biasa milik tetangganya, Naya. Maka, ia dengan santainya membaca buku catatan itu sambil mengunyah keripik singkong dan menonton Kerik di televisi. Naya sedang mandi dan mata Karla terus menelusuri kata demi kata di buku itu.
Saya benci tetangga saya.
Tidak ada alasan yang pasti mengapa saya membencinya selain sulutan emosi tiap kali mendengar suara-suara mereka yang masuk lewat lubang angin. Suara-suara sumbang dan cempreng yang menyulut emosi saya. Suara-suara yang tak pernah saya izinkan memasuki gendang telinga saya tetapi dengan mudahnya menggetarkan koklea dan otak menangkapnya dengan mudah, semudah ketidaksukaan saya.
Seperti cinta yang kadang tanpa alasan, seperti itulah ketidaksukaan saya pada suara-suara dari rumah sebelah. Tanpa alasan. Kekesalan yang tak diketahui mengapa saya begitu tidak suka dengan suara-suara yang mereka ucapkan. Seperti ketidaksukaan saya pada suara keran bocor yang meneteskan air perlahan-lahan, layaknya ketidaksukaan saya pada tempe busuk dan terong rebus.
Saya tinggal di perumahan yang padat penduduknya. Selain manusia, perumahan ini juga dihuni sapi-sapi, kambing-kambing, beberapa burung  dan ayam petelur. Tetapi, ini bukan peternakan. Ini hanya kompleks perumahan padat kelas menengah ke bawah di mana untuk menghemat, si juru gambar membuat tiap rumah berdampingan. Ini adalah hal yang paling saya sesalkan. Mengapa ayah saya membelikan rumah ini sebagai tanda kebebasan saya karena diterima kerja sebagai ... sebaiknya saya tidak terlalu mengumbar tentang pribadi saya.
Saya tidak pernah membenci tetangga tanpa sebab sebelumnya. Saat masih kecil, saya pernah tidak suka dengan ibu teman saya yang tiap saya bermain dengan anaknya, ia sibuk membicarakan ibu teman saya yang lain yang bersama pembantunya. Mereka duduk di meja makan, mengudap pisang sambil menceritakan hal yang sebaiknya tidak dibicarakan. Saya juga pernah membenci tetangga saya yang membuang sampah di halaman belakang rumah saya. Saya menyadari bahwa halaman kami memang luas, bahkan teramat luas sampai ayah dan kakak saya sering bermain bola di sana. Tetapi, bukan berarti sebuah tanah lapang bisa dengan seenaknya digunakan sebagai tempat membuang sampah. Saya kesal dan geram, belum lagi mereka tidak mengaku. Maka saya juga tidak mengaku saat menaburkan satu ember daun mangga yang banyak semutnya di depan rumah mereka. Masih ada cerita lainnya.
Ini adalah kasus baru, membenci tanpa tahu mengapa. Tidak suka hanya karena suara. Dan lebih anehnya, saya tidak pernah bertatap muka dengan mereka yang tinggal di belakang rumah saya. Ya, belakang dan bukan di kanan atau kiri. Kalau pernah bertemu juga, saya tidak tahu mereka yang mana.
Rumah yang ditempati tetangga yang saya benci adalah rumah seorang nenek renta pada awalnya. saya sering mendengar suaranya terbatuk-batuk atau memanggil pembantunya, entah mengeluh tehnya tidak panas atau sekadar merasa pegal-pegal. Suara nenek itu tidak pernah menganggu telinga saya, saya merasa baik-baik saja sampai nenek itu suaranya tidak lagi terdengar. Ia belum meninggal, hanya saja anaknya yang tertua membawa nenek itu untuk tinggal di rumah mereka sebagai baktinya. Saya tahu itu dari obrolan dua pembantu saat membeli sayur, kebetulan salah satunya adalah pembantu si nenek yang sekarang pun ikut pindah. Si nenek sangat menyayangi pembantunya.
Andai si nenek tidak pindah, mungkin cerita saya tidak akan menceritakan ini. Suatu hari, setelah berminggu-minggu rumah si nenek kosong dan saya hanya mendengar tokek tiap malam, terjadi kegaduhan di rumah itu. Suara-suara cempreng yang menyakitkan telinga saya dimulai. Tidak begitu ingat, tetapi suara yang pertama kali mengusik emosi saya adalah soal sikat gigi.
“Pokoknya, kirimkan sikat gigi Imora ke rumah baruku. Imora hanya mau sikat gigi itu, lagipula susah mencari sikat gigi seperti itu di sini. “
Yang saya lakukan pertama ketika mendengar suara wanita dengan aksen suatu-daerah-yang-tidak-ingin-saya-sebut adalah membuat kernyitan di dahi. Sebegitu pentingkah sebuah sikat gigi? Lebih lagi ucapan menyoal Imora-hanya-mau-sikat-gigi-itu membuat saya bergidik, membayangkan usia Imora yang sepertinya masih balita, sikat gigi seperti apa yang begitu hebatnya sampai harus dikirimkan dari rumah lama yang saya tahu ribuan kilometer dari kompleks ini, dan ... sudah berapa lama sikat gigi itu dipakai? Bukankah sikat gigi paling tidak diganti 2-3 bulan sekali? Membayangkannya saja sudah jijik.
 Seperti ungkapan sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, kebencian saya terhadap mereka membukit. Tentu saja karena anaknya yang mungkin tidak pernah berganti sikat gigi itu terus-terusan menjerit, ibunya balas memekik, dan bapaknya tertawa sumbang. Juga ungkapan cinta sang ibu terhadap anaknya yang berlebihan seperti: Oh, Cintaku, mau makan dengan tempe goreng hari ini? Astaga, kamu begitu cantik seperti Annabelle.
Sebentar, bukankah Annabelle menyeramkan?
Kebencian akan suara mereka membuat jantung saya berdetak tak karuan. Seperti semua emosi negatif berkumpul menjadi satu. Layaknya bom atom yang siap untuk diledakkan kapan saja tiap tersulut kebencian akan teriakan memanggil sang ibu dengan isakan dan kata marahnya. Saya tidak suka mendengar anak yang memarahi ibunya dan ibu yang merasa bersalah dimarahi anaknya bukan atas kesalahannya.
Pagi itu, bom atom itu meledak. Saya kirimkan selembar kertas beserta mantra yang bisa mendepak mereka dari bumi ini. Selembar kertas yang dibaca sang ibu dengan suara cemprengnya, yang mengantarkan mereka ke langit dan  mungkin tinggal di luar angkasa. Saya merasa...

“Tidak sopan! Membaca tulisan orang sembarangan!” teriak Naya, ia berlari dari toilet dan langsung melompati sofa. Mengambil buku hariannya dan melemparkan tatapan penuh hunusan pedang ke arah Karla.
“Kamu jahat, Naya. Suara keluarga itu memang memekakkan, dan tingkah mereka berlebihan, tetapi mereka tetangga kita.”
“Terserah, itu sudah lama terjadi. Aku harap kamu diam,” sahut Naya pelan tetapi sedikit penuh penekanan.
Karla tidak menjawab. Ia memutuskan keluar dari rumah Naya tanpa sepatah kata. Di depan rumah Naya, Karla mengirimkan pesan ke grup whatsapp kompleks perumahan mereka.
Naya yang menerbangkan keluarga Akmal.

Notifikasi ponsel Naya berbunyi detik itu juga. Sebaris pesan Karla di grup langsung terbaca. Matanya terhunus ke punggung Karla yang berjalan menjauhi rumahnya. Tangan Naya seketika menari di atas ponselnya.
Sesaat kemudian, langkah Karla terhenti. Ponselnya bergetar dan sebuah  pesan dari Naya ia terima. Perlahan ia membacanya. Bumsakdarkesembrotosengkasurutusingrotogozokosoooplatu platusutukumbro

Seketika tubuh Karla tertarik ke atas, kakinya terayun-ayun, tangannya melambai-lambai, dan teriakannya tersapu angin. Hari itu Karla terlempar ke ruang angkasa, tanpa seorang pun merekam peristiwa itu.


Surakarta, 1 Mei 2017

Popular Posts

My Instagram