Cerita Perjalanan Pulang Ke Rumah Kemarin #latepost

Februari 18, 2015

" dalam kata pulang, perjalanan adalah hal yang menyenangkan"
Ossy Firstan



Kuliah dinyatakan selesai ketika saya meninggalkan kost dengan ransel hitam, slingbag Papa, dan tas laptop hitam yang tak berisi laptop, tetapi kain dan buku. Saya berjalan dari kost menuju halte BST yang ada di depan. Menunggu bus datang. Tadinya, saya berharap koridor dua saja. Tapi yang datang malah koridor satu. Dan saya memutuskan untuk menaikinya. Beruntung saya mendapat tempat duduk, sebab hari itu ramai sekali. Bus BST penuh, baik yang duduk maupun berdiri.

KA Krakatau setelah menurunkan penumpang di St.Senen.
Hampir sejam saya berada di BST hingga akhirnya saya turun di halte yang tepat berada di depan Stasiun Purwosari. Stasiun padat, tapi saya bersyukur masih ada tempat duduk. Mbah saya yang kebetulan ada di Solo dan tadinya berniat pulang bersama saya datang. Singkatnya, saya masuk ke area penumpang, pamit, dan tak lama Kereta Krakatau datang. Lebih cepat dari jadwal.  Kereta datang 12:40 sedang di jadwal 12:50. Padahal biasanya kereta telat 5-10 menit.

13 B, begitu yang tertulis di tiket. Saya masuk ke gerbong 4 atau 5 (saya lupa), menemukan kursi saya dan meletakkan tas di bagasi atas.  Di sebelah saya sudah duduk seorang ibu-ibu yang naik dari Kediri dan turun di Cilegon, berdasarkan pembicaraan singkat, beliau lulusan FSSR UNS tahun delapan puluhan. Perjalanan berjalan seperti biasa. Saya mengudap makanan, membaca komik yang dibawa, menyumpal telinga dengan lagu dan tentu tidur. 
Kereta memasuki Jakarta dan senyum saya terkembang. Tentu saja karena satu per satu penumpang habis. Saya langsung berpindah ke kursi lain, untuk apa lagi kalau nggak untuk.... TIDUR!

Tapi nampaknya Tuhan ingin perjalanan kali ini nggak sesepi biasanya. Di stasiun entah apa namanya masuklah serombongan anak-anak yang saya taksir usianya masih belasan atau SMP-lah. Mereka datang bersama seorang wanita dewasa dan laki-laki dewasa. Entah darimana jam 1 malam begini mereka menghambur ke gerbong. Saya sedang menguasai salah satu kursi ketika perempuan dewasa itu ngomel-ngomel nggak dapat kursi. Saya pun memilih ke kursi saya tadi, ibu yang duduk di samping saya kini tidur di depan saya. Mungkin karena hari libur, maka kereta ramai. Sudah jam 1 malam dan berarti sudah berganti tanggal menjadi 31 Desember. Kereta terus berjalan, namun tetap saja telat. Sangat telat malah.
Jika di jadwal tiba 02:27, nyatanya saya tiba di Stasiun Merak sekitar pukul 03:30. 
Gerimis mewarnai perjalanan saya dini hari itu. Loket dekat stasiun yang kosong, memaksa saya berjalan ke loket yang nun jauh disana. 15 ribu adalah harga yang harus saya bayar untuk sebuah penyebrangan. Jujur saya tidak pernah menyebrang sendiri sebelumnya, dan karena saya belum paham banget seluk beluk Pelabuhan Merak. Saya percayakan pada insting setelah bertanya pada 2 lelaki yang satu kereta dan mereka nggak tahu ( dan lebih kebingungan dari saya)
Saya lupa saat itu dermaga mana yang yang sedang dibuka, tapi sepertinya dermaga enam. Virgo 18, nama yang terpampang. Lumayan bagus kapalnya. Untuk sampai ke tempat penumpang, saya harus naik eskalator. Kapal terlihat ramai, ruang lesehan terlihat penuh dengan laki-laki. Saya putuskan untuk duduk di sofa food court, memesan segelas teh seharga sekotak teh celup. Saya pikir tak apa,anggap saja membayar kursi seperti kalau naik kapal dan pindah ke kelas eksekutif.

Saya menyesap teh hangat dengan perlahan, baru setengah gelas saya teguk ketika seorang ABK datang dan memberitahu ke ABK (kali ini ABK, anak buah kapal, bukan anak berkebutuhan khusus) yang berjaga di pintu untuk menyuruh semuanya pindah kapal. Saya menoleh.
"Bongkar kapal, Mbak. Ayo turun," ujar seorang ABK. Saya memakai tas saya, menjinjing tas laptop dan keluar dari Kapal. Saya menengok ke belakang, namun belum ada penumpang lain yang turun. Namun suara pramugari kapal terdengar. Salah seorang ABK lain memberi tahu saya jalan keluar.

Waw, ini mengagetkan,
bagian bawah kapal sudah sangat lapang. Mobil sudah keluar. Beberapa polisi tampak terlihat. Entah ada apa. Dan di tengah rintik hujan, saya harus kembali berjalan dengan ransel dan sling bag ber-cap POLRI yang makin berat. Saya berjalan di sela-sela mobil dan kembali naik tangga. Menunggu kapal yang akan jalan.
Pelabuhan Merak

 Dermaga dua akan dibuka (saya lupa, kalo nggak satu ya dua). Jam di smartphone bodoh saya menunjukkan pukul 04:30. Itu berarti sudah hampir 1 jam saya duduk manis di Virgo 18. Saya pun iseng memotret pelabuhan sambil menunggu kapal sandar. 

Sekitar pukul 04:50, saya pun masuk ke kapal yang kalau tidak salah namanya Kapal Baruna. Kata Papa saya sih kapal ini dulu kapal perang. Saran dari Papa, "kalau naik kapal, naiklah dermaga satu atau dua. Ada pemecah ombaknya yang membuat kamu lebih cepat sampai," 
Saya langsung masuk ke ruang AC, yang bau-baunya akan diminta bayaran. ( Ada beberapa kapal yang meminta bayaran untuk pindah kelas, ada juga yang kapalnya semua kursi enak dan bagus tapi gratis). Dan memang dimintai 10.000 untuk pindah kelas. Duduk di pojok depan dekat jendela berharap bisa memfoto laut dari dalam ( tapi pada akhirnya itu hanya harapan).
penampakan dalam kapal,

Kapal masih sepi, namun tak lama kemudian satu persatu masuk. Seorang ibu-ibu bermuka licin masuk, meletakkan payung dan tas plastik besar yang kuduga sebagai baju untuk dijual. Ia pergi meninggalkan belanjaannya. Lalu segerombolan keluarga masuk dan menempati tempat duduk di sebelahku. Tak lama ibu itu datang, terkejut tempatnya penuh dengan anak kecil. Ia meringis dan duduk di pinggir. Mengeluarkan botol entah apa dan menguapi wajahnya. Saya tidak tahu istilah yang tepat untuk menghadapkan botol ke wajah, memencetnya, dan keluar uap. Pada akhirnya saya tahu dari internet itu adalah alat kecantikan.
Kemudian tedengar bisik-bisik dua gadis di sebelah saya.
"Eh udah nggak usah diliatin, bikin malu. Nanti kalau udah kerja kita beli," kata salah satu diantara mereka. Saya menoleh, mendapati salah seorang diantaranya sedang mengamati ibu itu. Saya menoleh keluar, bermaksud keluar dan memfoto matahari terbit atau kapal lain. Namun yang ada hujan deras, angin kencang, dan ombak besar. Sedikit sebal saya duduk diam.
Oh ya, ada pemandangan 'menarik'. Saat kapal masih sepi, ada satu keluarga yang masuk ke ruangan ini, namun memilih untuk keluar dan cari kelas lain, si istri nggak mau disini. Tapi kemudian mereka datang, mondar-mandir dan menyesal tidak dapat kursi. Sang suami menyalahkan istrinya nggak mau disini tadi, dan sang istri menyalahkan suami nggak punya antisipasi. Selanjutnya entah dimana mereka duduk.
Sekitar pukul 7:30, kapal mulai menuju daratan. Saya putuskan untuk keluar dan jepret sana-sini. Langit masih mendung, dan sedikit gerimis.  Berikut hasil jepretan Canon ixus 105 alias si oren.
mendung


kalau Siger sudah kelihatan... makin dekatlah dengan daratan!

Kapal bersiap sandar

And i saw my Dad and Ovira!

Dan kemudian saya turun, disambut Ovira. Keluarga dari Papa yang sedang berkunjung pun ikut menjemput. Tapi bukannya langsung pulang, di tengah gerimis temaram berhenti dulu di menara yang tadi terlihat dari kejauhan. Berhubung gerimis kami tidak banyak berfoto-foto, saya sudah lelah...
oke, yang di belakang berwarna merah itu tugu nol kilometer.
Dan perjalanan Bakau-Palas yang sejatinya bisa habis hanya dalam waktu 1 jam, terpaksa molor dan sampai rumah hampir jam 10 karena Papa memilih lewat jalan Lampung Timur dan blusukan kesana kemari.

Oke, begitu ceritanya. Menyenangkan. Sebab dalam kata pulang, perjalanan adalah hal yang menyenangkan.


Ossy Firstan.
Ditulis setelah balik lagi ke Solo.

You Might Also Like

0 komentar

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram