Saya tahu kalau kamu tidak pernah
menginginkan keberadaanmu di dunia. Saya tahu kalau enggak ada yang benar-benar
kamu inginkan lagi di dunia sejak kamu tahu kalau batal hidup itu tidak
mungkin. Saya tahu kamu adalah manusia yang tidak pernah tahu mengapa kamu ada
di sini tetapi masih berusaha bertahan karena ada orang-orang yang menjadikanmu
ada yang terlalu baik untuk kamu patahkan hatinya ketika kamu benar-benar
mematahkan nadimu. Saya tahu menjalani hidup dengan kecemasan yang tidak pernah
kamu undang tetapi datang, gejala depresi yang datang sendiri, dan segala awan
abu yang memayungi kepalamu itu tidak menyenangkan. Saya tahu bahwa kehidupan
yang dijungkir balik sesuka Dia itu begitu kamu benci. Saya tahu, Ci. Saya
tahu.
Saya tahu bagaimana rasanya tertekan dengan
diri sendiri padahal tidak ada yang menekanmu. Saya tahu rasanya dianggap mampu
padahal kamu merasa tidak, dianggap bisa padahal tidak, dianggap tinggi padahal
tidak. Saya tahu rasanya membenci pujian ketika kamu merasa kamu sampah. Saya
tahu rasanya menerima ejekan dan tatapan menjatuhkan ketika kamu percaya kamu
bisa. Juga rasanya ingin mati tetapi takut. saya tahu kamu ingin mati tetapi
takut dengan sakitnya proses kematian, takut bahwa kamu enggak cukup baik untuk
jadi kesayangan Tuhan, takut kalau kamulah yang menjebloskan orangtuamu ke
neraka.
Dear Ci, terima kasih sudah mau bertahan di
belantara dunia yang tidak kamu suka. Terima kasih sudah terus berjalan walau
beribu kali kamu ingin berhenti dan mengangkat tangan. Hari ini saya ingin
berkata padamu, kamu memang belum berbuat apa-apa, tapi tidak mengakhiri dirimu
sendiri itu sudah cukup besar untuk saya. Kalau kamu tak tahu hidup itu untuk
apa, hidup itu untuk mati, Ci. Kalau kamu percaya Tuhan, Dia janji dia akan
memberi kita hidup sesuai dengan apa yang kamu lakukan sekarang. terdengar
tidak menyenangkan, tetapi kalau kamu percaya Tuhan, kamu juga harus percaya
ini. Jadi, Ci. Mari kita lanjutkan hidup untuk kematian yang lebih baik. Saya
tahu kamu ingin mati muda, mari kita lihat apakah benar adanya.
Sekali lagi, maafkan dunia dan semesta.
Kamu tidak akan pernah baik-baik saja sampai kamu berdamai dengan mereka.
Gue menemukan gambar itu di Pinterest beberapa hari lalu. Pinterest memang sosial media yang paling gue cintai setelah Twitter, atau mungkin sekarang telah menggeser Twitter? Karena si burung biru mulai ramai kembali dan gue tidak menyukai keramaian sekalipun keramaian timeline. Lupakan soal sosial media karena gue mau ngoceh soal tulisan di gambar itu. Ternyata, nggak hanya gue yang berpikir macam itu. Kalau mereka sampai menamai itu sebagai suatu fobia, pastilah ada beberapa manusia yang juga merasakannya.
Pada dasarnya, gue bukan takut terlalu happy, gue terkadang lebih ke arah takut berharap karena ketika gue nggak berharap apa-apa, apa yang gue terima akan sedikit membuat gue senang. Meski, gue tetap manusia yang suka nggak sengaja membuat plan atau menginginkan sesuatu. Tapi, gue memang pernah dan masih berpikir begini: Ci, jangan terlalu euforia sama apa yang lu dapet, apa yang buat lu ketawa, apa yang buat lu jumpalitan hari ini. Karena tinggal menunggu waktu, semuanya akan berbalik sebelum lu merasa senang lagi.
Gue berkata begitu bukan karena tanpa alasan. 23 tahun gue hidup, gue selalu merasakan 'diangkat tinggi-tinggi' atau diartikan perasaan lu sedang senang, lalu ketika lu senang, lu dijatuhkan ke bawah. Itulah yang buat tiap gue merasa sedikit senang saja, gue me-warning diri gue kayak: bahagia ya lu? siap-siap aja abis ini dikasih bom aja. Jangan terlalu senang, Ci. Jangan terlalu senang.
Dan memang seperti itu yang gue rasakan, gue senang-gue ditonjok-gue berdiri-gue senang lagi-gue ditendang-dan ini akan berakhir kalau gue mati.
Gue tahu kalau manusia mudah 'patah' dan mungkin gue sedang melakukan tindakan pencegahan. Dan pikiran itu yang mungkin membawa gue ke perasaan datar-datar saja, kadang. Gue akan jadi manusia yang terlihat tidak bersyukur karena gue tidak terlihat senang, dan di cap batu ketika seharusnya gue sedih dan menangis tapi gue diam saja. Atau kepala gue memang sudah kekurangan stok dopaminnya, sehingga apa pun sekarang jadinya hambar sehambar-hambarnya.
Gue tahu bahwa kesenangan, kebahagiaan dan perasaan penuh sangat subjektif. Meskipun kata-kata receh macam bahagia-tuh-sederhana-banget adalah kata-kata yang gue benci. Gue tidak tahu apakah Cherophobia ini baik untuk gue atau tidak, tetapi inilah cara gue menjaga diri gue. Walaupun, gue mulai merasakan kalau gue semakin tidak bisa merasakan kegembiraan sekarang. Kenapa gue nggak pernah nulis yang benar-benar menggembirakan pun karena gue tidak tahu benar bagaimana rasanya dan gue bosan membaca semua yang menggembirakan. Baiknya gue tutup saja ocehan ini sebelum gue makin sinting dan berbicara yang makin tidak-tidak. Kenapa gue ingin berpuasa twitter pun karena gue takut gue berbicara terlampau negatif di sana. Sekian.
Pembaca buku yang kadang suka meracau menjadi puisi, atau tulisan berlembar-lembar yang masuk ke ranah fiksi. Novel debutnya berjudul 24 (Elexmedia, 2018), dan tahun 2019 menelurkan novel berjudul Ikan Kecil (Gramedia Pustaka Utama, 2019).
Terkadang ia merasa 'bumbalipop' tiap bangun tidur di pagi hari. Masih menjadi peminum-kopi-beneran dan 'kopi mainan' , penunda-tugas-musiman, pencemas-tengah-malam, penyuka kain, dan pejalan kaki yang ingin punya sneakers satu lemari. Sering terlalu ramah pada kucing ketimbang makhluk lain.
Membaca ini seperti membaca teenlit di era ku SMP, maksudnya gaya ceritanya tuh yang kayak gitu. Ternyata buku ini terbit saat kumulai kuliah. Cukup menikmati sih, sukses kaka penulisnya
Bila boleh kukatakan, ini novel yang melankolis. Novel ini berputar pada kisah masa lalu yang dituturkan dengan banyak narasi, seakan mendukung bahwa si tokoh tidak terlalu banyak bicara dan tenggelam dalam pikirannya.
Bab pertama novel ...
Buku ini cukup mudah dipahami, bahasanya tidak terlalu sulit meskipun ia membawa-bawa amigdala dan saudara-saudarinya. Depresi bisa mengintai siapa saja dan mengenali sejak dini lebih baik daripada mengobati. Buku ini tersedia di aplikas...
Kutak menyangka kalau dua penulis besar (dan sangat menyesal belum membaca buku mereka) sebenarnya bertetangga. Kisah masa kecil mereka sangat seru dan menyenangkan. Menjadi Holmes, Watson, dan Lestrade kecil terlihat asyik.