Tamu tak Diundang

September 16, 2014



terinspirasi dari Tenda Biru  Desy Ratnasari. 

“Jadi kamu enggak tahu kalau besok Brada nikah?” teriak Elle disambut tatapan tajam pengunjung kedai mie ayam. Gadis itu kemudian tersenyum kecut dan mengangguk-angguk ke para pengunjung.
“Eh, beneran enggak tahu?” kali ini Elle kembali bertanya namun berbisik. Abel yang diajak bicara hanya mengangkat bahunya, mengerucutkan bibirnya, lalu melanjutkan menyantap mie ayam yang baru dimakan dua suap itu. Sesungguhnya ia mendadak kenyang begitu mendengar kabar ‘busuk’ itu. Tapi, demi pengorbanan jauh-jauh menempuh perjalanan satu jam hanya untuk makan mie ayam Pak Timbul yang terkenal enak, serta menyayangi lambung, Abel bertekad menghabiskan mie ini.
“Aku enggak ngerti ya apa yang ada di otak Brada. Sebenarnya dia udah mutusin kamu belum sih sebelum tahu-tahu mau married?” tanya Elle penuh selidik. Lagi-lagi Abel tidak menjawab dan mengangkat bahu. Malas membahasnya.
Abel sendiri tidak tahu bagaimana menceritakan hubungan mereka yang rumit seperti benang kusut. Abel mencintai Brada, begitupula Brada padanya. Abel sudah dikenal baik keluarga Brada, dan Abel rasa dia bukan orang ketiga. Abel tidak mengerti hubungan 4 tahun itu seakan tidak berarti bagi Brada.
“Yang aku dengar dari gosip anak-anak sih, Brada dijodohin gitu sama anak teman arisan neneknya. Gila ya, udah nenek-nenek masih ikut campur. Udah tua tuh yaudah gitu, enggak usah ngurusin masalah anak muda,” Elle terus nyerocos.
“Sebaiknya kamu ngelupain Brada mulai sekarang Bel.  Cowok seperti dia enggak pantas untuk ditangisi apalagi dikenang. Kalau dia memang cinta sama kamu, pasti kamu diperjuangkan dong bukannya jadi pengecut gini,” lanjut Elle, ia kemudian mengambil napas setelah terengah-engah bicara tanpa henti.
“Makan mie kamu sebelum dingin,” hanya itu yang keluar dari mulut Abel, Elle menatap sahabatnya yang memakan mie dengan cepat. Jelas bukan Abel banget. Abel yang Elle kenal akan makan mie dengan lamat-lamat, menikmati setiap potongan ayam dan bakso dengan perlahan, bukan memasukkan semua ke mulut tanpa sabar. Elle mencoba paham, bagaimanapun hati Abel remuk sekarang. Mie mungkin menjadi pelampiasan.
***
Tidak ada menangis semalam di kamus Abel. Kadang terlampau sedih membuat kita kehilangan air mata, begitu pikirnya. Maka ia habiskan semalam untuk
mengumpulkan semua kenangan yang berserak di kamarnya. Lalu berniat menjual, membuang, membakar, terserah. Baginya memusnahkan barang pemberian Brada adalah tahap awal melupakan si brengsek itu.
Sebuah kardus besar itu ia letakkan di tengah kamar, sambil mengubah kamarnya yang rapi menjadi kapal pecah yang karam di lautan. Abel memulai ‘bersih-bersih’ dari lemari bajunya. Lelaki berwajah rupawan dan berotak keledai – sebutan baru bagi Abel karena dia bodoh menerima perjodohan -  memang sering membelikannya baju. Abel tak pernah meminta, namun Brada memang senang membelikannya.
“Sayang kalau dibuang,” ujar Abel sambil memandangi setumpuk baju bermerek, 3 buah sepatu Loubutin, dan sebuah Balenciaga putih yang sering dipakainya. Setelah hening cukup lama, gadis berambut panjang itu tersenyum. Tidak ada salahnya menjual semua ini, membuat garage sale di hari adalah ide cemerlang baginya. Elle tentu akan membantu, atau memborong?
Kini Abel bergerak ke laci meja komputernya. Mengeluarkan kotak sepatu, di dalamnya berisi tiket-tiket bioskop, struk belanja, tiket tempat wisata, dan semua hal berbau Brada.
“Goodbye,” sahutnya lirih sambil memasukkan kotak kenangan ke kardus. Ada sesak di dadanya, namun Abel mencoba mengingat bahwa menyimpan ini semua bisa membuatnya merana. Perlu waktu 4 jam untuk membersihkan semua benda kenangan bersama Brada. Termasuk menghapus file-file foto bersama dengan Brada.
“Mbak Abel ngapain sih?” tanya Adel, adiknya begitu melihat sang kakak mendadak bersih-bersih . Abel tersenyum kecut tidak menjawab. Adel mendekat, melongok ke kardus yang telat penuh. Diambilnya sebuah figura berisi foto Abel dan Brada.
“Mbak putus ya?” selidiknya penasaran. Adel menatap adiknya yang masih SMA itu.
“Ya. Bisa bantu taruh kardus ini ke bawah?” pinta Abel, tangannya menunjuk kardus itu. Adel mengangguk dan mengangkat kardus tanpa bertanya-tanya lagi. Ia tahu Adel tidak akan menjawab jika ditanya, ia yakin kakaknya sendiri akan bercerita. Abel membereskan barang-barang lain yang akan ia jual, mengumpulkannya di pojokkan, sebelum naik ke kasur terempuknya.
**
Little Black Dress-nya Marks & Spencer . check
Peep Toe­-nya Nine West, check
Anting mungilnya Moselle, check
Gelang kerang dari mami, check
Black clutch Kade Spade check
Natural make up check
French braid hair? Yup!
Full of confidence ? of course!

Abel memeriksa semua yang ia kenakan. Ia ingin tampil menawan hari ini, sekaligus memastikan yang menempel di badannya bukan pemberian Brada. Sekali lagi ia tersenyum, memuji dirinya dalam hati. Ia beranjak ke garasi, duduk di balik kemudi Swift-nya. Mobil berjalan pelan menuju sebuah hotel berbintang di Solo, sepanjang perjalanan Titanium-nya David Guetta dan Sia berkumandang. Tidak ada alasan jelas, Abel hanya senang mendengarnya.
 “Aku di mobil El. Kenapa?” sahut Abel sambil mengeraskan volume smartphone dan mengecilkan suara tape
“Oh gitu. Jadi kamu enggak datang ke pesta Brada. Aku? Aku mau beli sate di Klaten,” ujar Abel lagi.
“Oke oke. Udah ya, bye,” ditutupnya panggilan itu. suara Sia kembali terdengar, ia bernyanyi mengikuti. Dadanya mendadak sesak, tapi ia berusaha bangkit. Ada hal yang harus ia lakukan, setidaknya sebelum benar-benar menghapus Brada.
***
Dengan kaki bergetar Abel berbaris bersama tamu lain yang mengular untuk bersalaman. Barisan terus maju hingga kini ia harus bersalaman dengan Tante Ema dan Om Katro yang pernah menjadi calon mertuanya. Tangannya begitu dingin saat menyalami Tante Ema, ingin rasanya lari, mengingat ia tamu tak diundang.
“Maafin Brada ya Abel,” lirih Tante Ema berkata. Dengan kaku Abel mengangguk, terus berjalan hingga sampai di depan Brada. Ia menatap lelaki yang membuatnya tahu arti cinta benci.
“Selamat ya Brada,” kata Abel pelan sambil menyalami Brada. Lelaki berjambang itu tak bereaksi apapun selain wajah terkejutnya.  Now you just somebody that i used to know,” bisik Abel menyanyikan sepenggal lagu Gotye. Abel beralih ke wanita di samping Brada, tatapan menilai dari ujung kaki hingga sanggulnya ia tancapkan tanpa dusta. Abel jelas lebih tinggi, lebih mancung dengan wajah indo-nya, dan bersenyum lebih manis darinya.
“Selamat. Dijaga Brada-nya,” sahut Abel sambil melirik Brada. Dahayu – begitu nama yang tertulis di undangan yang Elle miliki – tersenyum ramah pada Abel. Dia mungkin tak tahu siapa aku,batin Abel. Gadis itu kemudian berjalan ke panggung, menemui MC.
“Aku boleh nyanyi kan mbak? Hadiah buat mereka berdua,” sahut Abel pada MC dari pinggir panggung.
“Oh boleh-boleh,” ujarnya ramah. Abel bergegas naik.
Kini ia sudah berdiri di atas panggung dengan mike di tangan.
“Untuk Brada, this is a song for you. Thanks for everything,” sahutnya sambil melirik Brada. Intro lagu mulai mengalun, Abel memejamkan matanya.
Tak sengaja lewat depan rumahmu ,Ku melihat ada tenda biru
Lirik awal Tenda Biru keluar dari bibir tipis Abel. Suaranya yang merdu, syahdu, namun mengiris hati membuat mata beralih ke arahnya. Di pelaminan Brada menegang, Dahayu tampak menahan tangisnya. Makin banyak tamu memperhatikannya, terlebih teman-teman Brada yang mengenal Abel.
Tanpa undangan , Diriku kau lupakan
Tanpa utusan . . . Diriku kau tinggalkan
Tanpa bicara . . . Kau buat ku kecewa
Tanpa berdosa . . . Kau buatku merana

Abel menyanyi dari hati sambil memandang Brada. Lelaki itu terlihat menjambak rambutnya sendiri. Abel tersenyum dalam hati, ada kebahagiaan kecil di sudut hatinya.
Ku tak percaya . . . Dirimu tega Nodai cinta . . . Khianati cinta

Bait terakhir lagu ditutup Abel dengan senyumnya. “Terimakasih,” ucapnya sebelum meletakkan mike dan turun panggung. Mata-mata masih menatapnya, ada yang iba, ada yang malah tersenyum senang karena kesempatan mendekati Abel terbuka lebar. Gosip pun mulai tumbuh bermekaran. Abel berjalan ke parkiran. Tidak ada tenda biru di hotel ini, tapi ia rasa, lagu lama itu mewakili perasaannya.
Suara Adam Levine menyanyikan Maps terdengar dari clutch-nya. Ia segera mengambil ponsel pintarnya. Nama Elle terpampang disana.
“Halo,” sapanya
“Abelarusia, ngapain ngelakuin itu di pestanya Brada?” pekikan Elle terdengar hingga Abel menjauhkan ponselnya sejenak.
“Tahu darimana?”
“Twitter, Facebook, BBM-ku penuh berita kamu ABEL!” lagi-lagi Abel harus menjauhkan ponselnya sekaligus mematikan panggilan. Ia kemudian tertawa, ia sudah siap melupakan Brada.

You Might Also Like

0 komentar

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram