Puisi Papa saya

Desember 05, 2013

Malam ini saya membuka-buka foto yang ada di folder, dan saya menemukan ini.


Liburan yang lalu, ketika saya membereskan kamar saya membuka-buka tumpukan majalah bulanan Papa. Sebuah kebiasaan buruk yang sulit sekali saya buang, yaitu membereskan buku dan membacanya dulu. Dan saya menemukan ini, sebuah puisi di majalah Wira Bhakti Ruwa Jurai Bulan Februari 2005.

Tidak,, saya tidak akan menelaah puisi ini (cukuplah menelaah jurnal dan artikel tugas) . Lagipula saya mungkin tidak objektif jika menilik siapa yang menulisnya.

Puisi itu ditulis oleh Papa saya. Waktu itu, saya masih SD dan saya bangga sekali melihat puisi Papa saya dimuat. Puisi ini sederhana, tidak penuh kiasan, majas yang membuat dahi berkerut .
Tsunami terjadi beberapa bulan setelah Papa saya pulang dari sana. Ketika melihat berita, Papa saya melongo, diam, dengan mata menerawang. Melihat Meulaboh hancur,sedang beberapa bulan sebelumnya ia tinggal disana. Tiap hari ia menyaksikan televisi, memantau dan menelpon teman maupun orang-orang yang dikenalnya di sana, hingga pada suatu titik saya melihat ia seperti tidak ingin menyaksikannya. Entah bosan atau trauma.
Yang saya tahu ada kesedihan mendalam, yang kemudian ia tuangkan di puisi ini.

Terserah pendapat orang lain tentang puisi ini, tapi saya Pa..
Saya bangga pada Papa yang berani menuangkannya, mengirimkannya dan berhasil dimuat.

You Might Also Like

0 komentar

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram