Pamit (Flashfiction)

September 29, 2017

Pagi itu kamu datang. Matahari belum tinggi ketika kamu mengetuk pintu. Mengganggu saja.
Pagi itu kamu datang dengan rapi, terlalu rapi untuk sebuah kedatangan di pagi yang terlalu dini. Kemeja flanel biru tua yang dimasukkan ke jeans biru belel. Sepatu yang tertali rapi. Bahkan tercium wangi sampo dari rambutmu yang mungkin baru kering.
Aku menguap, menatapmu dengan malas. Kugaruk-garuk rambutku sambil memandang sebal ke arahmu.
"Saya belum masak dan ini masih subuh. Ngapain pagi-pagi ke sini?"
Kamu cuma tersenyum. Matamu sejenak beralih ke kaktus-kaktus kecil yang tersusun rapi di depan kamar kost. Sudah jelas, kaktus memang lebih menarik dariku. Seonggok manusia tidak terlalu berguna dan mungkin baiknya dicabut nyawanya waktu masih muda.
"Saya nggak akan minta masakan kamu lagi, kok. Saya juga nggak akan ganggu kamu pagi-pagi. Saya juga nggak akan minta tethering dari kamu lagi. Nggak, saya nggak akan."
Aku mengerutkan dahiku, sekerut-kerutnya. "Oh, sudah lulus rupanya?" tanyaku. Bukankah dia pernah bilang teman kuliahnya ada yang sudah beranak pinak dan (mungkin) berbahagia? 
"Nggak. Saya mau pergi aja. Hidup itu pilihan, kan?  Daripada memandang tugas akhir yang tak kunjung selesai, saya mungkin lebih baik pergi."
"Kamu mau pamit?" tanya saya. Ada nada-nada tidak terkontrol waktu aku mengatakan itu. Seperti suara bergetar yang lahir dari keengganan ditinggalkan.
Kamu mengangguk. "Terima kasih. Selamat tinggal," sahutmu. Mengulurkan jemarimu yang panjang-panjang itu. 
"Sampai jumpa," jawabku. 
Kamu mengangguk dan tersenyum sebelum berbalik dan menyisakan mataku yang terus memandang punggungmu sampai kamu tak terlihat lagi dan aku berbalik menuju kamar.
***
  "Saya nggak akan minta masakan kamu lagi, kok. Saya juga nggak akan ganggu kamu pagi-pagi. Saya juga nggak akan minta tethering dari kamu lagi. Nggak, saya nggak akan."  
Aku seharusnya senang kan dengan kata-kata itu? Nyatanya tidak. Aku merasa sedikit menjadi manusia yang berguna ketika bisa memberimu sedikit makananku, membantumu, berbagi kuotaku. Lalu, ketika kamu pergi, aku kembali merasa tidak berguna lagi. Seharusnya, kukatakan selamat tinggal juga sebagai jawaban atas ucapan pamitmu. Karena kamu nyatanya benar-benar meninggalkanku. Sejak pagi di mana motormu menerobos palang kereta dan tergilas bersamanya. 
Satu pertanyaanku, "Apa kamu menyengaja? Pamit pagi-pagi untuk pergi tak kembali? Lalu kamu rencanakan ini sedemikian rupa? Sebab ratusan kali aku mendengar kamu berkata, 'Kalau aku mati muda' atau 'Aku ingin menghilang saja'. Sampai jumpa, sampai jumpa di kehidupan selanjutnya!"

Surakarta, 29.9.2017

You Might Also Like

1 komentar

  1. permisi, maaf mau tanya nama template blog nya apa ya kak? makasih

    BalasHapus

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram