Notra dan Parami #Fotobercerita
Maret 13, 2015#FotoBercerita adalah salah satu cara saya belajar menulis, saya akan mengeluarkan apa yang saya pikirkan ketika melihat sebuah foto. Selamat menikmati! Saya terbuka untuk kritik dan saran :)
this picture from. crushculdesac.tumblr |
"Aku menemukan kotak ini di gudang. Kukira ini milikmu," suara Sonia terdengar, memecah konsentrasiku menghitung pengeluaran bulan ini. Aku melirik kotak hitam bertulis merk sepatu yang cukup terkenal, itu kotak sepatu yang kuminta dari ayah beberapa tahun silam.
"Memang milikku."
"Baiklah, aku letakkan di sini ya. Masih banyak yang harus kubereskan," ujar Sonia sambil meletakkan kotak itu di mejaku. Belum sempat kujawab, sepupuku itu telah pergi ke gudang belakang. Bukan Sonia namanya kalau duduk manis melihat rumahmu berantakan. Sudah dua hari ia menginap di rumah peninggalan orangtuaku -yang memilih kembali ke kampung halaman untuk menghabiskan hari tuanya-, dan sudah dua hari pula Sonia membereskan setiap kekacauan yang kuciptakan. Kamar berantakan, sepatu dimana-mana, dinding penuh coretan hingga piring berdebu tinggal cerita kalau Sonia datang.
Aku meraih kotak itu, membukanya pelan. Aku tersenyum, rasa hangat menjalar di sekujur tubuhku. Kutemukan jepit rambut biru dengan bunga kecil dari kancing baju. Aku ingat, ini adalah kado dari Sonia saat aku berulang tahun ke-7. Secarik kertas ulangan matematika dengan angka 100, haha ini ulangan matematika pertamaku saat SD. Penggaris besi 15 cm yang angkanya telah pudar, hingga sebungkus permen yang kuyakin sudah kadaluarsa. Aku kembali mengaduk kotak itu, secarik foto usang kutemukan.
Notra dan Parami. Mereka berdua adalah sahabatku saat sekolah dasar. Entah mengapa ayah mempersilakan aku membawa kamera kesayangannya hari itu.Padahal biasanya ia akan ngomel dan berbicara panjang lebar bahwa benda itu mahal dan bukan mainan. Tapi pada akhirnya aku tahu mengapa ayah melakukannya.
Hari itu aku membawa kamera polaroid ayah ke sekolah. Memfoto guru, teman sekelas, hingga bangku sekolahku. Hari hujan ketika aku pulang bersama Notra dan Parami. Sepatuku basah sedangkan Notra dan Parami menikmati segarnya air hujan di tanah basah. Aku selalu gatal untuk tidak memakai sepatu saat ke sekolah. Zaman itu, hanya sedikit anak yang memakai sepatu. Tapi Ibu selalu mengeluarkan ceramahnya.
"Bagaimana jika kakimu tertusuk duri, atau paku? Bagaimana kalau kamu terpeleset? Bagaimana kalau kakimu berjamur atau kena panu? Bagaimana jika di perjalanan kamu menginjak kotoran kuda? Jadi pakai saja sepatumu," sahut Ibu tiap kali aku mengutarakan keinginanku.
"Wah, wajahku tertutup daun pisang," komentar Notra begitu melihat hasil jepretanku.
"Aduh, ekspresiku seperti gadis bodoh," tambah Parami, gadis dengan rambut sangat pendek. "Bisa foto kami lagi?" lanjutnya.
"Sayangnya itu kertas terakhir, besok aku akan membawa kamera lagi. Aku janji," sahutku sambil menyunggingkan senyumnya.
Aku teringat esoknya aku kembali membawa polaroid ayah. Memfoto mereka berdua di depan kelas, foto itu tidak kusimpan. Kuberikan foto itu pada mereka berdua. Masing-masing satu orang, dan fotoku sendiri.
"Ini hari terakhirku sekolah disini. Besok aku pindah ke kota, Ayah berkata penelitiannya telah berakhir," sahutku setelah memberikan lembaran foto itu. Wajah Notra dan Parami yang cerah memburam. Seperti teletubies, kami berpelukan. Lalu aku mengajak mereka ke rumahku. Dua pasang sepatu merah dan biru hadiah dari Tante Maffy kuberikan pada Notra dan Parami. Mereka lebih membutuhkan, aku masih punya banyak sepatu saat itu.
Ponselku berdering. Bosku kembali menelpon. Perempuan tua cerewet itu baru menelponku dua jam yang lalu, tapi sekarang ia sudah menelpon lagi. Kuselipkan foto itu di agendaku, mungkin aku perlu jalan-jalan ke tempat dimana aku mengerti arti berbagi dan persahabatan. Ponselku makin nyaring berdering.
"Selamat siang, Bu."
"Pivovara... dari mana saja kamu baru angkat telponku!"
ossyfirstan
0 comments
Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!