Saya menulis untuk saya sendiri, sebab

Mei 13, 2015

Saya membaca sebuah pertanyaan entah-dimana-dan-kapan-saya-lupa yang kira-kira intinya begini ,"Untuk siapa kamu menulis? "

Meski tulisan itu tidak bertanya ke saya, anggap saja dia bertanya dan saya akan menjawabnya. Sekaligus pertanyaan mengapa saya menulis.

Untuk siapa saya menulis? Jawabannya adalah untuk saya sendiri.
Terdengar egois atau idealis ? Mungkin. Tapi begitulah adanya. Saya menulis benar-benar untuk saya. Saya tidak mau menulis untuk orangtua saya sebab belum tentu mereka membaca dan menyukainya. Saya tidak menulis untuk teman-teman saya, sebab tidak semua suka membaca. Saya tidak menulis untuk penerbit. Baik, saya memang ingin tulisan saya diterbitkan. Tapi dalam proses menulis itu sendiri, saya tidak mengharapkan apapun sebab tujuan utama saya adalah selesai. Bersenang-senang, melatih konsistensi. Saya menulis untuk saya sendiri sebab sayalah yang berbahagia ketika sedang menulis. Sayalah yang lega ketika selesai dan membacanya. Sayalah yang mengkritik tulisan saya yang lampau dan menertawakannya sendiri. Sayalah yang kecewa sendirian. Sayalah yang merasa ringan dan sayalah yang merasa meledak-ledak.

Saya menulis sebab bagi saya menulis adalah terapi. Maka yang diterapi adalah saya. Ya, kembali, untuk saya sendirilah itu semua. Saya sedang menulis ini saja, sebenarnya saya sedang mengorek-ngorek sebab saya menulis. Saya menemukan saya ketika menulis, saya menemukan apa mau saya, apa keresahan saya, apa yang mau saya bereskan, apa yang mau saya hilangkan. Blog adalah tempat saya menerapi diri saya sendiri, tidak peduli dengan apa kata orang, apakah orang membaca bagian #meracau atau tidak. Saya menulis sebab saya ingin mental saya sehat. Menjauhkan diri dari kecemasan dan ketakutan yang kadang datang. Mencoba meraba ada apa dan mengapa saya resah karena kadang saya merasa ada beberapa tanda aleksitimia meski saya tidak mengidap itu.

Saya menulis sebab saya ingin menjadi apa yang saya tulis, merasakan apa yang tokoh saya rasakan, mengalami yang tidak bisa saya lakukan. Menjahili tokoh saya, membuat tokoh saya gembira, membuat tokoh saya sedih, membuat si tokoh berkata apa yang saya benci, berlaku yang saya tidak suka atau sukai, dan hal lainnya. Saya tidak mau bunuh diri tapi saya penasaran bagaimana rasanya detik-detik sebelum bunuh diri, maka saya menulis Mian. Saya cemas dengan usia yang bertambah, maka saya menulis bab pertama Odrei. Dosen saya berkata,"Gimana ya anak ADHD yang sesungguhnya?" dan saya mencoba menulis Biru kecil. Saya bisa mengutuki siapapun lewat tokoh saya, bicara apapun lewat mereka, dan saya pikir orang tidak bisa menggugat tokoh saya terkait apa yang ia katakan
Saya menulis sebab otak saya terasa berat kalau saya tidak menulis. Sama halnya ketika saya merasa otak saya kosong kalau tidak membaca. Ada banyak hal yang ingin saya ceritakan. Memang, mungkin hanya 1/4 dari pikiran saya yang tertulis. Sisanya adalah bicara saya pada orang lain, dan setengahnya adalah perbincangan di otak tiap malam yang mengganggu jam tidur dan tidak bisa saya hentikan atau tiap saya tidak melakukan apapun.

Saya menulis sebab saya tahu tulisan saya buruk. Saya percaya latihan bisa membuat tulisan semakin bagus. Maka saya bermain dengan tulisan, secara tidak langsung saya berlatih dan saya percaya, tulisan saya akan semakin bagus nantinya.
Saya menulis sebab  saya ingin menulis. Kalau saya tidak ingin ya saya tidak menulis. Saya tidak ingin melakukan sesuatu maka saya tidak akan melakukannya. Kecuali, saya bagian dari sistem dan terikat seperti PR misalnya. Tapi jika saya tidak terikat, saya melakukan sesuai keinginan saya seperti mama saya menawari saya kamera baru ketika kamera saya baru saja hilang, dengan tegas saya menolaknya dan berkata nanti saja.
Saya menulis sebab saya ingin konsisten dan disiplin dalam hidup. Saya menulis jika ingin, namun ketika keinginan itu datang tiap hari dan saya memupuknya untuk menjadi kebiasaan, bukankah saya sedang melatih diri untuk jadi lebih konsisten?

You Might Also Like

2 komentar

  1. Ternyata nama lengkapnya sangar :D
    Dan mukanya Kak Oci ... saya agak gabisa bayangkan kalau muka senyum itu selalu ngomong dengan diplomatis ahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangar gimana?
      Muka saya kenapa hah? Emang kukalo ngomong diplomatis ya? Hahaha

      Hapus

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram