Susi #ShortStory

Oktober 31, 2014


SUSI. Sebaris nama itu sedang marak akhir-akhir ini, tidak ada tempat yang tidak membicarakan sebaris nama itu, begitu pula dengan warung Bu Barijah. Warung nyaris roboh di selatan rumah Paijo, lelaki hitam menjelang empat puluh berambut keriting. Ada kisah tersendiri antara Paijo dan Susi. Tentu bukan Susi sang menteri, Susi lain, Susinya.
Lima tahun silam, kala Paijo memutuskan untuk menjadikan dirinya buta,tuli,bisu tiap nama Susi terdengar atau terlihat.
Membuatnya menutup telinga ketika seorang Ibu memanggil anaknya yang bernama Susi. Ada berita tentang gadis yang diculik bernama Susi di koran, ia menutup mata. Pun kala ia mengantar paket atas nama Susi, ia hanya berucap," Ini paket Mbak Su...,"
 Paijo berhasil melupakan Susi, sistem limbik di otaknya berhasil untuk tidak memikirkan Susi lagi. Semua itu berhasil, setidaknya sampai berita pengangkatan Susi menjadi menteri di televisi menjadi topik hangat untuk dipanaskan. Paijo geram membuka facebook dan menemukan nama itu, Paijo langsung hengkang dari twitter saat Sarminah berkicau betapa ia kagum pada Ibu Susi. Semalam, laptop bergambar apel dimakan tikusnya ia masukkan ke kotak sampah, berharap tidak lagi bertemu dengan nama cantik yang mengingatkan pada masa lalu. Dan seorang mahasiswa miskin begitu bahagia menemukan laptopnya.
Lelaki itu bekerja di kantor pos. Pagi ini, ia meletakkan tas hitam bututnya di meja, lalu menyapa Ana, gadis belia merah jambu yang membantunya. Ia duduk di kursi hitam reyot sambil menyesap kopi hitam kaya gula. "Hidupku pahit, maka kopiku harus manis agar seimbang," katanya saat Ana bertanya mengapa 4 sendok gula untuk 1 sendok kopi.
 Paijo mengambil koran paginya, menemukan nama terakhir yang ingin ia lihat disana. Tanpa pikir panjang, ia remas koran itu, menjadikannya bola. Lalu layaknya atlet, Paijo melemparnya ke tong sampah penuh gairah bercampur amarah. Sungguh, ia tidak membenci sang menteri. Ini hanya persoalan nama dan keikhlasan cintanya.
“Kenapa dibuang korannya, Pak?” tanya Ana.
Paijo melirik gadis itu, menatap tajam sebelum berkata, “Bukan urusanmu,”. Ana lalu memilih diam, membereskan meja dan menyapu lantai. Ana pun memilih mengudap pisang gorengnya di teras kantor bercat jingga itu, intuisi berkata Pak Paijo sedang tidak waras.

*

Jika kau bertanya mengapa Paijo melakukannya, maka akan kuceritakan mengapa sikap dan perilakunya begitu. Maka mendekatlah kawan, kubisiki kau tentang kisah cinta lelaki pesek itu. Jangan bilang siapapun, apalagi bertanya pada Paijo perihal ia dan Susi. Dan jika kau temukan “Pey” , maka itu berarti Paijo. Panggilan sayang ciptaan Susi.
Hari Jumat, 5 tahun yang lalu, di pinggir pantai berpasir hitam, di atas sebongkah batu hitam besar.
“Aku ingin kau mengakhiri hubungan gelap ini Pey. Aku lelah,” suara Susi terdengar layaknya petir di siang terik.
“Jangan bercanda,”
“Tidak. Aku sudah lelah diejek semua orang Pey,” ujar Susi. Gadis itu menunduk. Teringat setiap ejekan yang keluar dari bibir Marimar, Inggid, Dijah, atau Onah. Ia sudah tak tahan, Susi memilih untuk memutuskan hubungan dengan Paijo daripada kehilangan keempat sahabatnya. Di geng mereka, memilih kekasih buruk rupa adalah haram.
“Kau bilang cinta perihal hati,” Paijo berujar, datar. Mata Paijo lurus ke pantai, berharap ombak menerjang dan membawanya ke lautan, lalu mati termakan paus biru.
“Lupakan itu,” jawab Susi. “Sebab aku padamu tak lagi merah jambu,” lanjutnya. Dan terjadilah perdebatan sengit penuh makian, serombongan satwa disebutkan, tak lupa berbagai umpatan dari penjuru dunia. Tangan mereka pun beradu, semua selesai. Ya, tatkala masing-masing menyeka cairan merah segar di wajah. Dan cinta, jadi benci.

Tapi benci Paijo pada Susi sebab kejadian di sore itu tidak seberapa. Selembar undangan merah merona bertulis nama  Susi Sri Susisri dan Dewangga Arbi menyulut api benci, membakar emosi Paijo. Malam itu ia membakar segala hal berbau Susi, dan malam itu pula, ia berjanji untuk tidak mengingat Susi. Gadis putih sipit si pematah hati.
*
“Saya mau kirim paket,Pak,” seorang pemuda berseragam putih abu-abu mengangsurkan sebuah kotak berbungkus kertas coklat. Paijo menarik kotak itu, lalu mulai mengetik alamat di komputer putih tua di depannya. Dadanya mendadak hangat ketika membaca sebaris nama penerima. Susi Mardiani.
“Ana,” panggil Paijo. Ana yang sedang merapikan surat segera menghampiri.
“Tolong urus ini. Saya mau pergi,” kata Paijo ketus. Pemuda belia itu mengerutkan dahi, tidak mengerti mengapa Paijo begitu.
“Baik Pak,” sahut Ana. Lalu gadis itu melanjutkan menulis data pengirim, mencoba menerka-nerka. Mencoba menjawab pertanyaan mengapa yang berputar di otaknya.

“Nasi uduk pake dua telur dadar dan tiga sendok sambel,” pinta Paijo tepat saat pantatnya mendarat sempurna di kursi kayu. Bu Barijah, wanita berdaster merah dengan rambut putih dan tahi lalat di ujung bibir segera mengambil piring. Dengan cekatan ia menyendok 2 centong nasi uduk, meletakkan dua lembar telur dadar dan tiga sendok sambel goreng. Tak lupa segenggam bawang goreng dan dua buah kerupuk udang ia letakkan di atas piring.
“Dihabisin ya Jo. Mau minum apa nih?” kata Bu Barijah sambil meletakkan piring bergambar mawar di hadapan Paijo.
“Teh manis aja,”
“Oke. Sebentar ya,” jawab Bu Barijah. “Gimana kabar Ibumu? Kemarin katanya sakit?”
“Baik. Cuma flu biasa kok,” Paijo berkata, lalu teringat Ibunya. Perempuan kurus keriput yang berharap melihatnya menikah sebelum terbujur kaku.
“Alhamdulilah ya,”

Lalu terjadi keheningan. Bu Barijah sibuk memotong wortel sambil mendengar Prambors, bernanana mengikuti lagu bule-bule yang tak seujung kuku ia mengerti artinya. Paijo pun fokus pada nasi uduknya. Tak lama segerombol lelaki berseragam coklat datang, memesan makanan dan duduk memenuhi meja.
“Hai Jo,” sapa Kuncoro, teman main kelereng Paijo yang sudah jadi mantri. Paijo hanya tersenyum kecil.

“Keren lagi. Gue suka gayanya,” suara Luhut terdengar.
“Iya, otaknya benar-benar dimaksimalkan. Don’t jugde a book by it’s cover,” Kuncoro menimpali.
Kemudian sebuah nama haram bagi Paijo terdengar, telinganya berdenging. Napsu makannya sirna bersama telur dadar yang memang sudah tiada. Paijo berusaha menata detak jantungnya.
Anang sekarang bicara, kembali menyebut nama itu, menjadikan detak jantung Paijo berdetak lebih kencang. Kuncoro kembali mengucap nama itu, Adlan ikutan berucap, Kuncoro menjawab diiringi sebaris nama itu, begitu terus hingga Paijo berteriak, “DIAM!”
“DIAM KALIAN!” teriaknya kembali menggelegar, diikuti gebrakan di meja. Semua diam, termasuk Bu Barijah. Paijo mengambil selembar uang berwarna biru dari dompet kulitnya, meletakkan di meja, lalu pergi.
Selanjutnya tersiar kabar puluhan orang di kampung Kaciasuno mati. Terbunuh dengan cara yang sama. Terlalu mengerikan kuceritakan bagaimana matinya mereka. Yang jelas, tidak ada kabar pembunuhan lagi sejak Paijo gantung diri, selepas menyebut nama Susi.


 Solo, 31 Oktober 2014
Tidak ada maksud tertentu pada penggunaan nama Susi, hanya terinspirasi untuk menulis ini.


You Might Also Like

0 komentar

Jangan ragu untuk berkomentar, kawan!

Popular Posts

My Instagram