POLWAN, MATA dan KAKI

Desember 24, 2014





POLWAN, MATA dan KAKI

Polwan hanyalah cita-cita fiktif yang bukan takdir gue.




Cita-cita pertama gue adalah jadi Polwan. Gini awal mulanya...
Gue TK 3 tahun. Gue betah banget di TK, sampai-sampai gue nangis waktu perpisahan karena gue enggak mau keluar dari TK. 3 tahun di TK, gue melewati 3 kali karnaval tahunan. Dan 3 kali itu gue selalu memakai pakaian Polwan. Gue yakin ini karena Mama dan Papa enggak mau ribet dengan membawa gue ke salon, memakaikan gue baju daerah yang beresiko tinggi membuat gue menangis karena tidak nyaman atau gue  takut melihat wajah sendiri ketika di dandani. Alhasil gue selalu memakai baju POLWAN yang dijahitkan tukang jahit langganan Papa, bahannya tentu bahan asli PDH POLRI. Dan rambut gue yang selalu di potong pendek kayak cowok, pas banget dengan topi polwan.
SD ternyata ada karnaval lagi saudara-saudara. Dan enggak ada baju lain yang gue pakai selain baju Polwan. Dari situ setiap orang bertanya ,” Ossy mau jadi Polisi kayak Papa ya?” gue selalu mengangguk. Karena gue enggak tahu gue mau jadi apa, jadi gue iya-iya aja. Gue yakin mereka mengira gue sangat berambisi jadi POLWAN sampai enggak ada baju lain selain baju itu.
Tapi sepertinya gue mulai menggeleng ketika gue tahu kaki gue enggak akan meloloskan gue jadi POLWAN. Ketika...
“Sy, kaki kamu kok kayak pinguin sih?”
“Ossy, jalannya yang bener dong!”
“Kakimu panjang sebelah ya?”
“Baris itu kakiknya lurus, jangan kayak istirahat di tempat!”
Dan ucapan-ucapan lain yang mengomentari kaki gue yang kece ini.
Ya, waktu SD gue mulai sadar bahwa kaki yang letter O dan sedikit panjang sebelah ini enggak akan meloloskan gue jadi POLWAN. Dan karena cita-cita jadi POLWAN hanyalah jawaban iseng,gue mengikhlaskan diri untuk melupakan semua tentang POLWAN.

Takdir enggak bakal jadi POLWAN juga di kode lagi sama Tuhan pas gue SMP. Ceritanya kelas 7 ada test kesehatan dan waktu test mata, inilah yang terjadi.
Gue berdiri dari jarak 6 meter, memandangi kertas test mata yang gue lupa namanya
“Ini huruf apa?” tanya tester.
‘Enggak kelihatan,”
“Maju,” dan gue maju selangkah.
“Ini?” tanyanya lagi. Gue menggeleng. Lalu gue disuruh maju, di tanya huruf apa, gue menggeleng lagi, ditanya lagi, menggeleng lagi. Gue jadi merasa bodoh karena enggak hapal alfabet. Hingga tepat di depan itu kertas , antara gue dan kertas itu hanya berjarak 40 cm lah
“Ini?”
“B,” ujar gue.
“Oke, besok kamu ke dokter mata atau optik ya! Kamu harus pakai kacamata,” sahutnya. Gue mengangguk dan mengambil kertas hasil test dengan malas. Teman sebangku gue juga terdeteksi mengalami gangguan penglihatan.
Akhirnya gue sampaikan kabar duka itu ke Mama Papa.
“Mungkin keturunan Mama,” kata Mama. Ya, si Mama pakai kacamata juga.
“Makanya, jangan suka baca sambil tiduran, baca di tempat gelap, blablabla,” komentar Papa. Dan gue cuma diam, tapi enggak berani menyalahkan kenapa harus ada majalah bobo dan buku anak-anak yang membuat gue rela merusakkan mata gue.
Enggak lama dari hari pemeriksaan sekolah, gue ke optik sama Mama.
“Kanan minus 4, kiri minus 2, silinder 1,” kata Om yang periksa mata gue. mama kaget, dia sendiri cuma minus 2 dan 3. Lalu gue pulang dengan memakai kacamata. Rasanya dunia terang sekali. Rasanya tulisan di papan tulis jadi lebih jernih. Dan rasanya, gue harus menghentikan berkata bahwa gue pengin jadi POLWAN. Toh, itu cuma cita-cita rekaan karena gue enggak punya cita-cita. Dan sekarang, gue harus menerima mata gue minus 6 dan 6.5.

You Might Also Like

0 comments

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram