On his mind.#ff

Mei 12, 2015

Kemarin, pulang kuliah entah kenapa langsung ngambil buku and write this. Belum selesai atau mungkin hanya sampai sini, aku juga nggak tahu. Lelaki yang ada di cerita ini hanya minta diceritakan kisahnya meski belum berakhir. Enjoy it. Mau kritik saran juga boleh :)


Symphony No.40 in G Minor milik Mozart memenuhi ruang pendengaran saya. Pelantang dengar terpasang rapat di kanan dan kiri telinga. Saat ini saya merasa sedang berlari, berusaha pergi dari kenyataan kejam yang saya takuti. Saya tahu bahwa kenyataan bedebah dan menyakitkan itu tidak akan pergi sekuat apapun saya berteriak mengusirnya. Mungkin saya sedang menyangkal. Meski saya paham benar menyangkal adalah kesia-siaan.
You know, you must face the truth. Stop asking ‘why’ .
Bukan, itu bukan perkataan saya. Seorang lelaki tua berjambang putih dengan topi kuning yang mengatakannya pada saya beberapa hari lalu. Tidak, kami tidak mengobrol atau saling mencurahkan masalah. Saya sedang menunggu bus ungu nomor 37 yang saya yakini bisa mengantarkan saya ke surga barang sejenak. Lelaki itu datang dengan tas coklat yang ia rapatkan ke kemeja putihnya yang lusuh. Ia memandang saya dan berkata,”Dear, You know, you must face the truth. Stop asking ‘why’ . “ . Saya tidak menanggapinya, saya malas berbincang-bincang dengan siapapun sekarang. tidak ada orang di dunia ini yang bisa saya percaya. Tapi dengan bedebah, ucapan kakek tua itu terpatri di otak saya. Lihat, saya ingat setiap katanya sekarang, bukan?
Tak lama setelah mendengar ucapan kakek tua itu, bus nomor 37 datang dan saya meninggalkan si kakek. Bus itu berhenti di depan sebuah bar dan saya masuk ke sana. Memesan berseloki-seloki minuman setan. Apapun nama minuman beralkohol yang terdengar indah di telinga, saya pesan malam itu. Seperti, “Welcome to the jungle”, “Imagine Cow” sampai “Red or blue or black or yellow, bullshit !”. I know... saya tahu mabuk adalah hal buruk. Tapi saya sedang menyangkal apapun sekarang. Bersama cairan fermentasi laknat Tuhan saya melayang. Terbang ke langit lapis sekian dan tertawa sepuas setan. Bahwa saya hanya bisa tertawa dan menertawakan nasib saya bersama “Red or blue or black or yellow, bullshit!” dan dentam-dentum musik yang tak pernah menertawakan apa yang saya teriakkan. Malam dimana saya mabuk itu saya melihat cahaya berkilauan. Mungkin malaikat, tapi sudikah makhluk suci itu masuk ke bar?
Pelantang dengar masih berbunyi, memutar simfoni Mozart yang lain. saya menutup mata, menikmati hembusan angin yang menerpa pori-pori kulit saya. Cuaca cerah namun angin membuat saya tak gerah. Bisakah saya menjadi angin? Yang bisa berhembus sesukanya. Dari utara ke selatan, dari barat ke timur laut. Bisa dengan manja berayun di dahan pohon atau kesetanan dan menjadi angin ribut atau badai. Lalu malu-malu dan berhembus pelan tanpa terasa.
Serotonin, oksitosin, dopamin, dan endorfin. Apalagi? Apalagi hormon yang menyebabkan manusia jadi bahagia?
Ada sebuah teori busk yang sangat saya benci setengah mati. Teori itu berkata bahwa semua bermula dari otak, dari pikiran kita. Ya, semua yang kita rasakan dan pikirkan bermula dari benda menyerupai agar-agar yang terombang-ambing di kepala dan ditahan cairan yang tidak pedulilah saya akan namanya.
Jadi, ketika saya sedih sebab otak. Saya resah karena otak. Saya senang karena otak. Bodoh saya karena otak. Sebab otak pula saya pintar. semuanya sebab otak. Saya benci teori itu mungkin karena memang benar. Dan saya makin benci ketika saya merasa resah, saya hanya bisa menyalahkan otak. Bukan kaleng soda di depan mata saya, bukan gadis cantik yang mengerling manja di sudut bar, atau pengemis buruk rupa. Segala kesalahan, kesedihan, dan tawa saya berasal dari otak. Terpujilah engkau ketika saya bahagia dan terkutuklah engkau ketika saya sengsara, otak.
Musik yang katanya dapat mengubah perasaan menjadi lebih ceria tak menimbulkan apa-apa Saya sedih sekarang. dan makin sedih tidak ada yang bisa saya salahkan. Terlebih semuanya salah otak dan menyalahkan otak sama saja menyalahkan diri sendiri.
Serotonin, oksitosin,dopamin, dan endorfin. Mungkinkah saya sedang miskin mereka sekarang? Hingga saya tidak bahagia d merasa hancur lalu ingin kabur. Apakah jika hormon itu melonjak, saya bisa bahagia? Bisakah mereka menyelesaikan masalah pelik saya? Saya tidak percaya, tapi tidak ada yang salah untuk mencoba.
***
Lelaki kurus itu menghampiri saya ketika saya duduk di taman kemarin. Menawari pil-pil dengan harga selangit yang warna-warni dan menarik hati. pil itu tersenyum pada saya.
“Bisa menaikkan serotonin, dopamin, oksitosin, endorfin?” tanya saya.
“Ah, Anda bicara apa Tuan? Yang saya tahu bahwa Anda bisa bahagia jika Anda menelan pil ini. Anda akan merasa seperti di surga, melayang tanpa batas dan lupa semua masalah Anda. Lihat, saya terlihat bahagia bukan? Hahaha.”
Saya mengamati lelaki itu, dari rambutnya yang keriting, matanya yang cekung namun terlihat bergairah dan semangat, bibirnya menghitam dan terus menyungginggkan senyum sambil tertawa. Saya butuh bisa tersenyum dan tertawa seperti dia. Saya butuh senang, saya butuh, saya menginginkannya.
Maka saya menguras uang yang ada di bank, mengubah digit yang saya miliki demi pil warna-warni yang terus tersenyum pada saya.
Malamnya saya menelan sebutir pil tersenyum berwarna pink. Pil yang saya yakini mampu mendongkrak kadar serotonin, dopamin, Oksitosin, endorfin dan tentu pemicu bahagia dan segala tawa. Malam itu saya merasa manusia paling bahagia. Saya melihat semua orang tersenyum pada saya, mereka ada di langit-langit kamar. Bahkan adik saya yang sudah mati pun tertawa di langit-langit.
Ada rasa nyaman dan tenang. Senyum saya terus terkembang bersama tawa yang membahana. Saya telan lagi pil bahagia itu. mendadak semua orang yang ada di langit kamar menghilang. Saya kesal, namun dua ekor kelinci dengan jas datang. mereka lucu sekali. Kelinci dengan pita merah memegan mikrofon dan si pita hijau memegang tamborin. Belum menyanyi saja saya sudah tertawa, kelinci-kelinci itu lucu sekali dan mereka bergoyang-goyang. Si pita merah memulai nyanyiaannya. Tidak ada masalah sampai ia lupa lirik di bait kedua baris kedua,pula.

“When the blazing sun is gone. When nothing.... when nothing... when nothing... nothing....”
Kelinci berpita merah menunduk menyembunyikan pipinya yang gembil dan memerah karena malu. Meski begiyu ia tetap mengulang-ulang ‘when nothing’. Si pita hijau terlihat asyik sendiri memaikan tamborinnya, tidak peduli dengan si merah dan menari-nari sendiri.
“When nothing shines upon!” seru saya. Si pita merah merona bahagia, melanjutkan nyanyiannya. Tapi ia selalu lupa baris kedua.
Di bait ketiga ia lupa “thanks you for your tiny spark” dan terus menggulang-ulang “thanks you”
Di bait keempat ia terus berkata “And often through” dan lupa bahwa lanjutan tiga kata itu adalah “my curtains peep”.
Bait terakhir ia hanya meracau “the dark” ketika seharusnya “ lights the traveller in the dark”.
Saya bertepuk tangan sambil terengah-engah sebab lelah menertawakan si kelinci. Saya ingin lagi, lalu menelan pil kuning. Tak lama setelah pil itu saya telan, kelinci-kelinci itu undur diri. Saya diam sambil memandangi kaca di depan saya. Sampai seorang raksasa hitam dengan mata kuning tertawa dan mendekati saya. Saya bersembunyi di balik selimut dengan lutut bergetar dan dada bergemuruh kencang. Air mata saya jatuh dan mulut saya memanggil nama Tuhan. Tapi, apakah Tuhan dengar teriakan saya?
*


You Might Also Like

0 komentar

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram